Diberi Novel Merintihlah dalam Tahajjudmu

"Kak, ada tamu yang mau ketemu orang redaksi," kata Nila, Sekretaris Redaksi Tribun Timur, Rabu (10/7/2013) sore.

Awalnya, saya menyangka tamu yang datang hendak komplain atas pemberitaan di Tribun Timur. Bisa juga tamu itu hendak mengadukan masalah yang dihadapi sehingga butuh dipublikasikan di koran.


Haidar Hibsy Ifala saat di kantor Tribun, Makassar, Rabu (10/7/2013).

Dugaan ini selalu muncul saat ada tamu yang datang di kantor Tribun Timur. Karena memang demikian sering saya alami sejak menjadi jurnalis Tribun Timur. Namun dugaan saya kali ini keliru. Yang datang rupanya sang penulis novel Merintihlah dalam Tahajjudmu, Haidar Hibsy Ifala. 

Haidar datang bersama Amiruddin, rekannya sesama pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Gowa. Keduanya datang mengenakan seragam dinas.


Kedatangan Haidar dan rekannya itu rupanya hendak memberikan novel karyanya kepada redaksi Tribun. Mungkin dengan maksud bukunya bisa diresensi di Tribun Timur. Koran yang terbit perdana 9 Februari 2004 lalu ini memang memilik rubrik resensi buku. Biasanya terbit saban hari Jumat.

Tak ingin menyianyiakan kesempatan tersebut, saya pun melontarkan banyak pertanyaan ke Haidar. Ini untuk menggali lebih banyak tentang sosok Haidar yang saya anggap masuk kategori tokoh yang layak ditulis untuk halaman Tribun Inspiratif.

Dari perbincangan itu, tahulah saya bahwa menulis novel yang dilakukan Haidar itu merupakan salah satu cara ia berdakwah. Syukurnya, novel yang ditulis alumnus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar ini mendapat sambutan positif di masyarakat. Buktinya, novelnya tersebut tergolong laris dibeli.

Hanya dalam tempo setahun sejak terbit perdana April 2012 lalu, novel karyanya telah dicetak dua kali. Sekali naik cetak, jumlah cetakannya mencapai 4.000 eksempelar. Lalu, berapa royalti yang telah diperoleh dari penerbitan novelnya tersebut?

“Soal royalti, itu rahasia,” tutur Haidar diiringi tawa kecil.

Bagi Kang Id, panggilan akrabnya, tulisannya telah terbit dalam bentuk novel saja sudah sangat membahagiakan. Sebab dengan demikian, syiar yang dilakukannya bisa menyebar luas dan bertahan lama.

Menurut lulusan Program Pasacasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini, novelnya tersebut awalnya berjudul Senandung Tahajjud Cinta. Namun oleh Najah, penerbit di Yogyakarta, mengubahnya menjadi Merintihlah dalam Tahajjudmu: Hanya pada-Nya Kumengadu di Tengah Malam Buta.

Tebal novel ini adalah 443 halaman. Novel ini ditulisnya di sela-sela kesibukannya sebagai fungsional perencanaan pada Kemenag Gowa dan mengajar di Mahadmin Patalassang, kelompok belajar perguruan DDI Maros.

Bagi saya, apa yang dilakukan Haidar tersebut termasuk luar biasa. Sebab menulis novel, tak banyak yang bisa melakukannya. Salut untuk lelaki kelahiran Kulon Progo, Yogyakarta, 9 Juni1965 ini. (*)


Menerima novel dari penulisnya di kantor Tribun, Makassar, Rabu (10/7/2013).


Hasil wawancara dengan Kang Id akhirnya dimuat di Tribun Timur edisi cetak Senin, 12 Agustus 2013. 



Komentar