Catatan 4 Malam Tur ke Papua Barat
Salah satu sudut kota Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, saat diabadikan pada Minggu (24/11/2013). |
Suasana Pelabuhan Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, saat diabadikan pada Jumat (22/11/2013) sore. Harga bensin di Waisai mahal yakni Rp 15 ribu seliter. |
RAJA AMPAT, TRIBUN-TIMUR.COM - Mendapatkan bensin di Kabupaten Raja Ampat rupanya tidak mudah. Kalau pun ada, harganya relatif mahal.
"Di sini bensin kami beli Rp 15 ribu seliter. Bandingkan dengan di Makassar, hanya Rp 4.500 per liter," ujar Ahmad Hidayat yang ditemui di Penginapan Phuyakha Mengge, Jumat (22/11/2013) malam.
Penginapan Phuyakha Mengge ini berada di Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Ahmad adalah sarjana lulusan Universitas Negeri Makassar (UNM) yang sejak beberapa bulan terakhir mengajar di SMA Negeri 1 Waisai.
Ahmad juga adalah satu dari lebih 30 penerima beasiswa dari Kemendikbud RI pada program sarjana mendidik di wilayah terluar, terpencil, dan terbelakang yang ditempatkan di Kabupaten Raja Ampat.
Selain bensin, makan minum dan sewa kos di Waisai, pun mahal. Harga makan nasi dengan lauk pauk berupa ikan masak harganya paling murah Rp 15 ribu sepiring. Kalau makan nasi dengan lauk pauk ayam, harganya paling murah Rp 20 ribu. Kadang Rp 25 ribu sepiring.
"Ini pun harga makan di warung-warung rumahan. Kalau kita makan di rumah makan milik penginapan atau resort, harganya melambung tinggi," tambah Ahmad yang pernah mengajar di SMA Islam Athirah di Makassar ini.
Bagaimana harga kamar kos di Waisai? Pun relatif mahal dibanding sewa kamar kos di Kota Makassar.
"Di Waisai, biaya kamar kos saya sampai Rp 750 ribu sebulan. Itu pun rumah warga dengan dinding kayu beralas semen biasa. Tak ada fasilitas tambahan semacam kipas angin apalagi AC," tutur Ahmad lagi.
Padahal jika di Makassar, katanya, dengan harga Rp 500 ribu sebulan, ia bisa mendapati kamar kos di dekat kampus yang dilengkapi pendingin udara dan televisi serta kasur empuk.
Ahmad Hidayat di Pelabuhan Waisai, Minggu (24/11/2013). Ahmada adalah guru asal Makassar yang sementara mengabdi di SMAN Negeri 1 Waisai, Kabupaten Raja Ampat. |
Makanya kata Ahmad, selama hidup di Raja Ampat, sarjana geografi ini
harus irit. Maklum beasiswa dari pemerintah yang diperolehnya selama
mengajar di Raja Ampat hanya Rp 2,5 juta sebulan.
"Kalau di Makassar, pendapatan Rp 2,5 juta sebulan agak lumayan bagi saya yang masih bujangan. Tapi di Raja Ampat, uang Rp 2,5 juta itu sangat sedikit. Jadi di sini kami benar-benar mengabdi," tuturnya.
Untunglah katanya, harga minyak tanah di Waisai relatif murah, Rp 4.500 seliter. Memerolehnya pun relatif mudah. Makanya ia dan sebagian besar warga di Waisai pun menggunakan minyak tanah untuk memasak kebutuhan makan minum.
Walau demikian, tegas Ahmad, sedikit pun tak ada rasa menyesal ditempatkan di Waisai untuk mengajar. Ia pun mengakui, masih beruntung mengajar di Waisai.
Pasalnya di Waisai, daerahnya mulai berkembang. Pemukiman warga umumnya telah diterangi listrik oleh PLN. Kendaraan bermotor pun sudah ramai.
Sedangkan beberapa teman Ahmad yang ditempatkan mengajar di pulau-pulau lain yang masih wilayah Raja Ampat, lebih 'keras' tantangan kehidupannya. Karena di beberapa pulau tersebut belum diterangi listrik.
"Tapi kami semua bangga karena masih bisa memberi sebagian masa hidup kami untuk mengajar anak-anak di pulau-pulau terpencil, terluar, dan terbelakang dari Indonesia," ucapnya dengan nada bersemangat. (*)
"Kalau di Makassar, pendapatan Rp 2,5 juta sebulan agak lumayan bagi saya yang masih bujangan. Tapi di Raja Ampat, uang Rp 2,5 juta itu sangat sedikit. Jadi di sini kami benar-benar mengabdi," tuturnya.
Untunglah katanya, harga minyak tanah di Waisai relatif murah, Rp 4.500 seliter. Memerolehnya pun relatif mudah. Makanya ia dan sebagian besar warga di Waisai pun menggunakan minyak tanah untuk memasak kebutuhan makan minum.
Walau demikian, tegas Ahmad, sedikit pun tak ada rasa menyesal ditempatkan di Waisai untuk mengajar. Ia pun mengakui, masih beruntung mengajar di Waisai.
Pasalnya di Waisai, daerahnya mulai berkembang. Pemukiman warga umumnya telah diterangi listrik oleh PLN. Kendaraan bermotor pun sudah ramai.
Sedangkan beberapa teman Ahmad yang ditempatkan mengajar di pulau-pulau lain yang masih wilayah Raja Ampat, lebih 'keras' tantangan kehidupannya. Karena di beberapa pulau tersebut belum diterangi listrik.
"Tapi kami semua bangga karena masih bisa memberi sebagian masa hidup kami untuk mengajar anak-anak di pulau-pulau terpencil, terluar, dan terbelakang dari Indonesia," ucapnya dengan nada bersemangat. (*)
Komentar
Posting Komentar