Geng Motor dan Rembang 10

Perspektif

“Ada dua hal yang kini paling saya takuti kalau sedang di jalanan. Pertama aksi brutal geng motor. Kedua, rembang 10.”

Ucapan itu dilontarkan Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Zulkifli Hasanuddin saat bersua dengan penulis di Warung Kopi 76, Makassar, Sabtu (11/5/013) malam lalu. Ketakutan itu juga menimpa banyak orang. Terutama mereka yang kerap melintas di jalan raya di Kota Makassar. Penulis satu di antaranya.

Betapa tidak, ulah geng motor di Makassar kian brutal dan meresahkan warga beberapa bulan terakhir. Kebiasaannya, di antaranya terlibat balapan liar di jalan-jalan padat kendaraan. Menyerang, menganiaya, hingga tak segan-segan melukai para pengendara yang mungkin hanya karena soal ‘sepele’ semisal bersenggolan kendaraan di jalanan.
 

 
Korban kebrutalan geng motor itu pun tak pandang bulu, usia, maupun profesi. Anak-anak, remaja, orangtua, pelajar, polisi, jurnalis, hingga tentara pun pernah menjadi korban kebrutalan geng motor yang kebanyakan didominasi remaja usia belasan tahun atau masih berstatus pelajar.
  
Kadang juga merusak fasilitas publik, mesin ATM, hingga melempari bom melotov ke beberapa gereja di Makassar yang terjadi beberapa waktu lalu. Hingga kini, belum jelas motif mereka melakukan hal itu. Kendati polisi telah menangkap beberapa anggota geng motor tersebut. Sepekan sekali, ada saja kabar tentang aksi kebrutalan mereka di Kota Makassar.
  
Di antaranya yang terjadi pada Kamis dini hari, 9 Mei 2013 lalu. Jurnalis Trans TV Muhammad Ardiansyah ditikam anggota geng motor di Jl Urip Sumoharjo. Saat itu Ardiansyah alias Endi baru saja pulang meliput. Pada Maret 2013 lalu, jurnalis Fajar TV, Harun Rasyid, juga mengalami kekerasan dari anggota geng motor. Harun dipanah ketika melintas di Jalan Veteran Utara.
  
Setali tiga uang dengan geng motor, truk 10 roda atau dalam sandi kepolisian bernama ‘Rembang 10' pun tak kalah meresahkan dan menakutkan bagi warga Kota Makassar dan sekitarnya. Ini karena rembang 10 yang sehari-hari mengangkut material tanah timbunan dari Kabupaten Gowa ke Kota Makassar telah merenggut banyak pengendara di jalanan.
  
Dalam catatan Tribun Timur, sejak Januari hingga pekan pertama Mei 2013, sudah lima pengendara tewas akibat tertabrak rembang 10 di Kota Makassar. Tahun 2012 lalu, jumlah korban tewas akibat tertabrak rembang 10 di Makassar sebanyak enam orang. Bagi penulis, satu nyawa yang melayang sudah banyak.
  
Selain merenggut nyawa pengendara, rembang 10 pun merusak jembatan dan jalan-jalan yang dilalui. Lihatlah kondisinya kini Jl Paccerakkang, Jl Antang Raya, Jl Sultan Alauddin, Jl AP Pettarani, Jl Monginsidi, Jl Ratulangi, hingga Jl HM Patompo.
  
Mengetahui akibat yang ditimbulkan rembang 10 dan aksi brutal geng motor, maka ketakutan Zulkifli itu pun rasanya bisa dimaklumi. Rasanya melintas di jalanan di Kota Makassar kini kian tak aman. Entah sampai kapan.
  
Polisi dan pemerintah yang banyak diharapkan untuk mengatasi kebrutalan geng motor dan membatasi operasional rembang 10 melintas di jalan-jalan raya yang selama ini tanpa kenal waktu siang atau malam, rasanya tak berdaya. Instansi-intansi yang dibiayai oleh negara itu pun hanya bisa saling lempar tanggungjawab. Lalu haruskah kita diam semua? (jumadi mappanganro)


Catatan: tulisan di atas terbit di Kolom Perspektif halaman 13 Tribun Timur edisi cetak 13 Mei 2013.


Komentar