BEKERJA
di lingkungan instana presiden mungkin dambaan banyak orang. Apalagi
ditawari posisi jabatan strategis. Tapi tidak bagi Irman Gumilang Lanti
PhD. Lelaki berdarah Makassar-Sunda ini justru memilih ke Kanada
melanjutkan pendidikan doktornya di Universitas British Columbia pada
1998. Ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Kanada.
“Yang tawari saya masuk Bina Graha kala itu adalah Dewi Fortuna Anwar. Waktu itu umur saya baru 29 tahun,” ujar Irman saat berkunjung di kantor Tribun, Makassar, Selasa (12/11/2013) sore.
Dewi Fortuna Anwar yang dimaksud adalah Direktur Kegiatan dan Penelitian pada Habibie Center, profesor riset, dan anggota Dewan Penasihat Center for Information and Development Studies (CIDES). Saat itu Dewi adalah Asisten Menteri/Sekretaris Negara Bidang Hubungan Luar Negeri (Agustus 1998 – November 1999) pada pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Irman kala itu memang bagian dari CIDES, lembaga think thank BJ Habibie. Di CIDES, ia rutin menulis disposisi untuk Habibie. Saat itu, Habibie baru saja menjabat Presiden RI menggantikan Soeharto yang lengser karena tuntutan reformasi.
“Beberapa teman mengatakan saya sebagai orang bodoh. Kok ada tawaran dari Istana ditolak,” tutur Irman yang datang ke Makassar dalam kapasitasnya sebagai Direktur Yayasan Tifa sekaitan penandatangan program Audit Sosial yang digelar di Makassar, kemarin. Audit Sosial merupakan program kerja sama Tifa dan Pemerintah Kota Makassar.
Usai menyelesaikan pendidikan S3 pada 2004, Irman kembali ke Indonesia. Ia sempat bergabung dengan tim Amien Rais yang kala itu maju sebagai calon Presiden. Irman lalu bersama Dr Eep Saefullah Fattah dan Prof Dr Anies Baswedan serta politisi Jeffrie Geovanie kemudian mendirikan The Indonesian Institute pada 2005.
Lalu pada 2006, Irman kemudian bergabung di United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkantor di Jakarta. Jabatan terakhirnya di UNDP adalah Asisten Country Director.
Ini adalah jabatan tertinggi yang pernah dijabat orang Indonesia di UNDP. Kendati demikian, Irman merasa belum puas karena apa yang dilakukannya selama enam tahun di UNDP, tidak langsung berhubungan dengan masyarakat grassroot.
Makanya pada 2012 lalu, ia resmi kemudian bergabung di TIFA, organisasi yang didirikan di Jakarta pada tahun 2000 oleh beberapa tokoh nasional seperti Todung Mulya Lubis dan Goenawan Mohamad.
Tifa adalah organisasi pemberi hibah yang berjuang untuk mempromosikan masyarakat terbuka, dengan berperan aktif menguatkan masyarakat sipil di Indonesia. Yayasan yang didirikan pada akhir tahun 2000 ini terus mempertajam fokusnya untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia.
Ia bergabung ini lembaga ini kerena merasa visi dan misi Tifa sejalan dengan sikapnya. Visi dimaksud adalah sebuah komunitas di mana penduduk, pemerintah, dan sektor bisnis mendukung hak-hak individu khususnya hak dan pandangan kaum perempuan, minoritas dan kelompok marjinal lainnya, serta mendukung dan memupuk solidaritas dan tata pemerintahan yang baik.
“Sedangkan misi Yayasan Tifa adalah memperjuangkan masyarakat terbuka di Indonesia yang menghormati keragaman serta menjunjung tinggi penegakan hukum, keadilan dan persamaan,” paparnya.
Sejumlah program pemberdayaan masyarakat sipil dan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan beberapa organisasi non-pemerintah di Sulawesi Selatan 10 tahun terakhir banyak dibantu pendanaannya oleh Yayasan Tifa. (jumadi mappanganro)
Ajarkan Anak Sejak Dini Bersikap Pluralis
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Irman Gumilang Lanti PhD, termasuk sosok yang sangat prihatin dengan kondisi Indonesia yang kerap dilanda konflik bernuansa agama, suku, maupun ras. Konflik bernuansa SARA itu hampir selalu saja mewarnai perjalanan bangsa ini.
Menurutnya, cara untuk mengurangi konflik bernuansa SARA adalah membangun sikap toleran. Sikap pluralis atau mengakui kemajemukan/pluralitas hendaknya bisa diajarkan sejak dini terhadap anak dan dibiasakan dalam keluarga.
Anak-anak harus dibiasakan bergaul dengan komunitas yang berbeda agama maupun beda suku dengannya. Dengan demikian, sejak dini anak-anak tersebut memiliki sikap yang bisa saling menghargai kendati beda entitas.
Pendapatnya itu berangkat dari pengalaman Irman sendiri. Suatu hari ia membawa anaknya yang sulung, Kalista, ke rumah rekannya yang beragama Kristen. Kalista kaget melihat ada tanda salib di rumah rekannya. Spontan anaknya yang saat itu menimba ilmu di SD Islam Al Azhar Jakarta menolak berlama-lama di rumah rekan Irman.
Menurut Irman, sikap anaknya itu mungkin karena sejak kecil hanya bergaul dengan sesama Muslim, baik di rumah maupun di sekolahnya. Sehingga terhadap orang yang bukan Muslim, anaknya menganggapnya asing.
“Maka saat tamat SD Al Azhar, saya sengaja menyekolahkannya ke sekolah umum agar sikap, pergaulan, dan pandangannya bisa berubah dengan lebih toleran,” cerita Irman saat berkunjung di kantor Tribun, Makassar, Selasa (12/11) sore. Ia datang ditemani Direktur YKPM Muljadi Prajitno dan Ahmad Al Gazali, mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Bulukumba.
Irman juga kerap menegur langsung anak-anaknya jika menyebut keburukan orang lain sembari melekatkan entitas suku/etnis dan agamanya. Baginya, dua anaknya yang kini tumbuh remaja dan mulai bersikap toleran (inklusif) terhadap orang lain yang berbeda etnis dan agama adalah sebuah ‘kemewahan’ yang dirasakan dalam keluarganya.
Irman tak memungkiri sikapnya yang pluralis karena lahir dari keluarga Muslim moderat dan majemuk dalam suku. Ayahnya, Ahmad Lanti, adalah asli Makassar yang menamatkan pendidikan di SMP dan SMA Katolik Frater Makassar. Sedangkan ibunya, Mustika, asli orang Sunda, Jawa Barat.
“Istri saya sendiri lahir dari keluarga berdarah Palembang dan Jawa Jogya,” ujar lelaki yang dekat dengan tokoh mantan Presiden BJ Habibie dan mantan Ketua MPR RI Amien Rais ini. (jumadi mappanganro)
data diri
Nama: Irman Gumilang Lanti PhD
Lahir: Jakarta, 5 Februari 1969
Jabatan: Direktur Eksekutif Yayasan Tifa
Pekerjaan: Dosen Universitas Nasional Jakarta
Pendidikan
S1: Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (selesai 1993)
S2: Universitas George Washington (selesai 1996)
S3: Universitas British Columbia (selesai 2004)
Anak: Kalista dan Andika
“Yang tawari saya masuk Bina Graha kala itu adalah Dewi Fortuna Anwar. Waktu itu umur saya baru 29 tahun,” ujar Irman saat berkunjung di kantor Tribun, Makassar, Selasa (12/11/2013) sore.
Dewi Fortuna Anwar yang dimaksud adalah Direktur Kegiatan dan Penelitian pada Habibie Center, profesor riset, dan anggota Dewan Penasihat Center for Information and Development Studies (CIDES). Saat itu Dewi adalah Asisten Menteri/Sekretaris Negara Bidang Hubungan Luar Negeri (Agustus 1998 – November 1999) pada pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Irman kala itu memang bagian dari CIDES, lembaga think thank BJ Habibie. Di CIDES, ia rutin menulis disposisi untuk Habibie. Saat itu, Habibie baru saja menjabat Presiden RI menggantikan Soeharto yang lengser karena tuntutan reformasi.
“Beberapa teman mengatakan saya sebagai orang bodoh. Kok ada tawaran dari Istana ditolak,” tutur Irman yang datang ke Makassar dalam kapasitasnya sebagai Direktur Yayasan Tifa sekaitan penandatangan program Audit Sosial yang digelar di Makassar, kemarin. Audit Sosial merupakan program kerja sama Tifa dan Pemerintah Kota Makassar.
Usai menyelesaikan pendidikan S3 pada 2004, Irman kembali ke Indonesia. Ia sempat bergabung dengan tim Amien Rais yang kala itu maju sebagai calon Presiden. Irman lalu bersama Dr Eep Saefullah Fattah dan Prof Dr Anies Baswedan serta politisi Jeffrie Geovanie kemudian mendirikan The Indonesian Institute pada 2005.
Lalu pada 2006, Irman kemudian bergabung di United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkantor di Jakarta. Jabatan terakhirnya di UNDP adalah Asisten Country Director.
Ini adalah jabatan tertinggi yang pernah dijabat orang Indonesia di UNDP. Kendati demikian, Irman merasa belum puas karena apa yang dilakukannya selama enam tahun di UNDP, tidak langsung berhubungan dengan masyarakat grassroot.
Makanya pada 2012 lalu, ia resmi kemudian bergabung di TIFA, organisasi yang didirikan di Jakarta pada tahun 2000 oleh beberapa tokoh nasional seperti Todung Mulya Lubis dan Goenawan Mohamad.
Tifa adalah organisasi pemberi hibah yang berjuang untuk mempromosikan masyarakat terbuka, dengan berperan aktif menguatkan masyarakat sipil di Indonesia. Yayasan yang didirikan pada akhir tahun 2000 ini terus mempertajam fokusnya untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia.
Ia bergabung ini lembaga ini kerena merasa visi dan misi Tifa sejalan dengan sikapnya. Visi dimaksud adalah sebuah komunitas di mana penduduk, pemerintah, dan sektor bisnis mendukung hak-hak individu khususnya hak dan pandangan kaum perempuan, minoritas dan kelompok marjinal lainnya, serta mendukung dan memupuk solidaritas dan tata pemerintahan yang baik.
“Sedangkan misi Yayasan Tifa adalah memperjuangkan masyarakat terbuka di Indonesia yang menghormati keragaman serta menjunjung tinggi penegakan hukum, keadilan dan persamaan,” paparnya.
Sejumlah program pemberdayaan masyarakat sipil dan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan beberapa organisasi non-pemerintah di Sulawesi Selatan 10 tahun terakhir banyak dibantu pendanaannya oleh Yayasan Tifa. (jumadi mappanganro)
Ajarkan Anak Sejak Dini Bersikap Pluralis
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Irman Gumilang Lanti PhD, termasuk sosok yang sangat prihatin dengan kondisi Indonesia yang kerap dilanda konflik bernuansa agama, suku, maupun ras. Konflik bernuansa SARA itu hampir selalu saja mewarnai perjalanan bangsa ini.
Menurutnya, cara untuk mengurangi konflik bernuansa SARA adalah membangun sikap toleran. Sikap pluralis atau mengakui kemajemukan/pluralitas hendaknya bisa diajarkan sejak dini terhadap anak dan dibiasakan dalam keluarga.
Anak-anak harus dibiasakan bergaul dengan komunitas yang berbeda agama maupun beda suku dengannya. Dengan demikian, sejak dini anak-anak tersebut memiliki sikap yang bisa saling menghargai kendati beda entitas.
Pendapatnya itu berangkat dari pengalaman Irman sendiri. Suatu hari ia membawa anaknya yang sulung, Kalista, ke rumah rekannya yang beragama Kristen. Kalista kaget melihat ada tanda salib di rumah rekannya. Spontan anaknya yang saat itu menimba ilmu di SD Islam Al Azhar Jakarta menolak berlama-lama di rumah rekan Irman.
Menurut Irman, sikap anaknya itu mungkin karena sejak kecil hanya bergaul dengan sesama Muslim, baik di rumah maupun di sekolahnya. Sehingga terhadap orang yang bukan Muslim, anaknya menganggapnya asing.
“Maka saat tamat SD Al Azhar, saya sengaja menyekolahkannya ke sekolah umum agar sikap, pergaulan, dan pandangannya bisa berubah dengan lebih toleran,” cerita Irman saat berkunjung di kantor Tribun, Makassar, Selasa (12/11) sore. Ia datang ditemani Direktur YKPM Muljadi Prajitno dan Ahmad Al Gazali, mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Bulukumba.
Irman juga kerap menegur langsung anak-anaknya jika menyebut keburukan orang lain sembari melekatkan entitas suku/etnis dan agamanya. Baginya, dua anaknya yang kini tumbuh remaja dan mulai bersikap toleran (inklusif) terhadap orang lain yang berbeda etnis dan agama adalah sebuah ‘kemewahan’ yang dirasakan dalam keluarganya.
Irman tak memungkiri sikapnya yang pluralis karena lahir dari keluarga Muslim moderat dan majemuk dalam suku. Ayahnya, Ahmad Lanti, adalah asli Makassar yang menamatkan pendidikan di SMP dan SMA Katolik Frater Makassar. Sedangkan ibunya, Mustika, asli orang Sunda, Jawa Barat.
“Istri saya sendiri lahir dari keluarga berdarah Palembang dan Jawa Jogya,” ujar lelaki yang dekat dengan tokoh mantan Presiden BJ Habibie dan mantan Ketua MPR RI Amien Rais ini. (jumadi mappanganro)
data diri
Nama: Irman Gumilang Lanti PhD
Lahir: Jakarta, 5 Februari 1969
Jabatan: Direktur Eksekutif Yayasan Tifa
Pekerjaan: Dosen Universitas Nasional Jakarta
Pendidikan
S1: Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (selesai 1993)
S2: Universitas George Washington (selesai 1996)
S3: Universitas British Columbia (selesai 2004)
Anak: Kalista dan Andika
Komentar
Posting Komentar