Curhat Korban Narkoba dan Pemerhati AIDS di Makassar

COBALAH perhatikan lebih dalam berita-berita tentang kasus narkoba dan AIDS di media massa di Indonesia, terkhusus di Sulawesi Selatan. Maka umumnya masih cenderung menyorot pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal, bukan sebagai korban.

Begitu pula berita tentang orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) cenderung diberitakan dengan angle yang terasa menyeramkan. Juga masih didominasi berita tentang korban napza dan ODHA yang berhadapan dengan hukum.

Hsl tersebut mengemuka pada diskusi bertema Media dan Fenomena AIDS di Kantor Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indoneaia (BaKTI), Jl Mappanyukki, Kota Makassar, Kamis (28/5/2016). 


(Kiri ke kanan) National Policy Manager Rumah Cemara Ardani Suryadarma, Syahrul Syasuddin, dan Jumadi Mappanganro di Kantor BaKTI, Makassar, Kamis (28/5/2015).
Ini diskusi seri kelima yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel bekerja sama dengan BaKTI. Dihadiri sejumlah jurnalis, korban narkoba dan aktivis pemerhati korban narkoba dan AIDS di Makassar.

Acara ini menghadirkan Kabiro Bina Napza dan HIV-AIDS Setda Sulsel Sri Endang Sukarsih MP, National Policy Manager Rumah Cemara Ardani Suryadarma, dan Syahrul Syamsuddin dari Persaudaraan Korban Napza Makassar (PKNM) sebagai pembicara. Saya bertindak sebagai moderator.

“Masih jarang kita temukan berita tentang adanya praktik transaksi ‘jual beli’ pasal antara aparat penegak hukum dengan korban napza. Misalnya agar klien direhab, maka harus bayar sekian juta rupiah. Tak bayar, maka akan dikenakan pasal untuk dikurung,” beber Ardani yang kerap mendampingi korban napza dan ODHA di Kota Bandung. 

Ardani juga menyoroti narasumber terkait kasus narkoba dan temuan AIDS yang muncul di media massa umumnya dari aparat penegak hukum, bukan korban sebagai narasumber utama.

Sementara Syahrul membeberkan betapa rutan maupun lapas bukan tempat yang baik agar korban napza berhenti dari kecanduan. Dalam banyak kasus, mereka yang ditahan di lapas atau rutan karena kasus narkoba justru kian parah ketergantungannya dengan narkoba. Bahkan mereka sangat rentan penyebaran HIV. 

Karena itu, Syahrul berharap para jurnalis justru mengungkap nasib korban narkoba yang memperihatinkan di lapas dan rutan serta menggali kisah lebih dalam tentang mengapa mereka kecanduan narkoba. 

'Bisa jadi mereka menjadi korban narkoba karena masalah ekonomi atau ada masalah keluarganya. Jadi tidak sebatas memberitakan jumlah pengguna narkoba bertambah atau polisi menangkap pengguna narkoba saja," papar pria yang hobi mendaki ini.

Sementara Sri menilai, selama ini pemberitaan korban napza dan ODHA juga sebagian masih kerap terjadi stigma. “Juga cenderung lebih suka membeberkan pribadi korban, bukan pada masalahnya. Nah kita mau, berita-berita tentang narkoba dan ODHA ke depan lebih mengedukasi dan menginspirasi,” papar Sri.

Pada diskusi ini, Sri juga membeberkan data perkembangan pengguna narkoba dan ODHA di Sulsel yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Kini tak ada satu daerah pun di Sulsel yang warganya steril kecanduan narkoba maupun ODHA.

"ODHA dan mereka yang menjadi korban narkoba di setiap daerah di Sulsel pun tak kenal batas usia. Mulai anak-anak hingga kakek-nenek sudah banyak kena," beber Sri.

Kiko dari BaKTI juga turut mengomentari tema diskusi. Katanya, masih sangat minim pula ditemukan di media massa tulisan-tulisan yang mengangkat kisah-kisah ODHA yang tetap bisa berprestasi atau cerita tentang korban napza yang sukses terlepas dari ketergantungan narkoba.

"Padahal dengan memberitakan orang-orang yang sukses terbebas dari ketergantungan narkoba atau tentang ODHA yang tetap bisa berprestasi dan hidup sehat diharapkan bisa menjadi spirit dan inspirasi bagi banyak orang," pesan Kiko. (jumadi mappanganro)

Makassar, awal Juni 2015

Komentar