Jangan Panggil Saya Waria!

Para transgender Thailand - Sumber foto: Post Today Thai

SEBAGIAN orang menyebut pria yang bersifat, bertingkah laku atau mempunyai perasaan seperti wanita sebagai waria. 

Konon diksi waria terbentuk dari singkatan setengah wanita setengah pria. Benarkah? Entahlah.

Waria juga kerap disebut banci atau bencong. Masyarakat Bugis Makassar kebanyakan menyebutnya calabai. 

Tulisan ini tak bermaksud mengulas asal usul kata-kata tersebut. Sebab saya bukan munsyi.

Kali ini saya hanya ingin berbagi sedikit cerita tentang curhat dari kelompok transgender ini.

Rasanya sudah terlalu sering saya mendengar penuturan orang yang mengaku sial hanya karena baru saja bertemu dengan bencong.

Kesempatan lain, saya juga beberapa kali mendengar tudingan bahwa para bencong kelak di akhirat tempatnya di neraka. 

Alasannya, mereka tak bersyukur atas jenis kelamin yang diberikan Tuhan padanya. 

Mereka yang mengaku sial kala bersua waria maupun yang memonis bahwa bencong tempatnya kelak di neraka, itu tak sedikit alumnus perguruan tinggi. 

Latarbelakang profesi mereka beragam. Ada jurnalis, guru, dosen, polisi, pengusaha, pengacara, jaksa, birokrat pemerintah, dan lain-lain.

Beberapa kali pula saya mendengar dan melihat langsung para waria ini diusir, dicaci maki, dan diserang sekelompok orang yang tak sudi menerima keberadaan mereka. 

Pertemuan atau acara-acara yang menghadirkan banyak kaum waria di negeri ini pun kerap dibubarkan paksa.

Mungkin karena tuduhan-tuduhan negatif itulah, orang-orang yang disebut bencong itu tak mau dipanggil waria atau calabai. Mereka lebih menerima disebut sebagai kaum transgender.

Atau seperti kata Runner-up Pemilihan Waria Cantik Peduli AIDS dan Narkoba Sulsel (1998) Tiara Tiar Bahtiar, "Panggil saya dengan namaku sendiri. Sebab saya punya nama." 

Permintaan Tiara itu disampaikan saat saya menerima kunjungannya di Kantor Tribun Timur, Makassar, 19 Juni 2012 lalu.  

Wakil Ketua Kerukunan Waria dan Bissu Sulsel dan Indonesia Timur (2000-sekarang) ini juga memberikan bukunya ke saya. 

Judulnya Jangan Panggil Aku Waria. Buku ini berisi kumpulan puisi dan cerita mini karya Tiara bersama rekannya, Rizal Rais. 

Judul tulisan ini juga terinspirasi dari judul buku tersebut.


Kaum transgender - Sumber foto: tribunnews

Aspirasi Tiara dan para kaum transgender yang menolak dipanggil waria, bencong atau calabai, itu bagi saya  dapat dimaklumi. Sepatutnya dihormati. 

Sebab sebutan waria, bencong atau calabai telah menjadi diksi diskriminatif. Mengandung stigma. Pelecehan. 

Ada kesan negatif pada orang yang dilekatkan dengan sebutan tersebut. Juga tak adil rasanya.

Maka ketika mereka berharap disebut kaum transgender, itu adalah hak mereka. Apa susahnya jika diterima sebagai realitas. 

Sebab kita tidak bisa memungkiri keberadaan mereka. Mereka ada jauh sebelum orang mengenal tulisan (pra sejarah). Sebarannya pun di mana-mana?


Kaum transgender peringati Hari HAM di Jakarta, 10 Desember 2007. Foto; Jurnasyanto Sukarno/EPA

Saya teringat dengan seorang  transgender di kampung saya, Pomalaa. Sebuah daerah tambang feronikel di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Orangnya lebih tua dari saya. Ia pernah curhat kepada saya. Kala itu saya masih duduk di bangku SMA.

Inti curhatnya, ia mulai agak ragu ke masjid untuk salat berjamaah. Keraguannya itu muncul usai mendengar ceramah di masjid. 


Si penceramah itu menyebut bahwa para waria adalah penipu besar. Sebab Tuhan saja hendak ditipunya. 

Bencong juga orang tak bersyukur dengan kodratnya sebagai pria. Karena itu tempatnya kelak di neraka. 

Padahal, tutur si transgender ini, siapakah orang yang mau dilahirkan dalam kondisi bencong? Fisiknya diakuinya laki-laki. 


Tapi perasaannya adalah perempuan. Ia menyukai laki-laki. Ia tidak punya nafsu pada wanita. 

Katanya, salahkah ia memiliki perasaan seperti itu? Bukankah soal perasaan itu tidak bisa dibuat-buat? 


Bukankah soal perasaan itu adalah pemberian Tuhan Sang Maha Berkehendak? 

"Kalau memang itu salah, kenapa Tuhan mengizinkan saya terlahir dalam wujud pria tapi berperasaan seperti wanita?” kurang lebih begitu curhatnya.

Mendengar penuturannya, saya hanya diam. Kala itu, saya tak tahu kalimat apa yang tepat untuk merespon curhatnya. 


Akal saya sungguh sulit menerima klaim bahwa nasib sial sangat erat kaitannya dengan bencong. 


Saya juga merasa tak adil jika karena bencong, lalu menjadi alasan mereka layak ditempatkan di neraka. 

Sebab soal siapa kelak menjadi penghuni surga atau neraka adalah hak prerogatif Allah SWT, Sang Maha Adil. 


Jadi, terima sajalah para kaum transgender itu apa adanya. (JM)

Gowa, 24 Ramadan 1436 H

Komentar

Posting Komentar