Potret Hukum di Indonesia

POTRET hukum di Indonesia saat ini sedang sakit parah. Betapa tidak, sebagian masyarakat dengan mudahnya main hakim sendiri. Ini diperparah karena hakim pun kerap ‘main’ sendiri. Praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) kerap dipertontonkan para pemilik kewenangan. 

Penyidik tak jarang main sita barang-barang milik tersangka kendati tidak terkait dengan barang bukti. Penangguhan penahanan tak ada yang gratis. Semua diukur dengan fulus. Masyarakat marjinal di negeri ini pun, terkhusus di Provinsi Sulawesi Selatan, masih kerap kesulitan memeroleh hak atas keadilan dari lembaga-lembaga penegak hukum.  

Demikian beberapa poin mengemuka yang saya tangkap pada Pertemuan Terbatas tentang Kinerja Institusi Penegak Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Masyarakat Kecil dan Kelompok Marjinal. 

Pertemuan ini berlangsung di lantai 17 Hotel Aston, Jl Sultan Hasanuddin, Makassar, Selasa 11 Juni 2013. Acara mulai pukul 09.00 hingga pukul 13.00 wita.

Kegiatan ini digelar Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM bekerja sama dengan Tim Kajian Reformasi Hukum. Saya satu dari 10 peserta yang diundang mengikuti pertemuan terbatas ini. 

Mereka yang diundang berasal dari latarbelakang beragam. Ada akademisi, praktisi hukum, jurnalis, organisasi masyarakat sosial, dan tokoh masyarakat. Di antaranya pengacara Irwan Muin SH MH MKn dan Ketua Panwas Pilwali Makassar Dr Amir Ilyas MH yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas).  

Ada juga Anwar Ilyas, pengacara yang juga mantan Ketua Bawaslu Sulsel.  Peserta lainnya adalah Dosen FH Unhas Dr Abdul Maasba Magassing SH MH dan Agussalim, anggota Panwas Pilwali Kota Makassar sekaligus aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari perwakilan jurnalis, ada juga M Irfan. Dia adalah jurnalis Koran Tempo Makassar.

Juga ada Wiwin Suwandi sebagai peserta. Wiwin adalah mantan sekretaris pribadi Ketua KPK RI Dr Abraham Samad. Sosok Wiwin sempat ramai diberitakan media-media di Indonesia pada awal 2013 lalu. 

Saat itu mahasiswa Pascasarjana Unhas ini mengakui telah membocorkan draft surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang kepada beberapa media massa di Jakarta. 

Saat itu Anas masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat. Karena terbukti membocorkan sprindik itulah Wiwin kemudian terdepak dari lembaga anti rasuah tersebut. 

Tampil sebagai pembicara pada pertemuan ini adalah Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof Dr Aswanto MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Abdul Azis, dan Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof Dr Said Karim. 

Ketiga pembicara dan beberapa peserta lainnya adalah alumni Fakultas Hukum Unhas. Antara sesama peserta maupun dengan para pembicara hampir semua saling mengenal.   

Ini membuat pertemuan ini berlangsung seru, namun santai. Peserta pun tak canggung melontarkan ulasan, gagasan, maupun kritiknya terhadap kinerja aparat penegak hukum, terkhusus di Sulawesi Selatan. 

Penegak Hukum
Pada pertemuan itu Abdul Azis banyak menyorot kinerja polisi, jaksa, dan hakim di Sulawesi Selatan yang sebagian masih memprihatinkan. Azis kembali membeberkan sejumlah modus penyalahgunaan kewenangan yang kerap dilakukan aparat penegak hukum di daerah ini. 

Mantan aktivis pers mahasiswa Unhas ini juga menyoroti banyaknya terdakwa korupsi yang dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Makassar.


Kalau pun ada yang dijerat, namun vonis yang dijatuhkan majelis hakim umumnya masih sangat ringan. Tak lebih dua tahun. Itu pun sebagian terdakwa tak langsung ditahan kendati sudah divonis bersalah. 

Berdasarkan data LBH Makassar yang dikumpulkan selama Januari-Agustus 2012, Pengadilan Tipikor Makassar telah memvonis 42 terdakwa dari 18 kasus korupsi yang disidangkan. Namun hasil yang ditimbulkan tak jarang vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa hanyalah satu tahun penjara.

Azis merinci dari 41 terdakwa korupsi, terdapat 26 terdakwa yang hanya divonis satu tahun. Enam terdakwa mendapat hukuman 15 bulan. Empat terdakwa divonis 1,5 tahun. Hanya dua terdakwa yang diputus hukuman pidana penjara selama empat tahun dan satu orang lainnya divonis tujuh tahun. Satu lainnya divonis bebas.


Perihal kinerja buruk aparat penegak hukum di daerah ini, Azis dan rekan-rekannya di LBH sudah mengirimkan laporannya ke Komisi Yudisial RI, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan. Apa yang disoroti Azis ini juga pernah ramai ditulis di media-media terbitan Makassar. 

Hukuman Mati
Prof Aswanto    memaparkan bahwa kini pemerintah dan DPR RI sedang menyusun RUU KUHAP.  Beberapa hal baru dari draft RUU KUHAP yang telah diterimanya itu antara lain mengemuka rencana pemerintah membentuk hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komisaris). 

Para hakim komisaris ini akan ditempatkan di setiap kabupaten di Indonesia. Dua orang per kabupetan. Tugas hakim komisaris ini adalah memutuskan apakah perkara yang ditangani penyidik di tingkat polsek bisa ditindaklanjuti atau tidak. 

Masalahnya, jumlah kabupaten/kota di Indonesia hanya sekitar 440. Jika dikalikan dua hakim komisaris se-Indonesia, maka jumlahnya 880 orang. Sementara jumlah polsek di Indonesia sekitar 7.700

Perbandingan jumlah hakim komisaris dengan jumlah polsek tersebut, menurut Aswanto, tak sepadan. Apalagi ada aturan, paling lambat 14 hari perkara berproses kepolisian, jika lewat bisa terjadi impunitas. 


"Hal baru dari RUU KUHAP itu, rencananya pidana mati tak ada lagi nanti. Maksimal hukuman pidana seumur hidup," ungkap Aswanto.

Sementara Irwan Muin yang duduk tepat di sebelah kanan saya, banyak menyorot soal access to justice dan praktik abuse of power. Semisal kelakuan penyidik yang 'seenaknya' menyita barang-barang tersangka yang tidak terkait dengan barang bukti.  

Ia memberi penilaian bahwa pemberitaan media massa tidak jarang telah memengaruhi instabilitas hukum. Suatu kasus yang marak diberitakan media massa, prosesnya bisa cepat selesai. 

"Sementara kasus-kasus yang tak disorot media, sering kali terhambat," kata Irwan yang tampil mengenakan pakaian serba hitam ini.

Diperkosa
Kendati tema pembicaraan serius, namun tawa canda dari pembicara maupun peserta tak jarang mengiringi dialog. Prof Karim tampil paling kerap melontarkan cerita yang mengundang gelak tawa. Semisal ceritanya tentang kesulitan penyidik Polres Toraja saat menerima laporan seorang wanita yang mengaku telah diperkosa.

Namun polisi kesulitan mengungkap pemerkosa karena korban mengaku tak mengetahui pelaku. Korban tak sempat melihat wajah pelaku. Karena rupanya korban diperkosa dalam posisi membelakangi pelaku. Penyidik pun bertanya kenapa korban tidak berusaha balik atau memberontak agar bisa mengenal wajah pelaku?


“Korban dengan polos menjawab, saya takut Pak nanti terlepas,” tutur Prof Karim yang membuat ruang pertemuan spontan riuh dengan gelak tawa. 

Entah benar atau tidak cerita tersebut. Saya tak sempat mengonfirmasinya langsung ke si pelontar cerita yang hari itu tampil mengenakan pakaian serba hitam. Tapi saya meragukan cerita tersebut sebagai peristiwa yang benar pernah terjadi.

Komentar