Pengawasan vs Kekuasaan Kepala Desa


- Catatan dari Sharing Hasil Studi Kelembagaan Tingkat Lokal di Kantor BaKTI

Pengairan dan air minum umumnya masih buruk di banyak desa di Indonesia. Begitu pun kondisi infrastruktur dan pelayanan pemerintahan terhadap warganya juga umumnya masih buruk.

Pada sisi lain, kekuasaan kepala desa di banyak desa di Indonesia juga hingga kini masih belum diimbangi dengan pengawasan. Penyebabnya di antaranya, pengurangan otoritas Badan Pemusyarawatan Desa (BPD) yang telah melemahkan akuntabilitas seiring meningkatnya kekuasaan kepala desa.

Hal tersebut mengemuka pada Sharing Hasil Studi Kelembagaan Tingkat Lokal Ke-3 yang digelar di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Selasa (29/4/2014). Sharing hasil studi ini dipaparkan Lenny Darmawan dan Lily Ho dari PNPM Support Facility Jakarta. Diskusi dipandu Luna Vidya Matulessy, seniman berdarah Maluku kelahiran 27 Februari.


STUDI KELEMBAGAAN - Lenny Darmawan (berdiri) dan Lily Ho (dua dari kanan) dari PNPM Support Facility Jakarta saat Sharing Hasil Studi Kelembagaan Tingkat Lokal Ke-3 yang digelar di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Selasa (29/4/2014). Studi ini menyimpulkan di sejumlah desa yang diteliti mengemuka adanya pengurangan otoritas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) telah melemahkan akuntabilitas seiring meningkatnya kekuasaan kepala desa. FOTO: MUHAMMAD ABDIWAN.

Hal yang dipaparkan merupakan hasil penelitian terhadap isu kapasitas lokal, modal sosial, pemerintahan desa, pemerintahan kabupaten, dan PNPM. Metode penelitian yang digunakan adalah pengumpulan data kualitatif dan survei rumah tangga. 

Jumlah desa yang diteliti mencapai puluhan desa yang tersebar di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, dan NTT. Sejauh ini, katanya, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di desa yang diteliti hanya sedikit yang pro aktif melakukan pemberdayaan masyarakat dan mengontrol kekuasaan kepala desa. 

"Akibatnya pelayanan pemerintahan desa kepada warganya pun berjalan tanpa kontrol yang baik,” papar Lily Ho.

Hal lain yang menjadi permasalahan warga pada banyak desa di Indonesia sebagaimana dipaparkan Lenny dan Lily  adalah memburuknya akses ke sumber daya alam. Masalah lainnya adalah semangat gotong royong penduduk desa yang kian berkurang dan pemimpin formal setempat juga tidak responsif. 

Acara ini berlangsung sejak pagi hingga siang. Dihadiri perwakilan beberapa badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda) kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di daerah ini. 

Turut hadir sejumlah akademisi, perwakilan kantor pemerintah, dan jurnalis di Makassar. Saya hadir mewakili Tribun Timur yang turut diundang. Beberapa di antara peserta saya kenal baik. Di antaranya hadir Rusdin Tompo (mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulsel) dan Muslimin B Putra (komisioner Ombudsman Sulsel). 

Ada juga Suriani Mappong (jurnalis KBN Antara), Junardi (Ketua Jaringan Independen Radio Komunitas (JIRAK) Celebes), dan Darmawan Denassa (pendiri The Gowa Centre dan Rumah Hijau Denassa)

Sesuai undangan, diskusi ini sedianya digelar pukul 09.00 wita. Namun saya baru tiba di acara ini setelah lewat pukul 10.00 wita. Materi yang dipaparkan agak 'berat'. Kendati demikian, panitia diskusi mampu 'menyegarkan' suasana dengan cara cerdas: mementaskan kelompok musik pada pertengahan diskusi. Cukup menghibur. 

Acara ini pun berakhir sekitar pukul 12.15 wita. Sebelum pulang, setiap peserta diberi selembar kertas untuk memberi penilaian terhadap sharing hasil studi tersebut. Dilanjutkan makan siang: mi pangsit. Enak juga nih. (jumadi mappanganro)

Komentar