Kisah Pilu Balita Revan Adhyaksa



Jasad Revan Adhyaksa (1,3 tahun) dibawa ke TPU Panaikang, Makassar, Kamis (27/6/2013) pagi. Sumber foto: @jalanankota
SEHARIAN ini, nama Revan Adhyaksa tiba-tiba ramai dibicarakan masyarakat Sulawesi Selatan. Ini karena Revan dikabarkan meninggal tragis setelah ditolak tiga rumah sakit (RS) dari lima RS di Kota Makassar yang didatanginya. Penolakan RS tersebut diduga karena orangtua balita berusia satu tahun tiga bulan itu hanya mengandalkan kartu jaminan kesehatan daerah (jamkesda) miliknya.

Informasi ini dengan cepat beredar luas setelah diposting pertama kali di akun twitter milik @jalanankota sejak Rabu (26/6/2013) malam. Spontan informasi tersebut menjadi 'buah bibir'.

Portal tribun-timur.com kemudian menurunkan berita dengan judul Revan, Bocah yang Ditolak 5 RS Dimakamkan. Diposting pada Kamis, 27 Juni 2013. Pukul 09.56 wita. Berita ini dilengkapi dengan foto jasad Revan yang digendong ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Panaikang, Makassar.


Isi berita dan foto berita tersebut mengutip informasi yang disebarkan pemilik akun @jalanankot. Namun informasi di portal tribun-timur.com itu sangat sedikit. Kronologis kejadian, nama rumah sakit yang menolak Revan, serta alamat rumah duka, tak ada dalam berita.

Karena tak puas, saat itu juga saya mencari tahu tentang kabar Revan melalui internet. Dari mesin pencari google, saya kemudian diantar menemukan @jalanankota, nama akun twitter yang pertama kali menyebarkan informasi tentang Revan di media sosial.

Dari akun @jalanankota inilah saya mendapatkan banyak informasi tambahan tentang Revan. Di antaranya informasi nomor kontak ayah Revan, Andi Amir. Inilah satu di antara kelebihan media sosial yang telah berkembang menjadi sumber informasi alternatif warga selain media mainstream.

Saat itu juga saya mengontak dan meminta Azis, jurnalis Tribun Timur, ke rumah duka untuk menggali lebih dalam cerita tentang Revan langsung dari kedua orangtua almarhum. Sembari Azis ke rumah duka, saya mencoba mengontak nomor ponsel Andi Amir.

Awalnya saya ragu. Karena Amir dan keluarganya sedang berduka. Biasanya memang agak sulit mewawancarai orang yang sedang berduka. Tapi, alhamdulillah mendapat respon. Yang menerima panggilan saya adalah Andi Amir.

Sebagai pembuka pembicaraan, saya memperkenalkan diri sebagai wartawan Tribun Timur. Lalu menyampaikan belasungkawa mendalam atas meninggalnya Revan, bungsu dari empat bersaudara.

Usai itu, barulah saya memohon izin mewawancarainya via ponsel. Alhamdulillah, lelaki yang mengaku telah berusia kepala empat ini pun bersedia berbagi cerita. Ini saya lakukan karena bermaksud segera melaporkan hasil wawancara ini untuk menambah informasi tentang Revan yang masih minim diposting di portal tribun-timur.com.

Tulisan di bawah inilah hasil wawancara saya via telepon dengan Andi Amir. Tulisan ini kemudian diposting di portal tribun-timur.com:


Revan Adhyaksa. Sumber foto @ jalanankota
Ini Cerita Ayah Revan Adhyaksa

MENINGGAL memang takdir yang tak bisa dielakkan. Namun ketika orang tercinta kita meninggal setelah beberapa kali ditolak ditangani tim medis rumah sakit, itu yang sangat menyakitkan.

Begitulah yang kini dirasakan kedua orangtua Revan Adhyaksa, Andi Amir (40) dan Nirmawanti (38). Pasangan suami istri ini hidup kos bersama empat anaknya di Jalan Bonto Bila, Kelurahan Batua, Kecamatan Panakkukang, Makassar.


Revan adalah balita berusia satu tahun tiga bulan yang meninggal karena diduga menderita diare dan terlambat mendapat pertolongan medis, Rabu (26/6/2013) sekitar pukul 15.00 wita. Tiga rumah sakit di Kota Makassar diduga menolak menangani Revan karena Andi Amir mengandalkan kartu jamkesda.


Amir yang sehari-hari bekerja membawa becak motor (bentor) ini menceritakan, sebelum meninggal, Revan beberapa hari terlihat muntah dan mengeluarkan tinja. Tak tahan melihat anaknya sakit, Amir bersama istrinya membawa Revan ke Rumah Sakit Umum (RSU) Daya, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Senin (24/6/2013) sore.


Di rumah sakit ini, Revan sempat diperiksa dan diberi infus oleh tim medis. Namun karena pertimbangan sakit yang diderita Revan telah kritis, tim medis RSU Daya pun merujuk Revan ke RSUP dr Wahidin Sudirohusodo, Senin (24/6/2013) malam sekitar pukul 19.30 wita.


Dalam keadaan diinfus, Revan diantar menggunakan ambulans RSU Daya bersama seorang perawat. Jarak kedua rumah sakit pemerintah ini hanya sekitar empat kilometer, sehingga hanya dalam hitungan menit, pasien tiba di UGD RS Wahidin.


Saat Revan dan ibunya berada di UGD, Amir diminta ke bagian loket. Seorang petugas loket RS itu pun menanyakan identitas Amir dan bayinya. Amir mengaku sebagai pemegang kartu jamkesda.


Beberapa saat usai berurusan di bagian loket, istrinya keluar dari UGD memberitahukan ke suaminya bahwa mereka harus cari rumah sakit lain. Pasalnya, seorang petugas RS Wahidin menyampaikan bahwa Revan tak bisa dirawat di RS tersebut karena sedang penuh pasien.        

“Padahal, malam itu hanya ada tiga pasien di UGD. Beberapa ranjang saya lihat kosong,” tutur Amir yang mengaku hanya mengenyam pendidikan hingga setingkat sekolah dasar ini.


Dengan rasa kesal tinggi, Amir pun memboyong lagi anaknya ke Rumah Sakit Ibnu Sina di Jl Urip Sumoharjo. Masih menggunakan mobil ambulans RSU Daya dan ditemani seorang perawat. Namun saat sampai di RS milik Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini, Revan hanya diperiksa di atas mobil ambulans. Revan tak sempat diturunkan ke UGD.

Tim medis yang memeriksa Revan, seperti dituturkan Amir, lagi-lagi mengaku bahwa tak bisa melayani anaknya karena alasan RS Ibnu Sina sedang penuh. Dari RS Ibnu Sina, bungsu dari empat bersaudara itu kemudian diantar lagi ke RS Awal Bross. Jarak kedua rumah sakit swasta ini hanya sekitar 1,5 kilometer.


Tapi lagi-lagi Revan dan orangtuanya mendapat perlakuan serupa. Revan hanya diperiksa di atas mobil ambulans oleh petugas medis RS Awal Bross. Tak sempat dibawa ke bagian instalasi gawat darurat.


“Lagi-lagi petugasnya bilang RS Awal Bross penuh. Saya mungkin ditolak karena mengaku pasien jamkesda,” tutur Amir dengan suara lemah.

Dari RS Awal Bross, malam itu juga Amir membawa lagi anaknya ke RS Akademis Jaury di Jl Jenderal M Jusuf (dulu Jalan Gunung Bulusaraung). Mereka diangkut lagi dengan mobil ambulans beserta sopir dan perawat RSUD Daya yang setia menemani.


Di RS yang dibangun mantan Panglima Jenderal TNI almarhum Jenderal M Jusuf itulah, Revan akhirnya diterima untuk dirawat. Di RS ini, Amir tak lagi mengaku pasien jamkesda. Tapi pasien umum.


“Sebab saya ragu, kalau saya mengaku pasien jamkesda, anak saya ditolak lagi. Makanya saya bilang pasien umum saat kami diterima,” tuturnya. Saat Revand dipastikan telah mendapat penanganan medis dari RS Jaury Akademis, barulah ambulans beserta sopir dan perawat dari RSUD Daya meninggalkan mereka.

Amir dan istrinya sudah berusaha mencarikan pertolongan untuk anaknya. Namun Tuhan memilih memanggil Revan keharibaan-Nya. Revan meninggal di RS Akademis pada Rabu (26/6/2013) sore sekitar pukul 15.00 atau setelah dua hari menjalani penanganan medis.


Dari RS Akademis, Amir membawa pulang jasad anaknya ke rumah orangtuanya di Jl Haji Kalla No 24, Makassar. Amir mengaku masih menunggak pembayaran perawatan di RS Akademis. Namun ayah anak ini diizinkan pulang setelah menjaminkan KTP-nya ke petugas loket RS.


“Walau anak saya sudah meninggal dan dikuburkan, saya masih sakit hati dengan RS yang menolak menangani anak kami,” tuturnya. Hingga berita ini ditulis, belum ada konfirmasi dari manajemen RSUP Wahidin Sudirohusodo, RS Ibnu Sina, maupun RS Awal Bross. (*)


Kota Makassar, 27 Juni 2013

Komentar