Media Masih Minim Sosialisasikan Hak Pengguna Jalan

KORBAN kecelakaan lalulintas akibat jalan rusak atau ketidaklaikan jalan berhak menuntut pemerintah atau pengelola jalan. Hak warga ini diatur dalam Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas, khusus pada pasal 24 dan 273.

Pada UU tersebut ditegaskan, setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan lakalantas sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan, bisa dipidana dengan penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp12 juta.


DISKUSI MEDIA - Suasana pada Serial Diskusi Media di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Selasa (30/6/2015). Diskusi yang digelar PJI Sulsel dan Yayasan BaKTI ini dirangkaikan buka puasa bersama. 

Hal tersebut mengemuka pada Serial Diskusi Media yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur (BaKTI), Selasa (30/6/2015).

Acara yang dirangkaikan buka puasa ini digelar di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar. Diskusi ini membahas tema Fenomena Mudik dalam Liputan Media.

Tampil sebagai pembicara adalah dosen Ilmu Komunikasi Unhas Aswar Hasan MSi, Ketua Masyarakat Peduli Keselamatan Jalan Raya Sulsel Munzil dan Sekretaris Forum Masyarakat Pengurangan Bencana Kota Makassar M Yusran. 

Saya bertugas sebagai pemandu diskusi. Acara ini dihadiri sejumlah jurnalis dan mahasiswa P3TV. Direktur P3TV Slamet turut hadir.

“Jika mengakibatkan luka berat, korban bisa menuntut hingga paling banyak Rp 24 juta. Sedangkan jika meninggal dunia, keluarga korban bisa menuntut pembayaran denda paling banyak Rp120 juta,” papar Munzil.

Jika penyelenggara jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki sehingga mengakibatkan lakalantas, bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp1,5 juta.

Sayangnya, katanya, hak-hak pengguna jalan ini masih kurang tersosialisasi. Yang sering disampaikan ke publik adalah umumnya tentang kewajiban pengguna jalan.

“Sementara hak pengguna jalan dan kewajiban pemerintah atau penyelenggara jalan atas kelaikan jalan, itu masih sangat minim disosialisasikan, termasuk oleh media massa,” tambah Munzil yang juga pendiri SAR Universitas 45 Makassar ini.

Menurut Munzil, yang sering diberitakan media pada musim mudik adalah posko mudik dan jumlah kerugian materi dari lakalantas serta hanya saat kejadian saja. Tidak mendalam dan tidak berkelanjutan.

Sangat minim media menelusuri: berapa banyak lakalantas yang menyebabkan korban jiwa akibat kerusakan jalan dan apakah mereka mendapat ganti rugi atau tidak dari perusahaan asuransi? 

Bagaimana kondisi korban beberapa hari pasca-kejadian, juga sangat jarang diberitakan, baik di media cetak maupun elektronik. Termasuk media dotcom.

Ia menambahkan, hak-hak pengguna jalan dan kewajiban penyelenggara jalan terhadap kelaikan jalan tersebut penting terus disosialisasikan. 
Apalagi jelang musim mudik Lebaran tahun ini. Diketahui, saban musim mudik selalu saja banyak korban lakalantas. Di antaranya karena dipicu ketidaklaikan jalan.

Berdasarkan data Polri, pada musim mudik Lebaran 2014 lalu terdapat 352 korban meninggal dunia, 541 korban luka berat, dan 2.010 luka ringan. 

Motor menjadi penyumbang terbanyak angka kecelakaan lalu lintas selama mudik Lebaran 2014. Berdasarkan data, kecelakaan motor terjadi sebanyak 1.941.

Bisa dikata jumlah korban jiwa di jalan raya itu lebih banyak ketimbang korban meninggal karena DBD. Tapi kalau ada satu orang saja yang terkena DBD, maka biasanya segera direspon oleh dinas kesehatan setempat dengan melakukan fogging atau pengasapan untuk mematikan jentik atau nyamuk-nyamuk. 

Fogging ini dilakukan untuk mencegah penularan atau menghindari penambahan jumlah korban DBD di wilayah tersebut. Perlakuan berbeda pada korban kasus lakalantas akibat jalan tak laik dilintasi. 

Walau telah mengakibatkan korban jiwa akibat jalan rusak, pemerintah atau penyelenggara jalan sering kali terkesan tak memedulikan. 

Buktinya, jalan-jalan rusak itu kerap dibiarkan hingga bertahun-tahun tanpa perbaikan. Dampaknya, jumlah korban lakalantas pun bisa bertambah berjatuhan di lokasi yang sama.
 

Terkait jumlah lakalantas di jalan raya yang jumlahnya selalu ribuan setiap tahun, Munzil sepakat dengan pernyataan Jusuf Kalla yang pernah melontarkan kalimat bahwa Indonesia saat ini kondisi perang. 

"Karena kondisi perang, maka semua kekuatan harus dikerahkan untuk mewujudkan zero kecelakaan di jalan raya," paparnya.

Kerapnya terjadi lakalantas di kota-kota besar seperti Makassar, kata Munzil, mestinya di Makassar ada rumah sakit yang ditunjuk secara bergilir standby soal kegawatdaruratan lakalantas. 

"Hal ini penting karena gold time orang yang alami kegawatdaruratan hanya sekira delapan menit. Telat penangannya, bisa fatal akibatnya," papar Munzil yang hadir dengan mengenakan kemeja lengan panjang biru dipadu celana kain warna hitam.

Sementara Aswar menekankan pentingnya media arus utama lebih arif dan bijak menayangkan berita yang bisa mendorong kesadaran dan pengetahuan masyarakat agar bermudik yang dan nyaman.

Mantan Ketua Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Sulsel ini juga menyoroti siaran-siaran mudik di televisi nasional yang didominasi informasi mudik di Jawa dibanding daerah lainnya di Indonesia, terkhusus di Sulsel.

"Hal ini bisa dikatakan telah terjadi penguasaan kelompok tertentu pada ruang publik. Sebab frekuensi adalah milik negara atau publik," papar Aswar. 

Sedangkan Yusran mendorong para jurnalis meminta aparat terkait seperti kepolisian dan dinas perhubungan data lokasi rawan lakalantas atau titik-titik jalan rusak yang bisa berpotensi menimbulkan kecelakaan untuk dipublikasikan.

Dengan demikian, pengguna jalan bisa lebih dini tahu dan mengantisipasinya sembari menuntut pemerintah segera memperbaikinya.

Diskusi yang dimulai sekira pukul 17.00 wita ini berakhir sekitar tiga menit sebelum waktu berbuka puasa. Saat jam menunjukkan waktu buka puasa, tuan rumah menyilakan kami menyantap hidangan yang sudah disediakan. (jumadi mappanganro)  

Komentar