Blokir Media Online

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI mengambil langkah yang mengagetkan banyak orang pada Senin (30/3/2015). Langkah dimaksud adalah memblokir akses ke-19 media online. Ke-19 situs itu adalah arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, dan muslimdaily.net. 

Lainnya adalah hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, dan daulahislam.com.



Mengutip situs kompas.com edisi Senin (30/3/2015), pemblokiran itu dilakukan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo merespon surat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bernomor : 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/website radikal. 

Isi surat dimaksud meminta situs-situs itu ditutup dengan alasan menyebarkan paham dan ajaran radikalisme, seperti kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Saya sempat kaget membaca berita tersebut. Menurut saya, langkah Kementerian Kominfo itu patut dipertanyakan dan digugat. Adakah bukti konten-konten yang dipublikasikan oleh 19 media online tersebut berbahaya bagi keutuhan NKRI? Benarkah informasi yang disajikan media-media tersebut bisa berdampak pada timbulnya konflik sosial di masyarakat? 

Apakah moral pembaca akan rusak hanya karena membaca beragam tulisan di media-media yang diblokir tersebut? Adakah bukti bahwa mereka yang ditangkap polisi dengan tuduhan teroris mengaku bahwa mereka berpaham radikal setelah membaca situs-situs yang dituduh sebarkan paham radikal itu?

Adakah hasil penelitian ilmiah yang mengungkap bahwa akibat informasi yang disajikan hidayatullah.com dkk itu berpengaruh erat pada diri banyak orang hingga berpaham radikal? 

Sudahkah Kementerian Kominfo meminta klarifikasi kepada pengelola media-media online itu sebelum diblokir? Adakah rekomendasi dewan pers yang menyetujui pemblokiran situs-situs itu?


Suasana di Kantor Tribun Timur, Makassar, Selasa (31/3/2015) malam. 
Dewan Pers
Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan kita pertanyakan kepada Kementerian Kominfo dan BNPT. Sebab alasan pemblokiran tersebut lemah. Kalau benar media-media itu menyebarkan paham radikalisme, mengapa pengelolanya tak diadukan ke Dewan Pers. 

Biarlah Dewan Pers melakukan fungsinya sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Fungsi dimaksud adalah melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, serta memberikan pertimbangan atau mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Jika dari hasil kajian Dewan Pers itu menilai bahwa konten-konten di media online tersebut terbukti melanggar UU Nomor 40 tahun 1999, maka biarlah lembaga yang dibentuk dan didanai oleh negara ini yang mengambil sikap. 

Andai saya Dewan Pers, maka sikap saya meminta pengelola situs-situs tersebut mencabut atau menghapus konten-konten yang dimasalahkan. Bukan meminta Kementerian Kominfo memblokir medianya. 

Karena setelah membuka konten-konten yang ada di situs-situs yang diblokir itu, sangat banyak berisi informasi yang bermanfaat. Kendati saya juga melihat ada beberapa konten yang isinya menyebarkan kebencian atau tidak menghormati kebhinekaan.  

Hak tahu
Bagi saya, langkah Kementerian Kominfo itu bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang mengakui dan menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat. Pemblokiran itu juga tak sejalan dengan spirit Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada Pasal 4 dan Pasal 6. 

Pasal 4 point 1 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Lalu poin kedua menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sementara poin tiga tertulis, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Sementara Pasal 6 menyebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: 
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, HAM dan menghormati kebhinekaan. 
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemblokiran media-media online itu sebagai tindakan gegabah sekaligus antidemokrasi. Apalagi ternyata pemblokiran itu dilakukan sepihak tanpa didahului permintaan klarifikasi dari para pengelola situs tersebut dan tidak meminta pertimbangan Dewan Pers.

Yang penting diketahui adalah pemblokiran yang tidak beda dengan pembredelan media tersebut telah menghalangi publik memperoleh haknya untuk bebas mendapatkan informasi.  (JM)

Makassar, 31 Maret 2015

Komentar