Medsos sebagai Media Perjuangan

Pada Minggu (1/2/2015) siang, saya menghadiri undangan sebagai narasumber pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) VI. Digelar di Hotel Jolin, Jalan Pengayoman No 7, Kota Makassar. Acara ini dilaksanakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Pelatihan ini telah berlangsung sejak 26 Januari 2015. Rencana berakhir, 9 Februari 2015. Pesertanya 35 orang yang merupakan sarjana hukum dan mahasiswa hukum akhir yang memiliki minat dalam pemberian bantuan hukum. Berasal dari tiga provinsi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Para peserta ini merupakan hasil seleksi yang telah dilakukan LBH Makassar, LBH Manado dan LBH Papua.

Bersama peserta dan panitia Kalabahu VI regional Sulawesi-Papua di Hotel Jolin, Makassar, Minggu (1/2/2015). Acara ini digelar LBH Makassar didukung Austalia Indonesia Partneship for Justice (AIPJ). 

Sesuai term of reference (TOR) yang tertera dalam surat yang saya terima, pelatihan ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan jumlah, kapasitas dan kemampuan calon pengacara bantuan hukum dalam menjalankan bantuan hukum di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Kedua, bertujuan menyebarkan ide bantuan hukum khususnya BHS kepada sarjana hukum dan atau calon pengacara bantuan hukum di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.

Pada kalabahu ini, saya diminta membawakan materi bertema Kebebasan Pers dan Keterbukaan Informasi. Menyesuaikan tema, saya pun menyampaikan bahwa rakyat Indonesia patut lega karena kini kebebasan pers dan keterbukaan informasi mendapat jamin perlindungan dari negara melalui konstitusi.

Terkait kebebasan pers, jaminannya antara lain di atur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 28F. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Perihal kebebasan pers juga dilindungi dalam Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada Pasal 4. Ayat 1 pada pasal ini disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat kedua menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Sedangkan ayat ketiga Pasal 4 UU Nomor  40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.


Ayat keempat menegaskan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Dengan jaminan kebebasan pers tersebut, para pekerja media dapat leluasa melakukan fungsi kontrol sosial tanpa takut akan dibredel.

Media internal
UU No 40 tahun 1999 tentang Pers ini juga memberi jaminan kepada siapa saja warga negara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers. Namun harus berbentuk badan hukum Indonesia, mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan.

Karena itu, menurut saya, dengan UU ini kawan-kawan pegiat NGO boleh saja membuat media internal: baik berbentuk media online, majalah, buletin, atau sejenisnya. Tak perlu lagi izin pemerintah yang dulu dikenal Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Dengan memiliki media internal, Anda dapat leluasa memublikasikan kegiatan, pernyataan sikap, dan beragam informasi yang kawan-kawan miliki. Selain media internal, sangat penting juga memiliki akun di media sosial (medsos) semacam Facebook, Tsu, Twitter, dan serupanya.

Dengan memiliki akun di medsos, dapat menjadi saluran atau wadah berbagi (sharing) informasi ke para netizen dengan cepat. Kelebihan lainnya dapat diakses kapan dan di mana saja, sepanjang tentu saja harus ada koneksi internet. 

Mengapa media internal dan medsos perlu dimiliki kawan-kawan aktivis atau pengiat organisasi non pemerintah (ornop) semacam lembaga bantuan hukum (LBH)? Karena jika semata mengandalkan media arus utama (mainstream) semacam surat kabar harian, televisi, radio dan sejenisnya, tidak ada jaminan kegiatan atau aspirasi yang kawan-kawan perjuangkan dipublikasikan di media tersebut.

Harus diketahui, media arus utama umumnya berorientasi profit (mencari untung). Maka space (ruang) yang disediakan media arus utama, tak semata berita tapi juga iklan. Bahkan sering kali iklan lebih diutamakan dimunculkan daripada berita jika space terbatas.

Keterbatasan tersebut, bukan berarti kawan-kawan lantas ‘putus asa’ menyalurkan aspirasi ke media arus utama. Tetap penting untuk menggunakan media arus utama dalam menyebarkan perjuangan kawan-kawan, khususnya terkait bantuan hukum struktural (BHS).

BHS adalah  konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk mendorong terwujudnya negara hukum yang menjamin keadilan sosial dengan cara melibatkan klien untuk ikut menyelesaikan masalahnya sendiri, mengorganisir diri mereka sendiri dan pada akhirnya bisa mandiri dan tidak tergantung lagi kepada pengacaranya. 

 
Sementara perihal keterbukaan informasi telah diatur dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU ini menegaskan antara lain bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja, kecuali informasi publik yang dikecualikan.

Informasi publik yang dikecualikan tersebut antara lain informasi yang dapat membahayakan negara, informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi, informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan, dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

 

Komentar