Rusdin Tompo: Perlu Panduan Peliputan Anak di Media

JURNALIS dan para pemerhati masalah anak dianggap perlu duduk bersama menyusun panduan peliputan isu anak untuk masing-masing format media: cetak, radio, televisi dan online. Jurnalis didorong memiliki perspektif anak dalam peliputan atau pemberitaan di media.

DISKUSI MEDIA - (Kiri ke kanan) Nur Hasan, Rusdinn Tompo, Indrawati, Hendra Nick Arthur pada Diskusi Media di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Kamis (30/7/2015).
  
Pasalnya, selama ini pemberitaan terkait anak yang berhadapan hukum masih banyak ditemukan terkesan tak melindungi anak-anak. Misalnya masih kadang ditemukan berita yang mengekspose sangat jelas identitas anak yang ‘terpaksa’ menjadi pelaku kriminal.

Bahkan anak yang menjadi korban pemerkosaan, pencabulan atau menderita AIDS masih kadang ditampilkan foto dan nama jelas serta alamat rumahnya di media. Padahal, etikanya tak boleh.

Selain itu, juga dianggap penting harmonisasi usia anak terkait Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Penyiaran, dan UU Perlindungan Anak. Pasalnya, batasan usia anak dalam UU tersebut tak satu.

Hal tersebut mengemuka pada diskusi media bertema Kompleksitas Permasalahan Anak dalam Perspektif Media, Kamis (30/7/2015). Bertempat di Kantor Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), Jl Mappanyukki No 32, Makassar.

Diskusi ini digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel bekerja sama dengan Yayasan BaKTI dan Forum Jurnalis Peduli Anak (FJPA).

Diskusi ini menghadirkan aktivis peduli anak Rusdin Tompo, Nur Hasan dari Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Toddopuli Makassar, dan Indrawati dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Kota Makassar sebagai pembicara.


Menurut Rusdin, berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), selama 1 Juli 2014 hingga 22 Juli 2015 lalu, sebanyak 343 media di seluruh Indonesia (nasional dan lokal) memberitakan terpuruknya nasib anak di bidang hukum, sosial, kesehatan, dan pendidikan.

“Isu hukum anak merupakan yang paling tinggi diekspos dibandingkan dengan isu-isu lainnya. Pada kondisi inilah dianggap jurnalis perlu memiliki panduan peliputan isu anak untuk masing-masing format media," papar Rusdin yang juga mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel.

Diskusi yang dipandu Sekretaris PJI Sulsel Hendra Nick Arthur ini dihadiri lebih 30-an orang. Terdiri perwakilan Unicef, BaKTI, jurnalis, mahasiswa P3TV, akademisi, Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar serta perwakilan organisasi masyarakat sipil lainnya.

Hadir pula di antaranya aktivis peduli anak dari Unicef Tri Amelia Tristiani dan Kepala Biro Bina Napza dan HIV-AIDS Setda Provinsi Sulsel Sri Endang Sukarsih MP. 

Diskusi Media di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Kamis (30/7/2015). Diskusi ini digelar PJI Sulsel bekerja sama Yayasan BaKTI dan FJPA.
Ruang bermain
Sementara Indrawati dari BP3A Kota Makassar memaparkan sejumlah program dan kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Makassar dalam mewujudkan Makassar sebagai kota layak anak. 

Di antaranya meminta mal dan pusat perbelanjaan di Kota Makassar menyediakan ruang bermain bagi anak dan ruang menyusui yang gratis. Selama ini, paparnya, mal dan pusat belanja di mal baru sebatas menyediakan musala yang free. Tapi belum ada ruang khusus bermain anak-anak yang free.

“Mal-mal dan pusat belanja di Makassar selama ini memang menyediakan ruang bermain bagi anak-anak. Tapi berbayar alias belum gratis,” papar Indrawati, mewakili Kepala BP3A Makassar Tenri A Palallo yang berhalangan hadir karena sedang berduka.

Indrawati menambahkan, saat ini Pemkot Makassar bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan jajaran Kementerian Hukum dan HAM juga sedang mengupayakan adanya nota kesepahaman yang berisi komitmen percepatan peradilan bagi anak.

“Kita akan buat pokja yang melibatkan polisi, jaksa, pengadilan dan para pihak terkait untuk menyusun MoU terkait perlunya percepatan peradilan anak. Selama ini, proses peradilan terhadap anak hampir tak beda lamanya dengan peradilan orang dewasa. Padahal itu bisa menggangu psikologi anak,” papar wanita berhijab ini. 



Keluarga
Sedangkan Nur Hasan memaparkan kondisi terkini dan beberapa program yang telah dan sedag dilakukan PSMP Toddopuli, panti sosial yang dibentuk dan dibiayai Kementerian Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. 

Beralamat di Jalan Salodong, Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. Beroperasi sejak tahun 2000. Walau berada di Makassar, namun cakupan wilayah kerja panti ini meliputi kawasan timur Indonesia (KTI).

Katanya, tugas utama PSMP antara lain adalah melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada anak remaja bermasalah. Saat ini ada 32 orang yang bekerja di PSMP.

"Sejak awal Januari hingga akhir Juli tahun 2015 ini, jumlah anak yang direhabilitasi di PSMP Toddopuli sekitar 300-an anak. Jumlah ini mengalamani peningkatan signifikan tahun ini," ujar Nur Hasan yang datang saat diskusi sementara berlangsung.

Menurutnya, dua tahun terakhir sebelumnya atau 2013 dan 2014, rata-rata jumlah anak yang menjalani rehabilitasi di PSMP sekitar 200-an anak setiap tahun.  

"Dari curhat dan penelusuran kami terhadap anak-anak yang bermasalah di PSMP Toddopuli umumnya penyebab awal dimulai dari keluarga mereka yang tak harmonis," beber Nur Hasan. 

Karena itu, program PSMP Toddopuli saat ini juga memberi pelayanan pembimbingan dan pendampingan di luar lembaga. Ini untuk menjangkau keluarga-keluarga. 

Tujuannya antara lain agar permasalahan anak yang bisa berakibat anak berhadapan dengan hukum, penelantaran dan permasalahan anak lainnya bisa dideteksi sejak dini. Hal ini bagian dari upaya-upaya pencegahan.

"Sebab jika anak itu sudah bermasalah sehingga perlu direhab atau diasramakan seperti yang dilakukan PSMP selama ini, maka biayanya besar. Kami justru menganggap pembinaan pada anak paling efektif ada di keluarga mereka," tambahnya. (jumadi mappanganro)

Komentar