Pelajaran dari Kasus Prita Mulyasari
29 Desember 2009. Siang itu saya menonton TVOne yang menyiarkan langsung pembacaan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Provinsi Banten, terhadap Prita Mulyasari.
Dengan dasar itulah, Prita sempat ditahan selama tiga pekan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan, Tangerang. Ia baru dilepas setelah kuatnya tekanan publik dan beberapa Calon Presiden (Capres) RI 2009-2014 yang sempat ikut prihatin dengan nasib yang dialami Prita.
Betapa tidak, jika majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah terhadap Prita sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia.
Peristiwa yang dialami Prita yang tidak diizinkan menyusui anaknya saat ditahan di Lapas Tangerang, juga menjadi bukti lemahnya perlindungan negara terhadap perempuan, juga khususnya terhadap reproduksi perempuan. Juga menyakiti rasa keadilan dalam masyarakat.
Pun dakwaan JPU yang ditimpakan kepada Prita berupa pelanggaran terhadap UU ITE, bagi saya, lebih kejam daripada hukum yang pernah dibuat Belanda untuk mengekang sikap kritis kaum pribumi saat itu.
Padahal, kalau kita berpihak pada rasa keadilan masyarakat, mestinya kita harus sepakat bahwa tidak perlu ada penahanan terhadap mereka yang dituduh melakukan pencemaran nama baik hanya karena menulis atau melontarkan kritikannya terhadap layanan publik atau penguasa.
Jauh lebih baik lagi jika pihak berwenang mencabut segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik yang ada di KUHP maupun yang termaktub di UU ITE, khususnya pada pasal 27 ayat tiga. Hal ini karena seringnya aturan tersebut disalahgunakan untuk membungkam wong cilik menggunakan hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Terkait keluhan tertulis Prita, bukankah hal keluhan itu juga dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bagi saya, jika memang RS Omni merasa keberatan terhadap keluhan konsumennya, mestinya manajemen RS itu memberikan hak jawabnya. Bukan melakukan tuntutan perdata dan pidana atas keluhan atau curhat yang dimuat di suara pembaca atau milis-milis.
Syukurlah suara rakyat yang banyak simpatik dan memberi dukungan terhadap Prita itu didengar majelis hakim yang kemudian membebaskan Prita dari semua dakwaan JPU. Hakim berpendapat, Prita dinilai tidak bersalah dan email yang ditulisnya tak dimaksudkan untuk mencemarkan nama baik RS Omni.
Seperti perasaan banyak orang yang mendengarkan putusan hakim tersebut, saya pun merasa lega. Hakim kasus Prita rupanya masih berpihak pada nuraninya daripada godaan menerima kemungkinan “iming-iming” dari RS Omni.
29 Desember 2009. Siang itu saya menonton TVOne yang menyiarkan langsung pembacaan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Provinsi Banten, terhadap Prita Mulyasari.
Prita adalah ibu dua anak yang menjadi terdakwa atas tuduh pencemaran nama baik yang dilaporkan manajemen Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera. RS ini berada di Banten. Tuduhan ini bermula saat Prita mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui e-mail kepada teman-temannya.
Prita Mulyasari menjalani sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, 2009 lalu. (sumber foto: metro.news.viva.co.id) |
Namun curhat Prita tersebut menyebarluas. Pihak rumah sakit keberatan. Lalu melaporkan Prita ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi kemudian mengenakan Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencemaran Nama Baik.
Saat dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Banten, tekanan terhadap Prita kian bertambah. Ini karena tim jaksa kasus ini menambahkan dakwaan terhadap Prita berupa Pasal 27 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman UU ini berat yakni enam tahun penjara.
Dengan dasar itulah, Prita sempat ditahan selama tiga pekan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan, Tangerang. Ia baru dilepas setelah kuatnya tekanan publik dan beberapa Calon Presiden (Capres) RI 2009-2014 yang sempat ikut prihatin dengan nasib yang dialami Prita.
Walau tak mengenal langsung Prita, saya sempat juga deg-degan menonton detik-detik hakim membacakan vonisnya. Bagi saya, tak peduli apakah saya mengenal Prita atau tidak. Namun kasus yang menimpanya telah membuat banyak orang terancam, terusik, dan prihatin. Saya termasuk orang yang merasa ikut prihatin, terusik, dan terancam mengalami hal serupa. Mungkin soal waktu saja.
Betapa tidak, jika majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah terhadap Prita sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia.
Bukan hanya itu, bagi saya, hal ini bisa menjadi pelanggaran atas hak-hak kebebasan informasi dan hak untuk menyatakan pendapat yang merupakan hak asasi paling mendasar yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi, UU HAM dan berbagai ratifikasi konvensi internasional.
Peristiwa yang dialami Prita yang tidak diizinkan menyusui anaknya saat ditahan di Lapas Tangerang, juga menjadi bukti lemahnya perlindungan negara terhadap perempuan, juga khususnya terhadap reproduksi perempuan. Juga menyakiti rasa keadilan dalam masyarakat.
Pun dakwaan JPU yang ditimpakan kepada Prita berupa pelanggaran terhadap UU ITE, bagi saya, lebih kejam daripada hukum yang pernah dibuat Belanda untuk mengekang sikap kritis kaum pribumi saat itu.
Dalam KUHP yang sebagian besar masih mengadopsi UU buatan kolonial Belanda, terkait pencemaran nama baik, ancaman hukumannya hanya maksimal dua tahun. Sedangkan UU ITE yang dibuat di era reformasi, justru mengancam mereka yang didakwa kasus pencemaran nama baik dengan acaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Arogansi
Pemberangusan terhadap kebebasan berbendapat oleh undang-undang menjadi senjata para kaum berduit untuk memenjarakan orang yang tidak memiliki power. Desakan terhadap Prita sehingga sempat ditahan di bilik jeruji besi sebelum diadili di meja hijau, juga menunjukkan arogansi dari penegak hukum tanpa melihat apa, mengapa, dan untuk apa hukum formal itu.
Pemberangusan terhadap kebebasan berbendapat oleh undang-undang menjadi senjata para kaum berduit untuk memenjarakan orang yang tidak memiliki power. Desakan terhadap Prita sehingga sempat ditahan di bilik jeruji besi sebelum diadili di meja hijau, juga menunjukkan arogansi dari penegak hukum tanpa melihat apa, mengapa, dan untuk apa hukum formal itu.
Padahal, kalau kita berpihak pada rasa keadilan masyarakat, mestinya kita harus sepakat bahwa tidak perlu ada penahanan terhadap mereka yang dituduh melakukan pencemaran nama baik hanya karena menulis atau melontarkan kritikannya terhadap layanan publik atau penguasa.
Jauh lebih baik lagi jika pihak berwenang mencabut segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik yang ada di KUHP maupun yang termaktub di UU ITE, khususnya pada pasal 27 ayat tiga. Hal ini karena seringnya aturan tersebut disalahgunakan untuk membungkam wong cilik menggunakan hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Terkait keluhan tertulis Prita, bukankah hal keluhan itu juga dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bagi saya, jika memang RS Omni merasa keberatan terhadap keluhan konsumennya, mestinya manajemen RS itu memberikan hak jawabnya. Bukan melakukan tuntutan perdata dan pidana atas keluhan atau curhat yang dimuat di suara pembaca atau milis-milis.
Syukurlah suara rakyat yang banyak simpatik dan memberi dukungan terhadap Prita itu didengar majelis hakim yang kemudian membebaskan Prita dari semua dakwaan JPU. Hakim berpendapat, Prita dinilai tidak bersalah dan email yang ditulisnya tak dimaksudkan untuk mencemarkan nama baik RS Omni.
Seperti perasaan banyak orang yang mendengarkan putusan hakim tersebut, saya pun merasa lega. Hakim kasus Prita rupanya masih berpihak pada nuraninya daripada godaan menerima kemungkinan “iming-iming” dari RS Omni.
Demo
Saat menyaksikan siaran langsung sidang kasus Prita tersebut, saya pun teringat saat terlibat demo di depan Monumen Pembebasan
Irian Barat. Saat itu Jumat siang, 5 Juni 2009 lalu. Monumen yang lebih kerap disebut
Monumen Mandala ini terletak di Jl Jenderal Sudirman, Makassar. Kami yang demo saat itu berjumlah sekitar 40-an orang. Kami menamakan kelompok ini Koalisi Masyarakat Sulawesi Selatan untuk Kebebasan
Berekspresi dan Kebebasan Pers.
Aspirasi
kami saat itu antara lain adalah lepaskan Prita Mulyasari dan bebaskan
Upi Asmaradhana dari segala tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Upi yang
juga aktivis Aliansi Jurnalis Independe (AJI) Kota Makassar saat itu
juga sedang dirudung masalah. Ia diadili sebagai terdakwa di Pengadilan
Negeri Makassar dengan tuduhan pencemaran nama baik yang diadukan
Kapolda Sulsel yang saat itu dijabat Irjen Polisi Sisno Adiwinoto.
Bukan hanya itu, unjuk
rasa yang diikuti kurang lebih 50-an aktivis NGO dan jurnalis itu juga
mendesak pencabutan segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran
nama baik karena sering disalahgunakan untuk membungkam hak kemerdekaan
masyarakat mengeluarkan pendapat.
Di antaranya Pasal 310 dan 311 pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang pencemaran nama baik. Sebab dalam sejarahnya, pasal 310 dan
311 dalam KUHP itu diadopsi dari UU penjajah Belanda. Aturan ini bertujuan mengikis dan memberi sanksi
kepada kaum pribumi jika melakukan pembangkangan terhadap penjajah
Belanda.
Secara umum UU ITE perlu
ditinjau ulang. Khusus Pasal 27 ayat 3 Undang-undang (UU) tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berisi ancaman 6 tahun
penjara dan denda Rp 1 miliar harus dihapus. Bagaimanapun undang-undang tidak boleh mengekang kebebasan berpendapat. Sebab kebebasan berpendapat dilindungi Undang-undang Dasar (UUD).
Jika berbagai aturan tersebut tidak segera dihapus atau direvisi, saya khawatir masih akan banyak warga yang juga akan mengalami hal serupa dialami Prita maupun Upi. Akhirnya, semoga tulisan ini juga dapat diterima sebagai curhat dan bukan sebagai pencemaran nama baik atau dituduh perbuatan tidak menyenangkan. (JM)
29 Desember 2009
Komentar
Posting Komentar