Cerita Joaquin F Monserrate tentang Sulawesi Selatan

Saya, Nur Thamzil Thahir dan Ardy Muchlis sementara menikmati kopi di kantin kantor Tribun Timur. Sebuah mobil hitam Toyota Fortuner tiba di halaman kantor Tribun, Senin (8/6/2015) sekira pukul 13.30 wita.

Ternyata penumpang mobil ini adalah Konsulat Jenderal (Konjen) Amerika Serikat (AS) di Surabaya Joaquin F Monserrate. Ia ditemani Carolina Escalera yang bekerja sebagai Public Affair Officer Konjen AS di Surabaya.

Konjen AS di Surabaya Joaquin F Moserrate memperlihatkan foto istrinya, Michaela Newnhamyang menjadi foto master di halaman 1 Kompas di kantor Tribun, Makassar, Senin (8/6/2015).

Sebelum ke Tribun, Carolina memang telah menyampaikan rencana kunjungannya via email. Tapi saya sempat ragu jika yang datang adalah seorang konjen dari negara adidaya di dunia. 

Sebab ia datang tanpa dikawal mobil patroli milik polisi. Juga tak ada mobil lain yang mengiringinya. Mereka datang seperti kebanyakan tamu biasa lainnya.

Padahal, sebagian pejabat asal Jakarta maupun elite di Sulsel setingkat bupati, sering kali datang di kantor kami dikawal dengan mobil patroli. Mobil yang ikut serta dengannya pun tak satu, tapi lebih dua unit mobil.

Joaquin datang dengan mengenakan kemeja berbalut jas, tanpa dasi. Sedangkan Carolina Escalera mengenakan busana tanpa lengan. Santai. Keduanya diterima di ruang rapat seukuran 3x5 meter.

Dari manajemen Tribun Timur yang menerimanya adalah Maddo Pammusu (pemimpin umum), Ronald Ngantung (wakil pemimpin redaksi I), Thamzil Thahir (wapimred II), Ardy (reporter), Muh Abdiwan (fotografer) dan saya. 

“Kota ini (Makassar) berkembang pesat. Kota yang vital. Orangnya juga sangat ramah. Murah senyum. Sangat aman di sini,” tutur Joaquin mengawali perbincangan tersebut.

Pujiannya tak berhenti. Ia juga memuji Makassar yang telah menjadi pusat pendidikan dan hub bagi transportasi udara di wilayah timur Indonesia. Apalagi katanya, sebentar lagi kereta akan hadir di Makassar.

Ia juga kagum dengan masyarakat Sulsel karena banyak tokoh yang berkiprah dan berpengaruh di tingkat nasional itu berasal dari daerah ini. Ia menyebut nama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua KPK nonaktif Abraham Samad sebagai contoh.

“Istri saya baru saja dari Papua. Rupanya dia mengaku banyak menjumpa orang asal Sulawesi Selatan di sana,” kata suami Michaela Newnham yang dikenalnya saat tahu ketiga studinya di University of Puerto Rico, Inggris ini.

Bukan hanya itu, pria yang fasih berbahasa Indonesia ini juga salut dengan perkembangan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Sulsel. Termasuk sudah jarang didengar terjadi konflik horizontal bernuansa agama di daerah ini. 

Beberapa alasan itulah mengapa Kota Makassar dipilih sebagai kota tempat perayaan seremoni perayaan kemerdekaan AS yang digelar di Hotel Aston, Makassar, akhir Mei 2015 lalu.

Joaquin banyak tahu tentang perkembangan Kota Makassar atau Sulsel secara umum karena sebagai Konjen AS di Surabaya, tugasnya banyak berkaitan dengan perkembangan wilayah timur Indonesia.  

Tugasnya antara lain memperkenalkan lebih baik lagi tentang tentang Indonesia, khususnya kawasan timur Indonesia, kepada masyarakat Amerika Serikat. Di sisi lain juga bertugas lebih mengenalkan dan mendekatkan AS dengan masyarakat di timur Indonesia.

Joaquin rupanya telah beberapa kali berkunjung di Makassar. Saban ke kota ini, ia selalu menginap di Hotel Aryaduta, Makassar. 

Ia masih ingat kali pertama di kota ini yakni pada Juli 2001 lalu. Kala itu bertepatan momentum MPR menggelar sidang istimewa mencabut mandat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI.

Joaquin juga tahu bahwa harga property di Kota Makassar termasuk tertinggi di Indonesia. Ia menilai hal itu menandakan investasi di kota ini masih sangat terbatas. Masih di sektor property. Masih sangat kurang masyarakat Sulsel yang menanamkan investasinya di sektor lain. Semisal bisnis saham. 

Kota Makassar, kata Joaquin lagi, kerap ia dengar dicap banyak warga di luar Sulsel sebagai kota demo. Cap itu karena selalu saja demo di kota ini jadi pemberitaan televisi. 


Padahal ia tahu, demo di kota ini sering kali hanya dilakukan segelintir orang. Titik demo pun sangat sedikit sehingga sebenarnya tidak banyak ‘memengaruhi’ keamanan kota ini.

Bahasa Indonesia
Pada pertemuan itu, Thamzil melontarkan pujian kepada Joaquin karena dianggap ‘berani’ datang tanpa ditemani penerjemah. Biasanya tamu-tamu asing yang berkunjung ke Tribun, apalagi dari kedutaan, biasanya datang didampingi penerjemah. 

“Anda ini termasuk orang yang berani tanpa penerjemah. Anda sangat fasih berbahasa Indonesia,” tutur Thamzil diiringi tawa. 

Joaquin pun menjawab, itu karena di Konsul AS di Surabaya sehari-hari wajib berbahasa Indonesia. Tak seperti di Kedubes AS di Jakarta. 

“Kalau tidak tahu bahasa Indonesia, kita tidak bisa leluasa bercakap-cakap dengan gubernur, wali kota dan para kiai di Surabaya,” katanya diiringi tawa kecil. 

Pria yang akrab disapa Wakin ini awalnya seorang pengacara. Sebelum bergabung dengan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dia berkecimpung di bagian kriminal dan mitigasi sipil. 

Juga pernah bekerja sebagai reporter cetak di tempat asalnya Puerto Rico. Dia mendapat gelar BA dari Georgetown University dan JD dari University of Puerto Rico.

Ia kemudian bergabung dengan Dinas Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 1999 dan sudah ditempatkan di Biro Bagian Dunia Belahan Barat di Washington, DC, Indonesia dan India. 

Joaquin juga pernah menjabat Wakil Kepala Bagian Ekonomi Kedutaan Besar AS di Vietnam, ditempatkan di Hanoi dari tahun 2007-2009. Juga sempat ditugaskan di Kuba, negeri Fidel Castro.

Wakin kemudian kembali ke Indonesia pada September 2012 menggantikan Kristen F Bauer sebagai Konjen AS di Surabaya.  Ini merupakan tugas kedua Joaquin di Surabaya setelah sebelumnya pernah ditempatkan di ibu kota Jawa Timur itu pada tahun 2000 hingga 2002 sebagai diplomat. 

Dibanding dengan negara lain yang pernah ditempati dinas, kata Wakin, Indonesia paling disukainya. Itu karena karakter masyarakat Indonesia umumnya ramah dan wellcome dengan siapa saja. Pers di Indonesia juga jauh lebih demokratis. 

Indonesia juga kaya dengan obyek wisatanya. Termasuk di Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia menyebut Pantai Bira di Bulukumba, Tana Toraja, dan Selayar sebagai potensi wisata yang menarik dari Sulsel.  

Muslim AS
Pada pertemuan sembari mencicipi barongko dan teh hangat itu, Wakin juga menceritakan perkembangan Muslim di AS. Katanya, pascatragedi pengeboman World Trade Centre (WTC) 11 September 2001 lalu, Muslim berkembang cepat di AS. 

Banyak orang AS juga akhirnya makin paham tentang Muslim. Kini saban Ramadan ada tradisi buka puasa bersama di Gedung Putih (The White House), rumah kepresidenan Presiden Amerika Serikat. 

Gedung ini terletak di 1600 Pennsylvania Avenue di Washington, DC. Gedung ini merupakan tempat tinggal resmi presiden dan keluarganya selama masa jabatannya sebagai presiden.

Tradisi buka puasa di Gedung Putih pertama kali diterapkan saat Presiden AS dijabat George W Bush. Sebelumnya, buka puasa bersama tidak pernah digelar di Gedung Putih. Ini menunjukkan makin harmonisnya kehidupan antarumat beragama di AS.

Ia mengatakan, bagaimana perkembangan Muslim di AS bisa juga dikroscek kepada  Syamsi Ali, orang Sulsel yang menjadi imam di Islamic Center of New York. Ia juga sekaligus Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat.

Pendidikan
Wakin juga menceritakan bahwa sejauh ini, jumlah pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di AS masih tergolong sangat sedikit. Hanya sekira 200-an. 

Padahal, katanya, biaya pendidikan dan biaya hidup di AS masih lebih murah dibanding di Australia maupun Eropa. Bukan hanya itu, kesempatan memeroleh beasiswa studi ke AS pun kini lebih banyak.

Mungkin karena itulah, AS melalui kedutaannya di Indonesia tahun ini berencana memberangkatkan 27 pelajar dari kawasan timur Indonesia ke AS. Tiga di antaranya, siswa SMA asal Sulsel. Di AS, nantinya akan belajar sembari tinggal di rumah warga setempat selama masa program. 


Program ini dimaksudkan antara lain semakin banyak orang Indonesia memahami tentang AS. Ia tahu, masih ada segelintir orang yang tak suka AS karena belum memahami.

Tak terasa perbincangan sudah berlangsung sejam. Wakin dan Carolina pun pamit. Namun sebelumnya, Wakin menyampaikan rencananya mengundang manajemen Tribun untuk berkunjung ke Kantor Konjen AS di Surabaya. 

Ia juga berharap, suatu hari ada jurnalis Tribun Timur terpilih mendapat beasiswa mengikuti program pengembangan diri di AS. Wah, semoga saja. Amin. (jumadi mappanganro)


Makassar, 10 Juni 2015

Komentar