Prinsip Wawancara Menurut David Candow


DALAM melakukan reportase, wartawan dituntut mendapatkan sebanyak mungkin informasi.

Dengan informasi yang banyak, wartawan dapat leluasa menyajikan berita yang lebih komprehensif, menarik, dan bernas. Juga kaya data. 

Minimal berita yang dibuat sesuai ekspektasi audiens-nya. Nah agar informasi bisa diperoleh lebih banyak, wartawan harus tahu teknik wawancara yang baik. 

Andreas Harsono dalam bukunya A9ama Saya adalah Jurnalisme (2010) menyarankan wartawan dalam melakukan wawancara mengikuti prinsip David Candow.

David Candow adalah pelatih jurnalis dari Canadian Broadcasting Corporation. Saya menangkap ada 8 poin penting prinsip Candow dimaksud:


1. Saat wawancara, jurnalis mengajukan pertanyaan yang mewakili rasa ingin tahu publik.

2. Wartawan harus sopan.
3. Harus siap dengan pemahaman bahan.

4. Saat mengajukan pertanyaan, jurnalis tak bernada menghakimi.

5. Jurnalis tak menunjukkan kesan sudah tahu, sok pamer, dan sok pintar.

6. Gunakan pertanyaan dengan kalimat pendek atau maksimal 16 kata.

7. Pertanyaan yang diajukan menggunakan kalimat tanya terbuka. 

8. Kata tanya yang diajukan mewakili unsur 5W 1H.


Uraian
Biar lebih jelas poin-poin penting dari prinsip wawancara yang disarankan Candow tersebut, berikut ini pendapat saya berdasarkan pengalaman sebagai jurnalis di Tribun Timur

1. Mengapa saat wawancara, jurnalis harus mengajukan pertanyaan yang mewakili rasa ingin tahu publik? 

Sebab jurnalis memang bekerja untuk publik. Minimal sesuai segmentasi pembaca atau audiens medianya. 

Jurnalis yang bekerja tak mewakili rasa ingin tahu pembaca, pendengar atau pemirsanya, maka konsekuensinya 'berat'.  

Karya jurnalistiknya bakal tak dilirik oleh publik. Cepat atau lambat, medianya akan ditinggalkan audiensnya. 

Publik pun tak akan memedulikan media tersebut. Jika ini terjadi, media itu bakal bangkrut.

Misal. Seorang pengusaha menyampaikan ke pers terkait keinginannya maju sebagai calon kepala daerah A. 

Maka jurnalis harus menanyakan beberapa hal yang ingin diketahui publik. Maka pertanyaannya misalnya:

- Siapa nama lengkap pengusaha tersebut?
- Berapa umurnya?
- Apakah sudah bersuami/beristri
- Berapa anaknya?   

- Bagaimana latar belakang pendidikannya? 
- Bagaimana riwayat organisasinya? 
- Bagaimana riwayat pekerjaannya? 

- Apa saja bidang usaha yang digeluti?
- Sejak kapan jadi pengusaha? 
- Di mana saja usahanya? 

- Apakah dia juga polikus? 
- Apa saja partai politik yang diklaim akan mengusungnya? 

- Apakah selama jadi pengusaha, ia tak masuk daftar hitam penunggak pajak? 
- Apa motivasinya sehingga berniat maju sebagai calon kepala daerah? 

- Siapa pasangannya maju sebagai calon kepala daerah? 
- Berapa harta kekayaannya sehingga ia yakin bisa membiayai keinginannya maju sebagai calon kepala daerah? 

- Apa saja yang telah dilakukannya dalam rangka mewujudkan keinginannya maju sebagai calon kepala daerah? 


2. Mengapa wartawan harus sopan saat wawancara? 

Saya kira etika ini berlaku universal. Di mana saja di belahan bumi, sopan santun dibutuhkan. Sopan pun, belum tentu narasumber senang diwawancarai. 

Apalagi jika sejak awal jurnalis itu menunjukkan sikap tak sopan. 

Di Amerika dan Eropa yang biasa disebut negara Barat pun wartawan dituntut sopan di hadapan narasumber. Apalagi di Indonesia yang kental budaya timurnya. 

Ketika jurnalis menunjukkan kesan tak sopan, maka narasumber biasanya akan tertutup.

Narasumber akan meminta agar wawancara dengannya tak lama. Jika ini terjadi, maka jurnalis akan kesulitan menggali informasi lebih dalam dari narasumber. 

Sebaliknya jika pewawancara menunjukkan sikap sopan, maka narasumber akan merasa nyaman.

Karena merasa nyaman, biasanya narasumber akan terbuka dan memberi banyak informasi yang dibutuhkan jurnalis.

Kesopanan memang abstrak. Tapi minimal bisa diukur dari tutur bahasa. Juga cara berpakaian yang menyesuaikan tempat atau kondisi saat wawancara. 

Intinya, jika ingin dihargai narasumber,  maka kita harus lebih dulu menghargai mereka. 

3. Mengapa wartawan juga harus siap dengan pemahaman bahan.

Sebab dengan memahami persoalan yang ditanyakan, maka jurnalis bisa menggali informasi sebanyak mungkin dari narasumber.

Sebaliknya wartawan yang tak memahami persoalan yang ditanyakan, sulit mengembangkan pertanyaan. 

Misal kita ingin memberitakan perihal orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Maka sebelum wawancara, kita mesti memahami apa itu HIV dan AIDS. 

Jangan sampai kita menyamakan bahwa mereka yang terserang HIV sudah pasti AIDS. Anggapan ini jelas keliru. 

Kita juga mesti tahu bagaimana HIV dan AIDS itu bisa menular? Bagaimana cara mencegah penularannya? 

Maka sebelum wawancara, cari dulu artikel terkait HIV dan AIDS. Kalau tak mau repot, searching bahannya di Google. 

Bukan hanya itu, jurnalis harus tahu etika menulis orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. 

Etikanya adalah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS identitasnya tak boleh dipaparkan secara jelas dan terbuka di depan publik. 

Identitas dimaksud: mulai nama, tempat kerja, alamat rumah, organisasi yang diikutinya, maupun identitas keluarganya. 

Foto orang yang hidup HIV dan AIDS tak boleh dipajang.  Boleh saja dipajang fotonya dengan syarat, seizin langsung orang tersebut. Fotonya pun tak menampakkan wajah orang tersebut secara jelas.  

Alasannya jika ketahuan, dikhawatirkan orang yang hidup dengan HIV dan AIDS itu bakal dikucilkan atau mendapat perlakuan diskriminasi oleh masyarakat luas. 

Nah setelah kita mendapat sedikit pemahaman bahan tentang HIV dan AIDS, barulah kita bisa menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan kita ajukan saat wawancara kepada narasumber. 

Dari pertanyaan-pertanyaan itulah, kita juga bisa menentukan siapa narasumber yang relevan diwawancarai. 

Menyusun daftar pertanyaan juga sangat penting agar saat bertemu dengan narasumber, kita tak cepat kehabisan pertanyaan saat wawancara.



4. Mengapa saat mengajukan pertanyaan jurnalis tak bernada menghakimi?

Bahkan terhadap narasumber yang berstatus tersangka atau tahanan karena kasus yang dituduhkan, jurnalis tak boleh bertanya dengan nada menghakimi narasumber. Sebab jurnalis bukan hakim.

Jurnalis harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Karena itu, tak ada alasan bagi jurnalis bertanya dengan nada menghakimi narasumber. 

Lagi pula jika jurnalis bertanya dengan nada menghakimi, maka percayalah narasumber bakal tak suka. 

Karena tak suka, narasumber bisa saja meninggalkan wartawan tersebut. Bisa juga terjadi saling debat yang dikhawatirkan berujung bertengkar. 

Jika kekhawatiran itu terjadi, maka tujuan wawancara untuk mendapatkan banyak informasi dari narasumber akan gagal. 


Jadi bertanyalah dengan nada tak menghakimi narasumber.




5. Mengapa jurnalis tak boleh menunjukkan kesan sudah tahu, sok pamer, dan sok pintar?

Sebab narasumber umumnya tak suka dengan gaya jurnalis yang terkesan sudah tahu, sok pamer, atau sok pintar. 

Terhadap jurnalis yang sok tahu atau sok pintar, biasanya narasumber pun ogah diwawancarai. 

Kalau pun masih bersedia meladeni pertanyaan wartawan, maka jawaban narasumber tak keluar maksimal. Asal jawab saja.

Dalam hati narasumber bisa saja mengatakan, "jika kamu tahu, ya jawab saja. Ngapain bertanya lagi ke saya."

Karena itu, penting bagi jurnalis bersikap rendah hati. Caranya mengesankan diri tak banyak tahu perihal yang ditanyakan kepada narasumber saat wawancara.

Sebaliknya mengesankan narasumber sebagai sosok yang banyak tahu.

Dengan alasan itulah kenapa jurnalis perlu menggali sebanyak mungkin informasi dari narasumber.


6. Mengapa sebaiknya menggunakan pertanyaan dengan kalimat pendek atau maksimal 16 kata?

Sebab daya ingat seseorang sangat terbatas. Itulah kenapa 'diharamkan' bertanya dengan kalimat yang sangat panjang. 

Makin panjang kalimat tanya yang diajukan wartawan, makin menurun kemampuan narasumber mencerna pertanyaan.

Sebaliknya, makin pendek kalimat pertanyaan, makin mudah si narasumber memahami pertanyaan wartawan.

Dengan memahami pertanyaan dari wartawan, narasumber bisa dengan mudah memberi jawaban. Kekeliruan jawaban bisa diminimalisir.



7. Mengapa pertanyaan yang diajukan menggunakan kalimat tanya terbuka?

Sebab pertanyaan tertutup menghasilkan jawaban yang kurang memuaskan. Pada pertanyaan tertutup, biasanya narasumber menjawab singkat "ya" atau "tidak."

Contoh pertanyaan tertutup:
- Apakah Anda lapar?
- Apakah Anda PNS?
- Apakah Anda terlibat korupsi?

Dengan jawaban singkat dari narasumber, jurnalis akan repot ketika bermaksud membuat berita dari proses wawancara. 

Itu karena ucapan atau jawaban yang kita peroleh dari narasumber sangat sedikit. Hanya ucapan ya atau tidak.

Sebaliknya dengan pertanyaan terbuka, maka jawaban dari narasumber bisa panjang-panjang. 

Contoh pertanyaan terbuka:
- Mengapa Anda bisa lapar? 
- Bagaimana perjalanan karier Anda?
- Mengapa Anda dituduh terlibat korupsi?

Dengan penjelasan atau jawaban yang panjang dari narasumber, jurnalis pun bisa leluasa membuat berita yang lebih mendalam.



8. Mengapa kata tanya yang diajukan mewakili unsur 5W 1H?

Sebab 5W + 1H adalah kumpulan pertanyaan yang lazim ingin diketahui publik terhadap suatu informasi. Dibutuhkan untuk memenuhi unsur kelengkapan berita. 

Singkatan dari what, who, when, where, why, how. Bahasa Indonesianya: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana. 

Jika ada yang kurang dari salah satu unsur 5W+1H, maka berita yang dihasilkan tak utuh. 

Rumus 5W+1H ini juga dibuat untuk membantu atau memudahkan jurnalis menyusun pertanyaan sebanyak mungkin saat wawancara. 

Misal. Kita melihat sekelompok orang demo di DPRD Sulawesi Selatan. Sebagai jurnalis, kita harus segera mendekat untuk mencari tahu lebih dalam tentang demo tersebut.

Lalu, kita mendekati ke salah seorang pengunjukrasa atau legislator yang menerima aspirasi mereka untuk bertanya/wawancara. 

Maka pertanyaan yang kita ajukan berdasarkan rumus 5W+1H di antaranya adalah:
- APA (what) saja aspirasi yang disampaikan pengunjukrasa?

- SIAPA (who) saja yang demo?
- SIAPA (who)  saja anggota dewan yang menerima para pengunjukrasa? 

- Sejak KAPAN (when) 

- Selain di DPRD Sulawesi Selatan,  DI MANA (where) saja mereka datang menyampaikan aspirasi?

- MENGAPA (why) mereka demo? 
- MENGAPA mereka merasa perlu menyampaikan aspirasi tersebut? 

- BAGAIMANA (how) reaksi anggota dewan terkait aspirasi pengunjukrasa? 
- BAGAIMANA suasana gedung DPRD Sullsel saat didatangi pengunjukrasa?
- BAGAIMANA jalannya demo: rusuh, tertib atau menegangkan? 
- BAGAIMANA duduk masalah terkait aspirasi mereka? 

Nah jawaban-jawaban dari sejumlah pertanyaan di atas itulah yang disusun menjadi berita. 

Mudah kan? Jadi, selamat mencoba. Ingat, wawancara yang baik akan menghasilkan banyak informasi.

Sedangkan wawancara yang buruk menghasilkan banyak bantahan. (jumadi mappanganro).

Ditulis di Warkop Anggun, 11 Januari 2015

Komentar