Menyoal Ceramah Abdurrahman Qayyum

SEPEKAN terakhir, sosok Abdurrahman Qayyum (AQ) ramai menjadi topik pembicaraan di kalangan jurnalis, netizen, komunitas warkop serta politisi di Kota di Makassar. Ini dipicu berita berjudul Abdurrahman Qayyum Sindir Wartawan yang terbit di surat kabar Ujungpandang Ekspres edisi Kamis 17 Juli 2014.

 

Berita itu mengutip ucapan AQ saat ceramah di Masjid Taqwa, Kabupaten Enrekang, beberapa hari lalu. Dalam ceramahnya, AQ menyampaikan bahwa wartawan adalah pilihan profesi yang harus dihindari sebagai pilihan kerja. Alasannya, bukan karena bentuk pekerjaannya bersentuhan barang kotor, tapi nilai manfaat ibadahnya lebih kecil dibanding mudharatnya.

Selain sindir wartawan, AQ juga mencela penjahit, pensiunan rajin bawa proposal dan pedagang berwatak China. Sebab, katanya penjahit tak pernah lepas dari kebohongan kepada pemesan. Sementara alasannya mencela pedagang berwatak China, tak ditulis dalam berita ini.

Sontak pernyataan itu mengundang kemarahan sebagian besar jurnalis di Sulsel hari itu juga. Sejak pagi itu, beberapa teman pun menuliskan kecamannya terhadap AQ melalui status BlackBerry-nya. Sebagian menumpahkan kemarahannya dengan menulis di twitter. Sebagian lainnya mengutuk via Facebook.

Beberapa teman jurnalis kemudian meminta respon atas ucapan pemilik sejumlah mobil mewah itu ke saya sebagai Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan. Kepada mereka yang menghubungi, saya katakan bahwa PJI mendahulukan meminta klarifikasi secara terbuka ke AQ terkait ucapannya itu.

Mengapa perlu mendahulukan meminta klarifikasi? Sebab ada kemungkinan si penulis berita itu salah mengutip maksud pernyataan AQ. Kemungkinan lain, si penulis berita itu sudah benar dan ucapan AQ-lah yang keliru.

Jika ucapan itu memang benar dilontarkan AQ, saya termasuk orang yang sangat menyesalkan dan mengecam keras sindiran tersebut. Manusiawi. Siapa sih tak tersinggung jika profesinya dihina?

Saya menilai pernyataan AQ tersebut mengandung penghinaan atas profesi wartawan dan mereka yang mencari nafkah sebagai penjahit. Bukan hanya itu, ucapan AQ itu tergolong rasis karena telah menghina warga suku Tionghoa. Ucapan itu jelas telah melukai perasaan para jurnalis dan keluarganya, para penjahit dan keluarganya, serta seluruh warga Tionghoa.

Yang menyakitkan karena ucapan itu dilontarkan oleh seorang ustad yang ‘punya nama’ di Sulawesi Selatan (Sulsel). J
uga berprofesi sebagai dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dengan gelar doktor. 
 
Bukan hanya itu, ia juga dikenal sebagai penasihat spritual beberapa pejabat penting di daerah ini.
Pendiri Rahman Qayyum Centre, agen dan biro perjalanan serta konsultasi spritual, ini juga dikenal sebagai ustad yang gemar mengoleksi mobil-mobil mewah semisal Hummer dan Toyota CJ Cruiser.

Saya akui, tak sedikit oknum mengatasnamakan wartawan yang berulah melanggar kode etik jurnalistik. Tapi ulah sebagian oknum tersebut tak dapat lantas menggeneralkan jurnalis sebagai profesi buruk yang harus dihindari.

Bukankah hari ini kita tahu bahwa ada ratusan warga Gaza, Palestina, meninggal dan ribuan lainnya terluka dalam dua pekan terakhir ini akibat digempur militer Israel itu karena kerja para jurnalis?

Bukankah kita juga tahu bahwa rupanya banyak pejabat di negeri ini ditangkap karena terjerat kasus korupsi itu dari liputan para wartawan? Lantas mengapa AQ mencap jurnalis sebagai profesi buruk?

Begitu pun saya kira profesi lain. Kita tak bisa menyamaratakan bahwa profesi A harus dihindari hanya karena ada oknumnya yang jahat atau menyimpang dari kode etik profesi tersebut.

Hal serupa pada mereka yang mencari nafkah dengan menjadi penjahit. Bagi saya, pekerjaan mereka sangat mulia. Bukankah hari ini kita leluasa memilih dan mengenakan pakaian, itu karena jasa para tukang jahit? Lantas mengapa AQ mencelanya?

Saya tak habis pikir mengapa AQ  juga mencela pedagang berwatak China dalam ceramahnya. Ada apa dengan watak China? Burukkah? Bukankah banyak pedagang dari etnis Tionghoa itu sukses dan kaya raya karena keuletan dan kejujurannya berbisnis?

Kalau pun ada segelintir pedagang dari etnis Tionghoa tak jujur dalam berbisnis atau memanipulasi laporan pajaknya, tak bisa lantas digeneralkan bahwa watak pedagang Tionghoa itu buruk? Bukankah bisnis ilegal atau tak jujur dalam berbisnis juga dilakoni tak sedikit pedagang dari etnis Arab, Bugis, Makassar, Jawa, dan suku lainnya?

Tapi jangan karena segelintir pedagang dari etnis A misalnya yang ketahuan berbisnis ilegal atau tak jujur, lantas dicap bahwa semua pedagang etnis A itu buruk? Bukankah pikiran menggeneralkan itu tergolong sesat pikir?

Lapor polisi
Walau termasuk yang sangat menyesalkan dan mengecam keras sindiran AQ tersebut, saya menolak dengan tegas ajakan beberapa teman yang berniat demo sekaligus melaporkan AQ ke polisi.

Sikap saya adalah menghargai kemerdekaan berpendapat. Satu contoh sikap menghargai kemerdekaan berpendapat itu adalah kata-kata dibalas kata-kata. Tulisan dibalas tulisan. Bukan mengadukannya ke polisi.

Menurut saya, ajakan melaporkan AQ ke polisi bertentangan dengan spirit menghargai kemerdekaan berpendapat. Jika orang begitu mudah mengadukan seseorang ke polisi hanya karena pendapatnya menyinggung, jelas sangat berbahaya.

Kondisi tersebut jelas dikhawatirkan berdampak pada lunturnya sikap kritis masyarakat. Orang dipastikan kian banyak yang takut menjadi narasumber media untuk mengeritik karena khawatir kritiknya bisa berujung ia dilaporkan ke polisi.

"Karena itu, sikap saya cukup kita kecam pernyataan AQ itu melalui media. Tak perlu kita demo ke kantornya, apalagi melaporkan ke polisi," jawabku merespon ajakan teman yang berniat demo sekaligus melaporkan AQ ke polisi, Jumat malam, 18 Juli 2014. 


Klarifikasi AQ
Setelah menunai kecaman dari banyak pihak, AQ kemudian menjelaskan maksud perkataannya. Menurutnya, dia tidak bermaksud menghina profesi wartawan, namun pihaknya hanya menyindir wartawan yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik.

Dia juga membantah jika dirinya memojokkan warga Tionghoa. Ia hanya menyinggung pedagang yang tidak jujur dan penjahit yang kerap tidak menepati janjinya terhadap konsumennya. 


Semoga klarifikasi AQ tersebut benar. Kita berharap 'insiden' ini menjadi pelajaran bersama. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Makassar 23 Juli 2014

Komentar