Negara Kok Diam Terhadap Radikalisme Agama

Catatan dari Dialog Pemuda dan Mahasiswa (1 dari 2 tulisan)

NEGARA tak boleh membiarkan radikalisme agama tumbuh subur di masyarakat. Negara harus bisa menjamin kemerdekaan berideologi bagi warganya maupun untuk melaksanakan ritual sesuai keyakinan dan agama yang dianutnya.

Negara harus bisa menindak tegas jika ada kelompok masyarakat sipil yang bertindak sebagai penegak hukum terhadap kelompok masyarakat sipil lainnya. Sebab jika radikalisme masyarakat sipil berkedok agama itu dibiarkan tanpa tindakan tegas dari negara, maka dikhawatirkan terjadi disintegrasi bangsa. Masyarakat mengarah barbarisme.

Hal itu mengemuka pada Dialog Pemuda dan Mahasiswa yang berlangsung di kantor Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Senin (22/8/2011) sore. Dialog yang dihadiri puluhan aktivis mahasiswa dan organisasi kepemudaan ini mengangkat tema Radikalisme Agama dan Ancaman Integrasi Bangsa.

Kegiatan ini dilaksanakan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulselbar, Gerakan Pemuda Ansor Sulsel, dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulsel.

Dialog tersebut menghadirkan dosen Pascasarjana UIN Alauddin Dr Nur Taufik Sanusi MA, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sulsel Ashar Arsyad, dan Ketua KNPI Sulsel Jamaluddin M Syamsir, sebagai pembicara. Dialog ini dipandu Zulfikar, Ketua Komisi Kesbang KNPI Sulsel.

"Jadi jika ada organisasi masyarakat, kendati mengatasnamakan agama tertentu, yang perilakunya melanggar undang-undang, negara tak boleh segan-segan menindaknya. Negara tidak boleh menindak karena ideologi seseorang atau kelompok tertentu, tapi karena perilakunya yang melanggar aturan," tegas Jamaluddin yang mantan aktivis HMI ini.

Menurut Jamaluddin, mengutif pendapat intelektual Muslim asal Mesir Dr Yusuf Qardhawi, radikalisme adalah mereka yang berpaham panatik terhadap pendapatnya sendiri dan tidak toleran terhadap pendapat kelompok lain. Radikalisme juga adalah mereka yang bertindak mewajibkan orang atau kelompok lain melakukan apa yang diyakininya.

Menurutnya, kekerasan yang dibenarkan dalam Islam hanya ada dua varian kekerasan yakni kekerasan pada perang sesungguhnya terhadap lawan. Kedua adalah kekerasan yang berkaitan dengan penegakan hukum. "Di luar varian itu, kekerasan itu tak dibenarkan dalam Islam," kata Jamaluddin yang pernah mengenyam pendidikan pesantren dan UIN Alauddin ini. (jumadi mappanganro)

Catatan: Tulisan di atas terbit di Tribun Timur edisi Selasa, 23 Agustus 2011.

Komentar