Akhirnya Bisa Beli Mukena Baru

KINI ia tak perlu lagi meminta bantuan adik iparnya untuk membacakan isi undangan pesta atau menuliskan namanya di undangan. Ini karena ia kini sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tandatangan pun oke. Tak perlu lagi jempol untuk urusan administrasi.  Ia juga sudah bisa mengajari anaknya membaca.

Itulah antara lain perubahan mendasar yang dialami Mardiyah, satu di antara ibu rumah tangga miskin di Dusun Balosi. Dusun ini adalah satu di antara tiga dusun yang ada di Desa Pajukukang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. 
Mardiyah saat ditemui di rumahnya di Desa Pajukukang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, 21 September 2011
Ibu dua anak  (satu di antaranya sudah meninggal) ini memiliki suami tuna wicara yang bekerja sebagai buruh tambak. Ia bergabung dalam Kelompok Belajar Bunga Mawar sejak Januari 2011 lalu. Kelompok belajar ini merupakan binaan Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan didukung Oxfam GB.

Kelompok Belajar Bunga Mawar ini adalah bagian dari program Restorasi Penghidupan Pesisir. Program ini ditujukan khusus untuk kalangan ibu rumah tangga miskin. Program ini bertujuan antara lain pemberdayaan perempuan dan peningkatan perekonomian keluarga miskin. 
Untuk mencapai tujuan ini, Mardiyah dan rekan-rekannya di Kelompok  Belajar Bunga Mawar diajarkan antara lain: mengenal abjad dan angka latin. Belajar baca tulis latin. Belajar mengarang. Selain itu mereka juga diajarkan cara beternak itik. Cara membuat telur asin dan cara membuat abon dari telur dan bahan yang mudah diperoleh di dusun mereka.

Berbekal pelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang diajarkan di Kelompok Belajar Bunga Mawar, perempuan yang lahir di Dusun Balosi pada 1 Januari 1981 silam ini pun kini bisa mengajari putrinya baca tulis latin.  Putrinya yang bernama Zalzalbilah saat ini telah berusia lima tahun. 
Peran sebagai guru baca tulis bagi putrinya di rumah mau tak mau harus ia lakonkan. Sebab ia sadar tak bisa berharap peran itu dilakukan suaminya, Ambo Tuo. Maklum, sang suami yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tambak di dusunnya itu tergolong tuna wicara sejak lahir. 
Mardiyah mengaku pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD). Tapi karena keterbatasan dana orangtuanya, kala itu hanya bisa bertahan sekolah selama seminggu. Jadi ia tak sempat mengetahui baca tulis latin kala itu. 
“Sekarang saya tak susah-mi lagi meminta tolong adik ipar bacakan isi undangan kalau ada saya terima undangan. Karena bisa-ma  membaca dan menulis,” cerita Mardiyah saat penulis menemuinya di Dusun Balosi, Rabu siang, 21 September 2011 lalu. 
Makanya Mardiyah merasa sangat terbantu dengan hadirnya Kelompok Belajar Bunga Mawar. Walau belajar sekali sepekan di bawah kolong rumah tetangganya, ia merasa mendapat banyak tambahan pengetahuan. Termasuk tentang gender. 
“Gender itu adalah kesetaraan peran laki-laki dan perempuan. Bahwa peran laki-laki seperti mencari uang, juga bisa dilakukan perempuan. Sebaliknya pekerjaan yang selama ini banyak dilakukan perempuan seperti memasak, menjaga anak, dan mencuci, sebenarnya juga bisa dilakukan laki-laki. Apalagi kalau istrinya sedang sibuk. Kami sudah praktikkan di rumah,” jelasnya dengan lancar.
Saat itu penulis mencoba menanyakan apa yang diketahuinya tentang gender sembari duduk santai di balai-balai kolong rumah Nurliah, community organizer, yang sekaligus menjadi tempat belajar Kelompok Belajar Bunga Mawar ini. 
Mardiyah pun berharap, usaha kelompoknya yakni beternak itik, membuat telur asin, dan membuat abon bisa terus ditingkatkan produksi dan pemasarannya. Ini agar ia dan para perempuan yang bergabung di kelompok belajar tersebut memiliki alternatif usaha yang bisa membantu menambahkan penghasilan ekonomi rumah tangganya. Harapan lainnya agar ia makin mandiri secara ekonomi atau tak tergantung penuh dari penghasilan suaminya yang pas-pasan. (JM)


Makassar, September 2011 lalu. 





Komentar