Luthfi Assyaukanie Tentang Pluralisme dan Kemerdekaan Pers    

MENGENAKAN baju batik warna merah dan celana jins biru, Luthfi Assyaukanie PhD menerima saya untuk bincang-bincang di Hotel Aryaduta, Makassar, Selasa (3/7/2012) siang.
  
Saat itu, saya menemuinya di sela-sela acara Temu Mitra Audit Sosial dan Akuntabilitas yang digelar Yayasan Tifa di hotel tersebut. Luthfi hadir pada acara ini dalam kapasitasnya sebagai anggota board Yayasan Tifa.  
   
Perbincangan kami bukan tentang audit sosial dan akuntanbilitas yang menjadi pokok bahasan sejumlah aktivis LSM dari berbagai provinsi di Indonesia pada acara tersebut. Perbincangan kami tentang pluralisme dan kemerdekaan pers di Indonesia. 


Maklum,  Luthfi Assyaukanie dikenal banyak orang sebagai satu di antara pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 2001 lalu. JIL adalah organisasi yang pro aktif mendorong gerakan pluralisme di Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 27 Agustus 1967 ini juga pernah bekerja sebagai penyunting di majalah Ummat, majalah mingguan Islam. 
Luthfi Assyaukanie PhD
Soal pluralisme di Indonesia, katanya, coraknya beragam. Kalau di Jawa, tantangan pluralisme adalah gesekan bernuansa agama. Misalnya konflik antara sebagian umat Muslim dengan non-Muslim sebagaimana terjadi di Bogor, Jawa Barat. Juga kadang antara sesama Muslim yakni antara kelompok ahlussunnah dengan kelompok Ahmadiyah maupun dengan Syiah.

Sedangkan di Indonesia timur tantangan pluralismenya adalah gesekan bernuansa etnis lokal. Gesekan mereka banyak dikarenakan karena pembangunan yang tidak merata atau pembagian ‘kuenya’ yang timpang.

Khusus mengenai pluralisme di Sulawesi Selatan,  dosen Universitas Paramadina ini menilai bahwa masyarakat daerah ini sangat menghargai pluralitas. Toleransi beragama di daerah Serambi Madinah ini patut dicontoh. Penilaian tersebut antara lain dikarenakan sangat minim terdengar konflik yang didasari karena perbedaan suku,  agama, dan ras (SARA) di daerah ini.

“Saya melihat Sulsel dan kebanyakan daerah di Indonesia timur, tantangan pluralisme tidak seberat di Jawa dan Indonesia barat. Di Jawa dan sebagian Indonesia barat, masih sering kita dengar konflik berbau SARA. Sedangkan di Indonesia timur, tidak sering,” paparnya.

Yang sering terdengar atau diberitakan media massa dari Sulsel adalah penggunaan kekerasan dalam demonstrasi sebagian mahasiswa dan kelompok anak muda. Bukan karena konflik SARA.

Menurut Luthfi, gesekan lain yang juga kerap terjadi dalam masyarakat Indonesia timur umumnya hanya karena dilatari gesekan terhadap budaya baru dan akses ekonomi. Untuk masalah ini, kata Deputy Direktur Freedom Institute ini, solusinya antara lain adalah penguatan kualitas demokrasi pemerintahan lokal.

“Jika pemerintahan tersebut dikelola baik, akuntanbilitas, dan mendorong masyarakat berpartisipasi dalam proses perencanaan hingga evaluasi program pemerintahnya, maka hal tersebut bisa meminimalisir gesekan dalam masyarakat,” ujar Luthfi yang meraih gelar masternya dari Universitas Islam Internasional di Malaysia ini.   
   
Kemerdekaan Pers
Bagaimana soal kemerdekaan pers di Indonesia? Pria yang pernah belajar di Universitas Yordania dalam bidang Hukum Islam dan Filsafat ini menilai bahwa kemerdekaan pers sangat baik pada awal-awal reformasi. Namun beberapa tahun terakhir, kualitas kemerdekaan pers di Indonesia mulai menurun.

Hal tersebut dikarenakan masih tingginya jumlah kekerasan yang dialami para jurnalis. Mulai dari teror, korban penikaman, hingga menjadi korban pembunuhan terencana. Ada juga jurnalis yang diseret ke meja hijau dengan tuduhan pencemaran nama baik seorang pejabat penguasa.

Untuk masalah tersebut,  Luthfi yang menerima gelar PhD dalam bidang Islamic Studies di Universitas Melbourne, Australia, ini punya solusi. Katanya ada dua hal yang harus dilakukan untuk hal tersebut.

Pertama, harus selalu ada upaya peningkatan kualitas SDM para jurnalis. Ini agar dalam proses pencarian hingga pengolahan berita benar-benar dilakukan secara profesional. Sehingga berita yang dihasilkan pun berbobot dan bisa dipertanggungjawabkan. Harus diakui, katanya, kadang tidak sedikit jurnalis dalam memproduksi berita, lalai melakukan cek and recek.

Kedua, aparat penegak hukum harus berani bertindak tegas kepada siapa saja yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap insan jurnalis atau melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Siapa pun dan apa pun latarbelakang pelakunya. Sebab jika tidak ada proses hukum bagi pelaku kekerasan atau pelanggar UU Pers, maka kekerasan terhadap jurnalis bisa makin meluas dan bertambah jumlahnya. 


Menyimak dua tawaran solusi dari Luthfi tersebut, saya spontan mengatakan, “Setuju, Mas.” Perbincangan kami pun berakhir. Namun sebelum kami berpisah, ia memberi kartu namanya. Dari kartu nama itu, saya baru tahu kalau dia juga adalah Deputy Director Freedom Institute. (jumadi mappanganro)

Komentar