Perempuan Pesisir Dusun Tanrabalana

Cerita Restorasi Penghidupan Pesisir


Mendengarkan cerita Masnid dan Nurhayati di kolong rumah Nurhayati di Dusun Tanrabalana, Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru. Foto ini diabadikan Kamis, 22 September 2011.


SETELAH menempuh perjalanan dengan mengendarai mobil rental sekitar dua jam setengah dari Kota Makassar, akhirnya kami tiba di Dusun Tanrabalana, Kamis siang, 22 September 2011. Dusun yang dihuni 231 kepala keluarga (KK) ini adalah satu di antara tiga dusun di Desa Lawalla, Kecamatan Soppengriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. 

Melalui Nasma, staf Kantor Desa Lawalla yang juga berperan sebagai community organizer (CO) Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO) di desanya, saya dipertemukan Masni (39 tahun) dan Nurhayati  (39 tahun). Masni dan Nurhayati adalah ibu rumah tangga yang merupakan alumni angkatan pertama SLPO di Desa Lawalla. SLPO adalah program yang dilaksanakan Mangrove Action Project yang didukung Oxfam GB.

Pertemuan dan bincang-bincang santai dengan mereka berlangsung di bawah kolong rumah Nurhayati yang juga Ketua Kelompok Asoka Abon Ikan di dusun tersebut. Perbincangan yang berlangsung sekitar tiga jam itu dibarengi menikmati teh hangat dan beberapa potong kue dadar. 

Kedua warga Dusun Tanrabalana ini mengakui banyak mengalami perubahan (restorasi) semenjak mengikuti program SLPO selama sekitar tiga bulan. Masni misalnya merasakan  kebiasaannya bergosip dengan tetangga kini berkurang. Sebab waktu senggang untuk berkumpul bersama tetangga juga berkurang. Hal ini seiring adanya aneka tanaman sayur dan buah di kebunnya yang membutuhkan perawatannya. 

Bukan hanya itu, dengan bisa bercocok tanam yang memanfaatkan pekarangan rumah, perubahan yang dialaminya adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli sayur-sayuran di pasar pun berkurang. Dulu ia selalu mengeluarkan uang antara Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu sehari untuk beli sayur, cabai, dan tomat. Namun setelah kebunnya juga sudah ada tanaman kangkung, sawi, cabai, tomat, pepaya, dan manga, kadang dalam sepekan ia lagi tak mengeluarkan uang untuk beli sayur dan buah. 

“Jadi uang dari suami untuk beli sayur, bisa saya sisipkan untuk tambahan biaya pendidikan anak saya,” ujar ibu tiga anak ini. Untuk mendukung ceritanya itu, ia mengajak penulis melihat langsung kebunnya. (Cerita tentang Masni selengkapnya, baca: Dulu Saya Suka Gosip)


Masni, alumni SLPO, memperlihatkan tanaman sayur kangkung di pekarangan rumahnya, Kamis, 22 September 2011.


Hal serupa juga dialami Nurhayati. Bahkan kata Nurhayati, perubahan positif dari SLPO itu bukan hanya berdampak pada kehidupan mereka yang pernah tercatat namanya sebagai peserta belajar di SLPO, tapi juga dirasakan warga lainnya. Beberapa tetangga Nurhayati juga telah bercocoktanam di halaman pekarangan rumahnya. Mereka juga membuat dan menggunakan pupuk organik untuk menyuburkan tanamannya.

“Mungkin melihat tanaman kami bisa tumbuh subur dan menghasilkan, akhirnya beberapa tetangga yang tak bergabung di sekolah lapang, juga melakukan hal sama. Mereka ini biasanya minta diajari oleh kami. Alhamdulillah, hasilnya tak mengecewakan,” tutur Nurhayati sembari memperlihatkan tanaman sayur di pekarangan rumah milik tetangganya. 

Transfer pengetahuan cara bercocok tanam dan membuat pupuk organik pun dengan cepat meluas di dusun ini. Hal ini membuat makin banyak di pekarangan rumah warga di dusun ini terlihat aneka tanaman tumbuh. Ada beberapa jenis sayur, bunga, hingga buah jangka pendek. Dulunya pekarangan rumah warga di dusun ini dibiarkan kosong, tanpa tanaman. Kalau pun ada, biasanya hanya pohon mangga yang ditanam. 

Hanya saja, selama musim kemarau beberapa bulan terakhir, tak sedikit tanaman tersebut gugur akibat kekurangan air. Saban musim kemarau, di dusun ini tergolong wilayah krisis air bersih. Memang ada beberapa sumur warga, tapi hanya sedikit sumur yang airnya bisa digunakan untuk makan minum. Kebanyakan sumur airnya berwarna dan berasa. 

Selain dalam hal kemampuan bercocok tanam, perubahan positif lain yang dirasakan Nurhayati dari adanya program yang difasilitasi Oxfam di desa mereka. Beberapa perubahan positif itu di antaranya, kini ia memiliki banyak kenalan/jaringan dengan sesama kelompok pemberdayaan perempuan pesisir dari lintas kabupaten di Sulsel. Wawasannya pun makin bertambah dengan kerap mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di luar Barru.

Dengan banyak kenalan dan wawasannya yang terus bertambah, ibu tiga anak ini pun makin percaya diri. Ia pun kini tak sungkan berbicara dan tampil di depan banyak orang. Bahkan tak jarang ia dipercayakan sebagai pembicara mengenai pembuatan abon ikan tongkol di beberapa pertemuan di daerah lainnya yang difasilitasi Oxfam GB. 

“Padahal dulu saya termasuk sering minder. Kalau mau bicara di depan banyak orang, saya selalu grogi. Alhamdulillah sekarang tidak lagi minder dan kalau bicara di depan banyak orang, saya mulai tidak grogi lagi. Juga tak lagi minder jika masuk hotel karena sudah beberapa kali merasakannya,” tutur istri Ramli ini diiringi tawa kecil.

Perihal kepercayaan diri, kemampuan berbicara, serta kesadaran gender para ibu rumah tangga penerima program SLPO itu juga diakui Nasma. Katanya, sebelum ada SLPO, rapat-rapat yang dilakukan pemerintah desa setempat, didominasi kalangan laki-laki. Namun kini, jika ada rapat atau pertemuan-pertemuan desa, pesertanya mulai berimbang antara laki-laki dan perempuan.  

Buat Abon
Selain bercocoktanam, Nurhayati dan para istri nelayan yang bergabung di Kelompok Asoka Abon Ikan juga makin “jago” membuat abon. Kelompok Asoka Abon Ikan ini terbentuk sejak Juni 2011. Bahan utama abon buatan kelompok ini adalah ikan tongkol yang diperoleh dari para suami mereka. Nurhayati memperlihatkan abon ikan tongkol buatan kelompoknya. Foto di atas diabadikan pada Kamis, 22 September 2011.

Menurut Nurhayati, dengan membuat abon ikan tongkol, keuntungan finansial bisa lebih banyak diperolehnya. Sebab harga ikan tongkol ukuran besar biasanya hanya Rp 35 ribu per ekor. Dengan membuatnya menjadi abon ikan, untuk dua ekor ikan tongkol besar bisa menghasilkan dua kilogram abon ikan. Harganya pun menjadi Rp 140 ribu. 

 “Alhamdulillah keuntungan usaha abon ikan tongkol ini lumayan," tutur Nurhayati sembari memperlihatkan contoh abon ikan buatannya yang telah dibungkus dalam kemasan.

Hanya saja, tuturnya, pasar usaha abon mereka masih terbatas. Mereka belum bisa memasarkan ke toko-toko apalagi ke minimarket. Ini karena sampai sekarang izin usaha abon ikan kami dari departemen perdagangan dan izin depkes belum ada. Padahal mereka sudah mengurus sejak sebelum Agustus 2011.  (jumadi mappanganro)

Makassar, September 2011

Komentar