Inspirasi dari Marten Boiliu

LELAKI kelahiran Kupang, 11 November 1974, ini telah memberi banyak inspirasi. Setidaknya bagi saya pribadi. Alasannya sangat banyak.

Di antaranya, ia telah membuktikan bahwa masih ada optimisme bagi penegakan hukum di Indonesia tanpa pandang bulu. Setidaknya ini tergambar dari upaya Marten mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi (MK) RI dengan mengajukan judicial review Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tribunnews/Imanuel Nicolas Manafe
Marten Boiliu menunjukkan putusan uji materiil Pasal 96 UU Ketenagakerjaan yang permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, di kediamannya, di Jalan Wibawa Mukti RT 01/18 Nomor 137, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Sabtu (21/9/2013). Marten yang berprofesi sebagai kepala satpam ini seorang diri mengajukan permohonan uji materiil Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ke MK dan ternyata permohonannya dikabulkan.


Hasilnya, MK mengabulkan permohonan Marten dengan menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat,  Kamis (19/9/2013). Pasal dimaksud mengatur masa kedaluwarsa tuntutan pembayaran upah pekerja atau buruh maksimal 2 tahun.

Dengan dikabulkannya permohonannya itu, maka tidak ada lagi masa kedaluwarsa dalam mengajukan gugatan hak-hak buruh. Ini jelas kabar gembira bagi para buruh/pekerja di Indonesia.

Betapa tidak, satu dasawarsa hak konstitusional buruh dikebiri oleh pasal dimaksud yang dibuat DPR dan pemerintah. Namun berkat perjuangan Marten ini, buruh kini bisa menggugat hak-haknya meski telah lewat dua tahun sejak di-PHK.

Bagi saya, andai Prof Yusril Ihza Mahendra yang bertindak sebagai orang yang meminta pembatalan Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu melalui MK dan dinyatakan permohonannya dikabulkan, tidak mengagetkan. Karena mantan Menteri Hukum dan HAM RI ini memang seorang pakar hukum sekaligus pengacara. Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini juga sudah beberapa kali perkara yang diajukan melalui MK dikabulkan.

Tapi Marten yang saya baru saja permohonannya dikabulkan MK ini bukanlah pakar hukum. Tapi seorang satpam di PT Graha Sarana Duta yang nyambi kuliah S1 di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta. Saat perjuangannya dimenangkan MK, ia masih tercatat semester empat.

Fenomenal

Hebatnya lagi, selama persidangan, Marten dkk tidak dibantu oleh pengacara. Mereka bahu membahu mematahkan argumen DPR, pemerintah dan ahli yang dihadirkan dari keduanya.

Marten pun mengaku tidak dipungut biaya oleh MK, baik pendaftaran, sidang hingga mendapatkan berkas putusan di tangan tepat usai dibacakan. Selama beracara kurang lebih setahun, ia hanya mengeluarkan uang sekira Rp 600 ribu. Itu pun untuk kebutuhan pribadi memotokopi berkas atau materi lainnya guna dipelajari.

Bagi saya, kemenangan Marten ini benar-benar fenomenal. Maka, wajar banyak media massa di Indonesia pun menurunkan berita tentang sosok Marten dan perjuangannya.  Tak hanya di media mainstream, sosok Marten pun ramai dibicarakan di media-media sosial di negeri ini, termasuk di Kota Makassar. Sepekan terakhir, sosok Marten pun telah menjadi buah bibir di Indonesia.

Pembicaraan tentang Marten akhirnya sedikit menenggelamkan pembicaraan tentang Vicky Prasetyo, mantan tunangan artis Zaskia Gotik yang sebulan terakhir ramai diulas di berbagai media di Indonesia. Bahasa ‘intelek’ Vicky yakni ‘konspirasi hati’ dan ‘konspirasi kemakmuran’ sempat menjadi trending topik di media-media mainstream maupun di media sosial di Indonesia sebulan terakhir.

Tak aneh jika kemudian banyak orang penasaran mencari tahu tentang sosok Marten. Saya satu di antaranya yang penasaran itu. Untunglah ada fasilitas internet dan banyak media online yang bisa membantu saya mencari tahu lebih banyak tentang suami dari Esther Fransiska (38) ini.

Motif
Dari beberapa media online itulah, saya baru tahu bahwa Marten mengajukan judical review Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 melalui MK dilatari nasib yang menimpanya: ia dan 65 rekannya sesama satpam di PT Sandy Putra Makmur diberhentikan perusahaannya secara sepihak dan tanpa mendapatkan hak-haknya, pada 30 Juni 2009.

Padahal, mengutip berita yang dilansir tribunnews.com, Marten bekerja sebagai satpam PT Sandy Putra Makmur sejak 15 Mei 2002. Sejak di-PHK hingga tiga tahun berikutnya, Marten dan teman-temannya tidak mendapat pesangon, uang penghargaan maupun uang penggantian hak.

Pada 11 Juni 2012, Marten dan teman-temannya mengajukan permohonan hak ke PT Sandy Putra Makmur namun tetap tak membuahkan hasil. Marten menyadari ada pasal penghambat pesangon yakni pasal 96 UU Ketenagakerjaan yang isinya mengatur bahwa tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Marten kemudian mengajukan judicial review pasal 96 UU Ketenagakerjaan ke MK pada 28 September 2012. Pada 26 Maret 2013, majelis hakim MK yang dipimpin Mahfud MD menerima permohonan tersebut.

Usaha Marten tak sia-sia. Pada 19 September 2013, MK mengabulkan seluruh permohonan Marten. Dengan adanya putusan ini, maka Marten memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan hak pesangon ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sebab selama ini dia tidak bisa mengajukan pesangonnya karena telah putus hubungan kerja dengan perusahaannya.

Berkat usahanya itu, hak-hak konstitusional buruh akhirnya dapat diraih. Buruh yang selama ini berstatus kontrak lalu dipecat secara pihak dapat mengajukan gugatan. Dengan dihapus pasal ini, buruh dapat menuntut hak pesangon yang tidak terpenuhi. Dengan catatan bahwa buruh tersebut dipecat tanpa sebab, tidak melakukan tindak pidana, dan tidak mengundurkan diri.

Untuk hal ini, penghargaan yang tinggi sudah sepantasnya diberikan kepada Marten. Para pekerja/buruh layak memberikan ucapan terima kasih yang besar kepadanya.

Mengagumkan
Hal lain yang menurut saya mengagumkan dari Marten adalah sosoknya yang pantang menyerah dengan kondisi keterbatasan ekonomi. Juga semangatnya untuk belajar yang tak kenal usia.

Marten bersama istri dan seorang anak angkatnya yang masih berusia tiga tahun serta seorang adiknya, tinggal di sebuah rumah sederhana di Gang 3, Jalan Mawar Merah III, Duren Sawit, Jakarta Timur. Sederhana karena rumahnya hanya berukuran kira-kira 3×7 meter dan berlantai satu.

Namun siapa sangka, dari rumah di gang yang tak bisa dilintasi mobil itulah Martin berjuang membatalkan pasal 96 UU Ketenagakerjaan yang dibuat DPR dan pemerintah. Kita tahu, untuk memproduk setiap UU, miliaran rupiah habis digunakan.

Marten dan keluarganya pun hidup dari upahnya bekerja sebagai satpam plus  gaji istrinya yang bekerja sebagai staf purchasing di International SOS. Hebatnya, di tengah kesibukannya bekerja sebagai satpam dan kondisi ekonominya yang masih terbatas, Martin tak menyerah untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Yang menarik, saat mendaftar S1 di FH UKI, usianya sudah 37 tahun. Bagi kebanyakan orang, usia 37 tahun boleh saja dianggap ketuaan. Sebab umumnya, usia seorang mahasiswa baru untuk tingkat S1 yakni antara 18-21 tahun. Tapi toh, Marten seakan tak memedulikan anggapan itu.

Pilihan Marten melanjutkan pendidikan di FH UKI pun tepat. Ia mengakui, sejak tercatat sebagai mahasiswa FH, gairahnya membaca literatur-literatur tentang hukum meningkat. Dengan modal bacaan dan materi kuliah ilmu hukum yang diperolehnya di kampus itulah, Martin mengaku sangat terbantu selama proses judicial review di MK.

Saat perjuangannya dimenangkan MK, ia masih tercatat semester empat di Fakultas Hukum UKI, Jakarta. Itu artinya saat perkaranya mulai disidangkan di MK, Martin masih tercatat sebagai mahasiswa baru (maba). Wow….

Apa yang dilakukan Marten, jelas tak lazim. Sarjana hukum memang banyak di negeri. Tapi mungkin masih sangat sedikit yang mau berjuang untuk melakukan judicial review terhadap produk UU melalui MK, kendati dinilai ada pasal dalam UU tersebut yang bertentangan dengan UUD 1945.

Untuk perjuangan yang telah dilakukan Marten di MK dan sosoknya yang giat belajar serta pantang menyerah dengan keterbatasan ekonomi yang dialaminya, layak disebut tokoh inspiratif. Sosoknya layak dibukukan. Bahkan dibuatkan film. (*)

Makassar, 22 September 2013.

Komentar