Catatan 4 Malam Tur ke Papua Barat
, |
PENARI - Para penari dari Sanggar Riantoss santai di Bandara Rendani, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, Kamis (21/11/2013). |
MANOKWARI,
TRIBUN-TIMUR.COM
- Langit tampak cerah saat pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat
mulus di Bandar Undara (Bandara) Rendani, Kamis (21/11/2013) pagi.
Bandara dengan ukuran landasan pacu (runway) 2.000x45 meter ini berada
di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Para penumpang antre turun dari pesawat Garuda Bombardier CRJ1000 NextGen yang berkapitas 96 seat. Satu di antaranya adalah Vice President GIA Eastern Area Of Indonesia, Rosyinah Manaf.
Penumpang lainnya adalah para pengusaha travel dan jurnalis dari beberapa kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.
Kedatangan kami di bandara ini sekaitan penerbangan perdana pesawat Garuda Indonesia untuk rute baru Makassar-Sorong-Manokwari-Jayapura pergi pulang.
Para penumpang antre turun dari pesawat Garuda Bombardier CRJ1000 NextGen yang berkapitas 96 seat. Satu di antaranya adalah Vice President GIA Eastern Area Of Indonesia, Rosyinah Manaf.
Penumpang lainnya adalah para pengusaha travel dan jurnalis dari beberapa kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.
Kedatangan kami di bandara ini sekaitan penerbangan perdana pesawat Garuda Indonesia untuk rute baru Makassar-Sorong-Manokwari-Jayapura pergi pulang.
Saat menginjakkan kaki di bandara yang berada di ketinggian 15 mdpl ini,
sekelompok penari menyambut kami. Mereka terdiri atas laki-laki dan
perempuan yang masih muda-muda.
Mereka mengenakan pakaian khas adat Papua yang kental nuansa rumbai, bulu burung, dan aksesoris kepala yang dibuat dari bulu dan kepala burung cenderawasih yang diawetkan.
Melihat para penari itu, saya penasaran ingin lebih mengenal beberapa di antara mereka. Bukan karena para penari ini masih muda-muda yakni berusia antara 14 hingga paling tua 30 tahun.
Pun bukan karena mereka mengenakan pakaian adat Papua. Tapi karena melihat warna kulit, rambut, dan wajah para penari itu yang tampak beragam.
Saya menduga mereka bukan semua asli Papua dan rupanya benar. Para penari yang bergabung dalam Sanggar Seni Riantoss ini memang dihuni para penari dengan latarbelakang suku yang beragam. Ada asli Papua. Ada juga dari suku Batak, Ambon, Manado, Bugis, dan Makassar.
"Saya sendiri suku Jawa. Tapi saya lahir dan besar di sini," tutur Nowo AS (24 tahun), satu di antara penari yang menyambut kami. Nowo saat ini tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua (Unipa).
Selain suku, agama para penari ini pun beragam. Ada Kristen Protestan. Ada Katolik. Juga ada Hindu.
"Saya sendiri Muslim," tutur Hapsari (12 tahun), satu di antara penari yang menyambut kami. Ia tercatat sebagai siswi kelas 1 di SMP Negeri 3 Manokwari.
Walau suku dan agama mereka beragam, Hapsari dan Nowo mengakui memiliki kebanggaan yang sama yakni memiliki kampung bernama Manokwari. Mereka bangga lahir dan besar di Papua.
"Walau beda suku dan agama, di antara kami saling menghargai dan menghormati. Kami dilarang keras menyinggung apalagi mempertentangkan suku dan agama di tempat kami," tutur Nowo.
Nowo sudah enam tahun bergabung di Riantoss. Ini kelompok penari yang populer di Papua Barat. Mereka kerap diminta Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemkab Manokwari tampil menarikan tarian khas Papua untuk menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung di Manokwari.
"Di antaranya saat menjemput Presiden SBY dan rombongan. Juga pernah menari untuk jemput Pak Prabowo dan beberapa menteri lainnya," kata wanita berkulit putih ini.
Bagi Nowo, perbedaan suku dan agama di kelompok mereka justru menjadi kekayaan. Sekaligus tempat belajar hidup bertoleransi. (*)
Penulis: Jumadi Mappanganro
Mereka mengenakan pakaian khas adat Papua yang kental nuansa rumbai, bulu burung, dan aksesoris kepala yang dibuat dari bulu dan kepala burung cenderawasih yang diawetkan.
Hapsari (12 tahun) |
Melihat para penari itu, saya penasaran ingin lebih mengenal beberapa di antara mereka. Bukan karena para penari ini masih muda-muda yakni berusia antara 14 hingga paling tua 30 tahun.
Pun bukan karena mereka mengenakan pakaian adat Papua. Tapi karena melihat warna kulit, rambut, dan wajah para penari itu yang tampak beragam.
Saya menduga mereka bukan semua asli Papua dan rupanya benar. Para penari yang bergabung dalam Sanggar Seni Riantoss ini memang dihuni para penari dengan latarbelakang suku yang beragam. Ada asli Papua. Ada juga dari suku Batak, Ambon, Manado, Bugis, dan Makassar.
"Saya sendiri suku Jawa. Tapi saya lahir dan besar di sini," tutur Nowo AS (24 tahun), satu di antara penari yang menyambut kami. Nowo saat ini tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua (Unipa).
Selain suku, agama para penari ini pun beragam. Ada Kristen Protestan. Ada Katolik. Juga ada Hindu.
"Saya sendiri Muslim," tutur Hapsari (12 tahun), satu di antara penari yang menyambut kami. Ia tercatat sebagai siswi kelas 1 di SMP Negeri 3 Manokwari.
Walau suku dan agama mereka beragam, Hapsari dan Nowo mengakui memiliki kebanggaan yang sama yakni memiliki kampung bernama Manokwari. Mereka bangga lahir dan besar di Papua.
"Walau beda suku dan agama, di antara kami saling menghargai dan menghormati. Kami dilarang keras menyinggung apalagi mempertentangkan suku dan agama di tempat kami," tutur Nowo.
Saya bersama para penari Papua |
Nowo sudah enam tahun bergabung di Riantoss. Ini kelompok penari yang populer di Papua Barat. Mereka kerap diminta Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemkab Manokwari tampil menarikan tarian khas Papua untuk menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung di Manokwari.
"Di antaranya saat menjemput Presiden SBY dan rombongan. Juga pernah menari untuk jemput Pak Prabowo dan beberapa menteri lainnya," kata wanita berkulit putih ini.
Bagi Nowo, perbedaan suku dan agama di kelompok mereka justru menjadi kekayaan. Sekaligus tempat belajar hidup bertoleransi. (*)
Penulis: Jumadi Mappanganro
Komentar
Posting Komentar