Berkenalan dengan Aktivis Lekra


"Saya dulunya aktivis Lekra. Pernah juga jadi tapol." 

Kalimat tersebut diucapkan Putu Oka Sukanta (POS) saat berkunjung di kantor Tribun Timur, Makassar, Senin (2/12/2013) malam. Ucapan pria tua berambut putih itu menjawab pertanyaan saya, "Dulunya aktif di mana, Pak?"

Saya sempat sedikit terkejut mendengar jawaban dari penulis yang akrab disapa Pak Pos ini. Sebab ada dua kata dalam jawabannya yang saya anggap banyak orang tak mau dilekatkan dengan kata tersebut. Dua kata itu adalah Lekra dan tapol.

Maklum. Lekra adalah singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ini adalah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lembaga ini didirikan atas inisiatif beberapa tokoh penting Partai Komunis Indonesia (PKI): Diva Nusantara (DN) Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950.

DN Aidit dan Nyoto saat itu adalah pemimpin PKI yang baru dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Musso dalam peristiwa Madiun. Belakangan, PKI dinyatakan sebagai partai yang dilarang oleh pemerintah RI pascatragedi pembunuhan beberapa jenderal TNI pada 30 September 1965.

Lekra dibentuk dengan tujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Lekra dibubarkan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme, Leninisme, dan Pembubaran Organisasi PKI beserta Organisasi Massanya. Sedangkan tapol adalah singkatan dari tahanan politik.

"Nah karena saya diketahui orang Lekra, makanya saya pernah menjadi tapol beberapa tahun tanpa pernah diadili," tutur aktivis kelahiran Singaraja, Bali, 29 Juli 1939 silam ini.

Makanya, bisa dipahami jika banyak orang tak mau dilekatkan dengan cap orang Lekra maupun tapol. Sebab dengan cap sebagai orang Lekra, bakal berurusan dengan aparat keamanan negeri ini. Terutama semasa Orde Baru berkuasa.

Putu Oka  Sukanta beda. Ia memperkenalkan dirinya sebagai orang Lekra dan mantan tapol dengan santai. 

Bedah buku
Pak POS datang di kantor Tribun ditemani Muhammad Abbas, Asst Program Officer Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KP2A) Sulawesi Tengah. Abbas yang juga aktif di Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sulawesi Tengah ini lahir di Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, 11 Januari 1980.

Pak POS dan Abbas datang di Makassar dalam rangka memenuhi undangan Bedah Buku Sulawesi Bersaksi (Tuturan Penyintas Tragedi 1965). Digelar Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, di Kampus Unhas, Tamalanrea, Makassar, Selasa (3/12/2013).

Awalnya, Abbas menghubungi saya terkait rencana bedah buku tersebut melalui telepon selular beberapa hari sebelumnya. Ia juga menyampaikan rencana kehadiran Pak POS sebagai pembicara. Saya kemudian menawarinya berkunjung ke Tribun sekaligus memperkenalkan Pak POS.

Saya mengajaknya ke kantor Tribun karena penasaran ingin mengenal lebih dekat dengan Pak POS setelah membaca buku Sulawesi Bersaksi (Tuturan Penyintas Tragedi 1965). Buku ini terbit atas jasa Pak Pos sebagai editor sekaligus penggalang dana untuk penerbitan buku ini melalui organisasi yang dipimpinnya, Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.

Buku setebal 224 halaman ini berisi kisah tentang para korban yang selamat atau cerita duka keluarga dari orang yang dicap PKI yang bermukim di Sulawesi pada 1965-1966. Buku ini banyak mengungkap cerita yang dulunya disembunyikan. Tentang buku ini, saya membuat resensinya dan dimuat di Tribun Timur edisi cetak  3 Desember 2013.

Dari perbincangan santai dengan Pak POS, saya kemudian mendapat banyak info tentang dirinya. Ia  rupanya telah lama menjadi penulis. Ia juga telah menghasilkan beberapa novel dan kumpulan cerpen. Di antaranya Merajut Harkat (novel, 1999) dan Lobakan (Cerita Seputar Tragedi 1965/1966 di Bali, 2009).

Beberapa bukunya sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Cuplikan novelnya, Leftover Soul, ditampilkan dalam Manoa: A Pacific Journal of International Writing. Tidak hanya menghasilkan buku, Pak POS juga telah memproduksi film-film dokumenter. Di antaranya tentang Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965/66. 

Putu Oka Sukanta sudah kerap diundang ke beberapa negara Eropa, Asia, Australia dan Amerika. Baik dalam kapasitasnya sebagai pengarang maupun sebagai aktivis kemanusiaan. "Selagi masih hidup, saya bertekad untuk menghasilkan minimal satu buku setiap tahun," katanya.

Christina Joseph
Selain aktif menulis, POS juga rupanya telah lama menjadi aktivis penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Ia pernah ke Makassar untuk urusan program penanggulangan HIV dan AIDS beberapa tahun lalu. Waktu itu, ia banyak ditemani Christina Joseph SH.

Christina yang dimaksud adalah aktivis perempuan di Makassar sekaligus pendiri Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH P2I). Christina meninggal pada 2002 lalu.
 
"Selain masih aktif menulis, saya sekarang juga berprofesi sebagai akunpuntur," tuturnya. Keahliannya sebagai akupunktur itu diperolehnya dari teman satu selnya saat  dipenjara sebagai tahanan politik, Dr Lie Tjwan Sin. 

Setelah hampir dua jam berbincang-bincang, Pak POS dan rombongan pamit pulang. Namun sebelum meninggalkan kantor Tribun, Abbas memberi saya satu eksempelar buku. Judulnya 1965: Indonesia dan Dunia. Sampul buku ini didominasi warna putih. Sedangkan tulisan 1965  yang tampak menonjol pada sampul buku ini didominasi warna merah.

Dari Pak POS, saya menerima pemberiannya berupa satu keping CD film dokumenter berjudul Jembatan Bacem. Film ini diproduksi Elsam dan Pakorba Solo. Film ini menceritakan tentang tiga orang saksi dan dua orang survivor yang lolos dari upaya penghilangan paksa di atas Jembatan Bacem pada 1965-1966. Jembatan dimaksud terletak di perbatasan Solo dan Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. (jumadi mappanganro)



Komentar