Human Trafficking di Sulsel

KASUS perdagangan orang (human trafficking) di Sulawesi Selatan (Sulsel) sudah lama berlangsung. Kini kian mengkhawatirkan. Anak-anak dan perempuan paling banyak menjadi korban. 

Kemiskinan, kebodohan, dan mental yang rusak menjadi faktor utama masih tingginya kasus human trafficking di Sulsel. Lebih 90 persen wanita tuna susila yang pernah didata Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan rupanya bermula dari korban human trafficking.



Hal tersebut mengemuka pada dialog publik yang mengangkat tema Meminimalisir Kejahatan Human Trafficking di Sulawesi Selatan, Kamis (20/8/2015). Bertempat di Warkop Cappo, Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar.

Acara ini digelar pengurus DPW Poros Pemuda Indonesia (PPI) Sulsel bekerja sama dengan HMI Gowa Raya. Pada dialog ini saya diminta Wakil Ketua PPI Sulsel Andi Aswadi sebagai moderator. 

Sedangkan pembicaranya ada empat orang yakni Wakasat Reskrim Polrestabes Kompol Tri Hambodo dan Direktur YKPM Sulsel Muljadi Prajitno sebagai pembicara.

Pembicara lainnya adalah Kasi Rehabilitasi Tuna Sosial, Napza dan HIV-AIDS Dinas Sosial Provinsi Sulsel Parngodes dan Kasi Perempuan dan Anak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulsel Yulia. 

Menurut Mulyadi, isu human trafficking kini kian familiar di masyarakat. Ini seiring kerapnya muncul pemberitaan di berbagai media massa yang melaporkan telah terjadi kasus human trafficking. Kasus ini bisa juga dikategorikan perbudakan modern.

Untuk mengetahui apakah telah terjadi human trafficking, jelas Muljadi, bisa ditelusuri dari salah satu dari tiga unsur utama. Pertama, unsur prosesnya. Jika prosesnya terjadi pengangkutan atau pemindahan korban, ada penyelundupan dan penampungan, maka itu bisa dipastikan trafficking

Kedua, unsur cara atau modus. Jika korban merasa ada pengingkaran janji, pemalsuan, pembohongan atau pemaksaan, maka juga bisa dikategorikan human trafficking.

“Ketiga, unsur tujuan. Jika tujuannya korban dieksploitasi kerja atau dieksploitasi alat reproduksinya, maka itu juga bisa dikategorikan human trafficking,” papar Mulyadi yang juga aktif mendampingi para korban human trafficking di Sulsel.

Sementara menurut Parngodes, pelaku human trafficking pun kini beragam. Mulai dari pihak keluarga inti, teman, calo, hingga oknum aparat. Umur para pelaku pun mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.

Menurut Tri Hambodo, penyebab lain masih kerapnya terjadi human trafficking tersebut karena telah menjadi peluang bisnis yang mendatangkan keuntungan secara finansial bagi pelaku. 

Tri mengakui pengungkapan kasus ini tidak mudah. Selama ini, penangkapan para pelaku pun kerap dilakukan dengan tangkap tangan.

“Umumnya kedapatan di wilayah-wilayah yang terdapat pelabuhan dan bandara seperti di Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Parepare, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin,” kata mantan Kapolsek Panakkukang ini.


Sumber: Reskrim Polrestabes Makassar

Pelabuhan Parepare adalah tempat yang dianggap paling sering digunakan sebagai jalur kejahatan perdagangan wanita dan anak di Sulawesi Selatan. 

Dari data kepolisian, sejumlah wanita dan anak yang pernah jadi korban perdagangan orang asal Sulsel, Jawa Timur, NTT, NTB dan sekitarnya biasanya sebagian transit di Pelabuhan Parepare. 

Lalu dari Pelabuhan Parepare diberangkatkan lagi menuju Nunukan di Kalimantan Timur. Lalu dikirim ke Tawau dan Kinibalu di Malaysia timur. Ada juga yang dikirim ke Brunei. 

Selain Malaysia, negara-negara tujuan pengiriman wanita dan anak yang menjadi korban perdagangan itu di antaranya Singapura, Taiwan, Hongkong, Jepang, dan Korea. Sebagian juga dikirim ke beberapa negara di Eropa. 

Modus operandinya macam-macam. Ada yang cara bujukan, kekerasan dan ada yang janji akan dinikahi. Ada juga modusnya dijerat hutang hingga disekap. 

Namun ternyata mereka ditipu yang ujung-ujungnya adalah eksploitasi seksual, ekonomi, hingga tenaga kerja. Makanya tak sedikit wanita yang bekerja di rumah-rumah bordil di luar negeri itu adalah para korban perdagangan orang, termasuk asal Indonesia.

Tri Hambodo yang tampil mengenakan kemeja bergaris lengan panjang ini juga membeberkan bahwa kini tak sedikit germo mendatangi sekolah-sekolah untuk mencari mangsa yang empuk dan murah yang bisa dikibulin dan diekspoitasi.

Mereka yang masuk jarungan kejahatan perdagangan wanita dan anak ini pun ada pelakunya dari pihak keluarga, teman korban, calo atau broker, penyalur tenaga kerja, oknum aparat hingga jaringan sindikat.

"Makanya semua pihak harus terpanggil dan terlibat mencegah tindak perdagangan orang ini. Tidak cukup hanya mengandalkan aparat keamanan atau pihak pemerintah saja," bebernya.

Sementara Yulia membeberkan apa yang selama ini dilakukan instansinya dalam rangka mencegah terjadinya human trafficking. Di antaranya pro aktif mengawasi perizinan perusahaan penyalur tenaga kerja serta memeriksa dokumen perjanjian kerja.

“Termasuk kita juga rutin memeriksa izin penampungan dan memantau cara perekrutan. Kendati harus kami akui, walau telah dilakukan upaya-upaya pencegahan tersebut, masih saja kadang kami kecolongan,” kata Yulia. (jumadi mappanganro)


Komentar