Anwar Arifin AndiPate

SAYA mengenal Prof Dr Anwar Arifin sejak awal tahun 2000. Saat itu saya masih aktif di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin (Unhas). Kala itu Prof Dr Anwar Arifin tercatat sebagai anggota Dewan Pers RI. 


Prof Dr Anwar Arifin AndiPate

Saya mengenalnya karena banyak faktor. Di antaranya karena namanya tercantum sebagai pembina UKPM Unhas sekaligus pengawas catatankaki, tabloid yang diterbitkan UKPM Unhas.  Nama dan fotonya juga kerap nongol di berbagai media massa. Kadang muncul dalam kapasitasnya sebagai narasumber. Kerap pula hadir sebagai penulis. 

Walau telah lama mengenalnya, namun baru setahun terakhir saya biasa berkomunikasi langsung dengan dia. Paling sering via email dan SMS. Komunikasi ini terjalin karena sejak setahun terakhir ia rutin mengirimkan tulisannya untuk kolom Keindonesiaan di Tribun Timur.


Kolom yang khusus diisi Prof Anno, begitu biasa ia disapa, terbit rutin sekali sepekan pada hari Kamis di halaman/rubrik Tribun Opini. Sementara rubrik Tribun Opini, saya dan AS Kambie kerap bergantian menanganinya.


Nah tepat pada Senin sore, 17 Agustus 2015, Prof Anno datang di kantor Tribun Timur, Jalan Cenderawasih No 430, Kota Makassar. Kedatangannya kali ini dalam rangka mengikuti Diskusi dan Bedah Buku bersama Forum Dosen Majelis Tribun Timur. 


Buku yang dibedah berjudul Pengindonesiaan Demokrasi: Tantangan Tanpa Akhir. Buku ke-50 yang ditulis Prof Anno. Buku setebal 280 halaman ini berisi 50 judul tulisan. Bersumber dari tulisan-tulisannya yang pernah dipublikasikan di kolom Keindonesiaan surat kabar harian Tribun Timur. 


Penerbitan buku ini, kata Prof Anno, sebagai wujud refleksi 50 tahun dirinya berkiprah, mengabdi dan berkarya sejak menjadi aktivis mahasiswa, wartawan, hingga menjadi akademisi, penulis, kolumnis, cendekiawan, dan politisi.


Prof Anno datang tepat waktu pukul 16.00 wita, sesuai jadwal tertera di undangan diskusi yang disebar Koordinator Forum Dosen Majelis Dr Suryadi Culla. Sedangkan peserta lainnya baru datang setelah waktu hampir pukul lima sore. 


Diskusi dan bedah buku karya Prof Anwar Arifin bersama Forum Dosen di Kantor Tribun Timur, Senin (17/8/2015).

Sembari menunggu peserta diskusi lainnya, Prof Anno melayani kami berbincang santai di newsroom Tribun Timur. Selain saya hadir Nur Thamzil Thahir (wapimred), AS Kambie (manager produksi) dan Saldy (reporter).

Prof Anno pun membeberkan sepenggal perjalanan hidupnya sejak SD hingga kini. Katanya, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar di Kabupaten Sengkang, ia sudah punya keinginan menjadi sastrawan. Ia ingin menulis hingga menghasilkan banyak buku. 

Keinginannya itu muncul atau terinspirasi usai membaca buk-buku karya Buya Hamka, ulama yang juga sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Buku-buku bacaannya itu ia peroleh dari pamannya. 

Bakat dan minatnya menjadi penulis berkembang pesat ketika ia diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Publisistik FISIP Universitas Hasanuddin (1968-1974). Sembari sebagai mahasiswa, ia juga bergabung menjadi wartawan di Mimbar Publisistik. 


Pengalamannya menjadi jurnalis yang paling berkesan dan sulit dilupakannya adalah saat ia mengikuti kunjungan Wakil Presiden RI Bung Hatta ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Kala itu tahun 1968. 


Selain sebagai jurnalis, putra dari pasangan Arifin Daeng Manrafi (ayah) dan Andi Patellongi Petta Tjaja (ibu) juga aktif sebagai aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). 


Keberadaan Jusuf Kalla (JK) yang menjadi tokoh menonjol di HMI dan KAMI kala itu, membuat Anwar Arifin tertarik untuk bergabung di HMI dan KAMI. Melalui organisasi inilah yang membuat Anwar akhirnya bisa dekat dengan JK dan para tokoh mahasiswa kala itu: Aksa Mahmud dan Alwi Hamu serta beberapa lainnya. 


“Waktu itu, JK sudah jago orasi. Pernah suatu hari saat dia orasi di Kampus Unhas Baraya, saya sempat berkata dalam hati, ”Hebat juga senior ini kalau orasi. Padahal, badannya kecil,” tuturnya diiringi tawa kecil. 


Namun Anwar Arifin pun tak sekadar bergabung di HMI. Karena memiliki kemampuan menulis dan membangun komunikasi dengan banyak orang, ia pun akhirnya bisa tampil pula sebagai pemimpin di organisasi tersebut. Ia juga pernah dipilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Unhas (1972-1974).


 “Gara-gara kesibukan menjadi wartawan, aktif di HMI, KAMI dan dewan mahasiswa itulah juga yang menyebabkan saya termasuk terlambat selesai kuliah. Padahal teman seangkatan saya sudah banyak yang selesai duluan,” kenangnya. 


Tapi, Lelaki kelahiran Kabupaten Sengkang, Provinsi Sulawesi Selatan, 11 Desember 1947, ini mengaku tak menyesal sedikit pun pernah aktif sebagai wartawan dan aktif di HMI maupun di Dewan Mahasiswa Unhas. 


Justru, katanya, pengalamannya sebagai wartawan dan aktivis mahasiswa itu telah membuat kariernya melejit. Sekira tiga tahun setelah meraih gelar Bachelor of Arts di Publisistik Unhas (1969), Anwar Arifin diangkat sebagai dosen tetap Unhas. 


Lalu hanya dua tahun setelah meraih gelar doktorandus (10 Agustus 1974), ia diangkat sebagai Kepala Bagian Humas Unhas. Kala itu Rektor Unhas dijabat Prof Dr Ahmad Amiruddin. 


Sembari menjadi dosen di Unhas (1972-2000), Anwar Arifin kemudian diberi izin melanjutkan pendidikan di Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia (1987) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1987-1988). 


Usai itu, karier suami Syamsinar ini makin berkibar . Ia kemudian menjadi dipilih menjadi anggota Dewan Pers RI (1993-2000), Rektor UVRI (1996-2001), hingga menjadi anggota DPR/MPR RI selama dua periode: 1999-2004 dan 2004-2009.


Kini aktif selaku profesor tetap di Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta dan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Profesor Indonesia (API) serta Dewan Pakar Korps Alumni HMI (KAHMI).


“Terus terang, saya merasa bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi hingga menjadi guru besar, menghasilkan banyak buku, hingga duduk sebagai anggota di DPR/MPR RI dan beberapa jabatan la
innya tak lepas dari pengaruh dan pengalaman saya menjadi wartawan, penulis hingga aktif di HMI,” kata ayah tiga anak ini.

Sementara ‘warisannya’ yang dianggapnya monumental saat masih di Unhas adalah mendirikan dan menerbitkan surat kabar kampus identitas pada 7 Desember 1974. Kala itu Anwar Arifin baru empat bulan menyandang gelar doctorandus dari Jurusan Publistik Unhas (10 Agustus 1974).

Melalui identitas inilah kemudian banyak ‘melahirkan’ jurnalis, penulis, dan profesional lainnya. Para jurnalis hasil diklat identitas pun kini banyak berkiprah di berbagai media, baik media terbitan di Sulawesi Selatan maupun media yang berkantor pusat di Jakarta. 


Makanya, pesannya, rugilah mahasiswa yang hanya kuliah tanpa pernah aktif berorganisasi, baik di lembaga internal maupun eksternal kampus. Sebab dengan berorganisasi, banyak keuntungan yang bisa dipetik. Di antaranya kemampuan bekerja tim dan menjalin networking.

Pada ujung bincang-bincang santai itu, Prof Anno akhirnya juga membeberkan asal muasal nama Andi Pate yang mulai kerap digunakan pada akhir namanya: Prof Dr Anwar Arifin AndiPate.

"Andi Pate itu dari nama ibu saya. Soalnya kalau dicari di Google nama Anwar Arifin sudah sangat banyak. Tapi kalau diketik kata kunci Anwar Arifin Andi Pate pasti hanya satu yakni saya," jelasnya diiringi senyum. 

Diskusi
Setelah hampir sejam bincang-bincang, para anggota Forum Dosen pun berdatangan. Prof Anno kemudian bergabung dengan Forum Dosen di ruang rapat redaksi, lantai dua kantor Tribun Timur

Hadir Prof Dr Qasim Mathar (Guru Besar UIN Alauddin), Prof Dr Muin Fahmal (dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia) dan Dr Suryadi Culla (dosen FISIP Unhas). 

Turut hadir Dr Amir Muhiddin (dosen Unismuh Makassar), Dr Firdaus Muhammad (dosen UIN Alauddin Makassar), dan Aswar Hasan (dosen Unhas sekaligus Ketua Komisi Informasi Provinsi Sulsel) yang datang belakangan.

Diskusi diawali pengantar dari Suryadi Culla. Lalu Prof Anwar disilakan memberi penjelasan singkat tentang isi buku terbarunya, Pengindonesiaan Demokrasi: Tantangan Tanpa Akhir. 

Menurut Anwar, penerbitan buku tersebut terinspirasi dari tantangan Ishak Ngeljaratan, pensiunan dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas, saat terlibat diskusi dengan Forum Dosen tahun 2014 lalu. Diskusi tersebut kala itu juga berlangsung di kantor Tribun Timur.


Saat itu Ishak meminta Prof Anno kembali melahirkan buku yang berisi gagasan-gagasannya. "Alhamdulillah permintaan itu bisa saya wujudkan," katanya.


Sementara soal kata 'pengindonesiaan' pada judul bukunya tersebut, kata Prof Anno, terinspirasi saat ia berbincang dengan Yenni Wahid, putri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jakarta suatu hari.


"Jadi kata pengindonesiaan bisa disamakan dengan kata pribumisasi. Saya ingin demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi ala Indonesia," kata Anwar. (jumadi mappanganro)

Komentar