Sepenggal Cerita Mantan Bandar Narkoba

CARA paling efektif agar seseorang tak lagi ketergantungan narkoba adalah tekad kuat dari korban itu sendiri untuk sembuh. Memenjarakan para korban narkotika bukan solusi yang tepat. Sebab tak sedikit di antara korban narkotika itu justru makin leluasa menggunakan narkoba di rutan maupun di lapas.

Pun ketika penyalahguna narkotika berada lingkungan penjara, mereka justru rentan tertular HIV/AIDS, Hepatitis C dan B, maupun TBC. Belum lagi masalah over kapasitas di lapas maupun rutan. 

 WORKSHOP - Samuel Nugraga (kanan) saat menjadi pembicara pada Workshop Media Peduli dan Empati Permasalahan Narkotika yang digelar di Hotel Dinasty, Makassar, Rabu (25/6/2014). Workshop yang dipandu Shanti Riskiyani ini digelar Persaudaraan Korban Napza Makassar (PKNM).

Penegasan itu disampaikan Samuel Nugraha saat bincang-bincang santai dengannya di Hotel Dinasty, Makassar, Rabu (25/6/2014) sore. Kami bertemu karena sama-sama diundang sebagai pembicara pada Workshop Media Peduli dan Empati Permasalahan Narkotika yang digelar di Hotel Dinasty. Workshop ini digelar Persaudaraan Korban Napza Makassar (PKNM).

Lelaki yang lebih akrab disapa Sam ini memang sangat paham jika berbicara tentang narkotika dan permasalahannya. Maklum, ia adalah Dewan Pengawasan Persaudaraan Korban Narkotika Indonesia (PKNI).

Ia juga pendiri Rumah Singgah PEKA, tempat rehabilitasi para korban napza berbasis komunitas. Rumah singgah ini didirikan di Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada November 2009.  Bukan hanya itu, ia juga pernah selama lima tahun ketergantungan narkotika antara tahun 1994 hingga 1999.

Ganja, sabusabu, ineks, lsd, kokain, mushroom, pil koplo, dan putaw (heroin kualitas rendah) pernah ia konsumsi. Saat itu usianya kepala dua. Kala itu ia bahkan pernah menjadi bandar narkotika di Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Pekerjaan ini terpaksa dilakukan karena harus mendapatkan uang. Dari keuntungan bisnis itulah juga ia belikan narkoba untuk dikonsumsi sendiri. Pasalnya, uang yang biasa ia peroleh dari orangtuanya tak lagi cukup untuk memenuhi ketergantungannya pada narkotika.

“Waktu itu, setiap hari saya harus konsumsi dua gram putaw. Padahal harga putaw di pasar gelar saat itu sudah mahal,” tutur pria yang kini telah berusia 41 tahun.

Ditangkap polisi hingga dimasukkan dalam penjara karena keterlibatannya dalam kasus narkotika pernah ia rasakan. Tapi hukuman itu tak membuatnya terlepas dari ketergantungan narkotika. Ia pun pernah menjalani program penanganan adiksi dengan berobat ke dokter umum. Namun tak berhail. Badannya terus menerus sakit karena menagih obat.

Sam juga pernah mencoba berkonsultasi ke psikiater, profesi dokter spesialistik yang memiliki spesialisasi dalam diagnosis dan penanganan gangguan emosional. Dari psikiater ini, ia justru dirujuk ke rumah sakit jiwa.

Karena tak tahu lagi cara bisa keluar dari ketergantungannya terhadap narkotika, ia pernah coba bunuh diri dua kali. Ia pernah memotong urat nadinya. Tapi Tuhan rupanya belum mau mencabut nyawanya.

“Waktu itu saya baru sadar ketika sudah mendapat perawatan di rumah sakit. Ternyata Tuhan masih memberi saya kesempatan hidup,” tutur Sam sembari memperlihatkan tangan kirinya yang masih menyisakan bekas goresan.

Barulah setelah keluar dari rumah sakit dan menjalani proses rehabilitasi, perlahan lelaki yang telah beristri ini bertahap tak mengonsumsi narkotika.

“Sudah 15 tahun ini saya bersih dari ketergantungan narkotika. Sisa merokok dan ngopi yang belum bisa saya tinggalkan total,” tuturnya diiringi tawa ringan.



Penulis bersama Sam Nugraha saat di Hotel Dinasty, Makassar, Rabu (25/6/2014).

Rumah PEKA
Saat bebas dari ketergantungan narkotika, Sam kemudian terpanggil untuk terlibat menolong para korban narkotika lainnya. Katanya, tak sedikit anak-anak, remaja, hingga orang dewasa di Bogor telah menjadi korban penyalahgunaan narkoba.

Lalu bersama beberapa rekannya, Sam mendirikan Rumah Singgah PEKA di Bogor pada November 2009. Rumah ini dijadikan tempat rehabilitasi para korban napza berbasis komunitas. Rumah PEKA menerima klien untuk menjalani perawatan ketergantungan napza dengan metode multi-disciplinary model.

Ini adalah sebuah program yang menawarkan pendekatan yang lebih menyeluruh dengan menggunakan berbagai komponen yang berkaitan dengan beberapa pendekatan termasuk pengintegrasian hubungan antara klien dan keluarga.

Namun sebelum mendirikan Rumah Singgah PEKA, Sam sempat mendirikan Yayasan PITA, kelompok dukungan orangtua yang anaknya terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV). HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi.

Sam juga pernah bergabung di United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Ini adalah lembaga PBB yang misinya antara lain memperkuat dan mendukung respon yang meluas terhadap HIV dan AIDS yang termasuk mencegah transmisi HIV.

Lembaga ini juga berfungsi menyediakan fasilitas dan dukungan untuk orang yang sudah terlanjur hidup dengan virus, mengurangi kerentanan seseorang dan komunitas terhadap HIV dan mengurangi dampak epidemik. UNAIDS bermarkas di Jenewa, Switzerland. 


Kini Sam kerap diundang berbicara di berbagai forum untuk berbagi ilmu dan pengalaman serta solusinya tentang napza dan permasalahannya di Indonesia. 

Sore itu, saya tak sempat menggali lebih dalam tentang perjalanan hidup Sam. Perbincangan kami hanya singkat karena saya harus balik lagi ke kantor. Sementara Sam juga hendak ke Ballata, rumah singgah bagi para korban napza dan ODHA di Makassar. (jumadi mappanganro)

Ditulis di Makassar, 26 Juni 2014

Komentar