Mudik ke Kolaka


SAYA bersama istri dan tiga putra kami akhirnya bisa bersama merayakan Lebaran Idulfitri 1 Syawal 1436 H (17 Agustus 2015) di Pomalaa.  

Inilah kampung kelahiran saya. Tercatat sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kami tiba melalui Bandara Sangia Nibandera, Kamis siang, 16 Juli 2015. Bandara ini sebenarnya masuk wilayah administrasi Kecamatan Tanggetada. 

Tapi tertulis di tiket pesawat, Pomala. Kurang satu huruf A. Yang benar Pomalaa.

Butuh sekitar 45 menit penerbangan dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin untuk tiba di Bandara Sangia Nibandera. Siang itu kami menumpang GIA jenis ATR 72-600.

Menengok ibu, saudara, dan ziarah ke makam almarhum ayah dan kakak, menjadi alasan kami mudik.

Rindu dengan teman-teman sekolah sekaligus penasaran mengetahui perkembangan kampung kelahiran turut menjadi alasan kami pulang kampung.


Bandara Sangia Nibandera yang diresmikan pada 25 Juni 2010 lalu, kini sudah memiliki terminal penumpang. Bangunannya sudah permanen.

Kendati saat kami tiba belum difungsikan. Katanya, sebelum akhir tahun 2015 ini juga sudah bisa digunakan para penumpang. Jalan masuk ke terminal bandara pun sudah beraspal.

Setelah empat tahun tak mudik Lebaran, rupanya Kolaka telah banyak berubah.

Empat tahun lalu saat kali pertama saya menginjakkan kaki di bandara ini, akses yang menghubungkan jalan raya dan terminal bandara belum beraspal. Juga belum ada terminal permanennya. 

Bandara di kampung kami juga telah didarati Garuda Airlines. Sejak September 2014 lalu. Rute Makassar-Pomalaa.

Sebelumnya hanya dilayani Wings Air. Baik Wings Air maupun Garuda Airlines sama-sama menggunakan pesawat jenis ATR 72-600.

ATR 72 adalah pesawat penumpang regional jarak pendek bermesin twin-turboprop. Diproduksi perusahaan pesawat Perancis-Italia ATR.

Pesawat ini memiliki kapasitas hingga 70 penumpang dan dioperasikan dua kru penerbang.


By Pass
Kini bepergian dari Pomalaa dan ke ibu kota Kolaka juga makin cepat.

Ini berkat keberadaan jalan by pass yang menghubungkan Pomalaa dan Kolaka telah beraspal.  Jalan dimaksud berada di sepanjang pesisir pantai.

By pass dikenal juga sebagai jalan elak yakni jalan yang dibuat untuk mengelak dari kawasan yang padat, kota, kampung atau desa tertentu.

Tujuannya agar lalulintas terusan dapat melewati kawasan tersebut dengan gangguan samping yang minimal sehingga dapat meningkatkan keselamatan lalu lintas.

Ini terbilang cepat. Sebab jika di jalan yang biasa dilintasi angkutan umum, butuh waktu sekira sejam dari Pomalaa ke ibu kota Kolaka.

Sebenarnya by pass tersebut adalah proyek lama. Ditimbun sejak saya masih duduk di bangku kelas satu SMP, tahun 1992 lalu.


Kala itu Kolaka dipimpin Bupati Andi Pangerang Umar (1987-1993). Namun pengerjaan jalan ini lama terbengkalai. Entah apa sebabnya.

Kini, by pass telah dibanguni jembatan-jembatan permanen yang dibuat dari beton. Sebelumnya dibuat dari kayu. 

Jalan dimaksud juga mulai diperlebar. Dirancang dua lajur. Sayangnya, sepanjang jalan by pass belum dilengkapi penerangan jalan yang memadai.

Jadi jika melintas malam hari di jalan ini, masih sangat gelap.

Saat mencoba mengemudikan mobil Avanza dengan kecepatan rata-rata tak sampai 60 kilometer per jam melintas di jalan by pass, saya butuh waktu sekira 15 menit dari Pomalaa ke Kolaka.



Wisata
Selama mudik lima hari, 16-20 Juli 2015, agenda utama kami adalah ziarah dan silaturrahim ke rumah-rumah keluarga dan teman.

Di sela-selanya, kami manfaatkan berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kolaka.

Sebenarnya banyak tempat wisata alam, religi, maupun wisata budaya di daerah ini.

Di antaranya Pantai Mandra yang berada dekat pelabuhan penyeberangan feri.

Pantai Kajuangin di Kecamatan Samaturu. Berjarak sekira 40 km arah utara dari kota Kolaka.

Ada juga Pantai Pitura di Kecamatan Watubangga. Berjarak sekira 70 km dari kota Kolaka.

Katanya di pantai ini banyak kelelawar yang menghiasi pohon pinus di sekitaran pantai.

Juga ada Sungai Tamborasi. Diklaim sungai terpendek di dunia. Panjangnya hanya sekira 20 meter dan lebar lebih kurang15 meter.

Terletak di Desa Tamborasi, Kecamatan Wolo, sekira 90 km arah utara kota Kolaka.


Pun ada Pantai Tosiba, terletak sekira 5 km dari Pantai Kajuangin. Pemandian air panas di Mongolo.

Juga ada makam Raja Sangia Nibandera, raja pertama Suku Mekongga (suku asli Kolaka) yang memeluk agama Islam serta menyebarluaskan agama Islam di tanah Kolaka.

Makam Raja Sangia Nibandera ini terletak di Desa Tikonu, Kecamatan Wundulako. Berjarak sekira 15 kilometer dari pusat kota atau lebih kurang 60 kilometer dari Bandara Sangia Nibandera.

Usia makam tersebut katanya diperkirakan sekira 300 tahun. Makam ini dikelilingi pohon kapuk hutan yang tumbuh menjulang tinggi.

Makam ini dikeramatkan sebagian warga setempat.


Namun kali ini tak semua destinasi wisata tersebut sempat kami kunjungi. Hanya beberapa di antaranya yang sempat kami datangi.

Walau hanya lima hari berada di kampung, saya merasakan Kolaka telah banyak berubah. 

Kolaka kian keren. Membuat saya selalu rindu pulang kampung. (JM)



Komentar

Posting Komentar