Terima Kasih untuk Muhammadiyah dan Aisyiyah

MUKTAMAR ke-47 Muhammadiyah dan Muktamar 1 Abad Aisyiyah yang berlangsung selama sepekan di Kota Makassar telah ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Jumat 8 Agustus 2015.

Ucapan terima kasih kepada pimpinan pusat, pengurus, panitia pelaksana hingga para muktamirin Muhammadiyah dan Aisyiyah pantas diberikan. Sebab begitu banyak pelajaran positif dari hajatan ini.  



Berikut di bawah ini di antaranya:
Pertama, sejak muktamar yang pembukaannya dihadiri Presiden Jokowi pada Senin 3 Agustus 2015 hingga penutupan, tak terdengar kericuhan. 

Juga tak tersiar kabar telah terjadi perdebatan alot atau protes-protes apalagi ‘hujan’ interupsi’ yang mewarnai rangkaian kegiatan tersebut. Keluhan soal penginapan maupun ketersediaan makanan juga sepi terdengar dari para muktamirin.

Kedua, terpilihnya ke-13 Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode  2015-2020 juga berlangsung mulus. Tanpa ‘riak’ dan protes. Termasuk saat ke-13 PP itu bersepakat memercayakan Dr Haedar Nashir dan Dr Abdul Mu’ti sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah  periode 2015-2020. Pun atas terpilihnya Siti Noorjannah, istri Haedar Nashir, sebagai Ketua Umum PP Aisyiyah periode 2015-2020.

Bahkan kabarnya, rapat formatur ke-13 PP itu hanya butuh waktu 10 menit untuk menentukan Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Haedar pun langsung bersedia menjadi ketua umum saat diminta oleh para formatur dalam rapat.

Ke-13 PP dimaksud adalah  Dr Haedar Nashir MSi, Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg, A Dahlan Rais MHum,  Dr M Busyro Muqoddas SH MHum, Dr Abdul Mu'ti MEd, Dr Anwar Abbas MM MAg, Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, Prof Dr Syafiq A Mughni, Prof Dr Dadang Kahmad MSi,Prof Dr Suyatno, Dr Agung Danarto MAg, M Goodwill Zubir, dan Hajriyanto Y. Thohari MA.

Ketiga, para elite Muhammadiyah dan Aisyiyah maupun muktamirin tak ada yang terpancing membentuk muktamar atau kepengurusan tandingan. Mungkin salah satu sebabnya pula karena ke-13 PP yang terpilih itu memang telah lama mengabdikan diri di Muhammadiyah.

Berbagai jenjang kaderisasi Muhammadiyah juga telah mereka lalui. Sosok mereka pun selama ini telah dikenal luas di kalangan kader dan pengurus Muhammadiyah serta jauh dari kontroversi.

Sekadar diketahui, Haedar telah tercatat sebagai salah satu dari 13 PP Muhammadiyah sejak periode Prof Din Syamsuddin menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.

Haedar juga dikenal sebagai sosok intelektual yang sederhana cum seorang penulis produktif. Beberapa buku yang pernah ditulisnya adalah Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Memahami Ideologi Muhammadiyah, Islam Syariat, Muhammadiyah Abad Kedua, Menggugat Modernitas Muhammadiyah: Refleksi Satu Abad Perjalanan Muhammadiyah, dan beberapa buku lainnya.

Keempat, selama muktamar, saya tak melihat spanduk-spanduk atau baligho-baligho yang menampilkan wajah-wajah ke-13 tokoh tersebut yang sengaja dipajang di arena muktamar untuk maksud kampanye (mengajak untuk dipilih).

Saya juga tak mendengar maupun membaca berita-berita yang mengabarkan para tokoh tersebut melakukan konsolidasi-konsolidasi tertutup apalagi sampai menggiring para pemegang hak pilih ke hotel-hotel tertentu untuk menjaga atau mengarahkan suara ke calon tertentu. Yang terjadi para tokoh tersebut memilih ‘larut’ dalam berbagai acara di arena muktamar.

Kelima, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2010-2015 Prof Din Syamsuddin telah memberi contoh keterbukaan perihal sumber dan besaran dana untuk muktamar yang digunakan. Secara terbuka di depan muktamirin, Din menyebut bahwa total dana yang digunakan untuk hajatan tersebut mencapai Rp 35 miliar.

Sebagian dana itu bersumber dari eksternal Muhammadiyah dan Aisyiyah. Di antaranya datang dari istana Wakil Presiden RI senilai Rp 500 juta dan sumbangan pribadi Jusuf Kalla juga senilai Rp 500 juta.

Apa yang disampaikan secara terbuka oleh Prof Din terkait sumber dan jumlah dana muktamar tersebut adalah bagian dari komitmen membangun akuntabilitas. Patut ditiru dan menjadi tradisi kepengurusan Muhammadiyah dan Aisyiyah ke depan. Siapa pun pengurusnya.

Kenam, alhamdulillah pada muktamar ini para elite dan muktamirin bersepakat bahwa posisi Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah netral dalam berpolitik. Muhammadiyah akhirnya batal membentuk partai politik dan menyatakan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Meski netral, Muhammadiyah tetap menjalin hubungan baik dengan partai politik mana saja. Kenetralan dalam berpolitik Muhammadiyah ini harus disertai dengan keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran.

Menurut saya, sikap ini sudah tepat: Muhammadiyah harus tetap dengan khittahnya sebagai organisasi gerakan dakwah melalui pendidikan dan amal usahanya. 

Sikap tersebut bukan berarti kader Muhammadiyah dan Aisyiyah alergi partai politik. Kader Muhammadiyah dan Aisyiyah silakan bebas berada di partai politik mana saja. Termasuk bebas berada di luar partai politik.

Jujur, saya sempat khawatir kala Prof Din menawarkan kepada muktamirin untuk dibahas tiga opsi dalam berpolitik bagi Muhammadiyah.  Opsi pertama tetap netral atau tak memihak partai politik manapun.  

Opsi kedua, Muhammadiyah mendirikan partai politik sendiri sebagai bagian dari amal usaha organisasi masyarakat Islam ini. Sedangkan opsi ketiga, jika tidak mendirikan parpol sendiri, Muhammadiyah ditawarkan untuk membuka sebuah hubungan khusus dengan partai politik tertentu. 

Partai politik yang punya hubungan khusus ini nantinya bisa menjadi partai utama Muhammadiyah. Ketiga opsi tersebut memang bukan tanpa alasan. 

Menurut Prof Din, jika mendirikan parpol, maka Muhammadiyah berhak menentukan kepemimpinan dan kebijakan partai. Namun jika memilih berafiliasi dengan parpol tertentu, maka hubungan parpol tersebut dengan Muhammadiyah hanya bersifat aspiratif.

Untunglah para elite dan muktamirin masih sepakat memilih opsi pertama. Pilihan ini realistis dan bijak. Andai organisasi ini memilih opsi kedua atau ketiga, saya percaya organisasi ini bakal pecah. Bakal tidak menutup kemungkinan, muktamar di Makassar akan memunculkan Muhammadiyah tandingan. 



Ketujuh, muktamar ke-47 Muhammadiyah ini juga telah merekomendasikan 13 hal untuk ditindaklanjuti oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020. Ke-13 rekomendasi dimaksud adalah:
1) Membangun masyarakat dengan ilmu.
Muhammadiyah beralasan, kelemahan dari budaya keilmuan juga menyebabkan sebagian warga bangsa sering bertindak tidak rasional, sempit, dan beragam perilaku klenik yang mematikan akal sehat.
2) Toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Alasannya, Muhammadiyah tidak ingin lagi ada aroma dendam, saling menghakimi dan melakukan kekerasan antar umat beragama dengan berbagai tuduhan apapun, baik kafir, liberal atau lainnya.
3) Meningkatkan daya saing umat Islam
Alasan: Indonesia selama ini dianggap sebagai negara Islam terbesar di dunia. Namun, belum mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara di kanca Internasioanal.
4) Penyatuan kalender Islam
Alasan: Selama ini kerap terjadi perbedaan di Indonesia dalam menetapkan satu Syawal
5) Melayani dan memberdayakan kelompok difabel dan kelompok rentan lainnya
6) Pengendalian narkotika psikotropika, dan zat adektif
7) Muhammadiyah meminta pemerintah dapat tanggap dan tangguh menghadapi bencana. Alasannya, Indonesia merupakan negara rawan bencana.
8) Muhammadiyah meminta pemerintah dapat memaksimalkan bonus demografi
Alasan: Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Pemerintah harus memanfaatkannya dengan baik agar angka pengangguran menurun.
9) Gerakan berjamaah melawan korupsi.
10) Muhammadiyah mendorong jihad konstitusi.
Alasan: Selama ini masih banyak undang-undang yang melanggar konstitusi.
11) Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Alasan: perubahan iklim dapat menimbulkan krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan, dan krisis politik. Sehingga harus ada aksi nyata untuk menghindari segala krisis yang dapat mengancam bangsa dan negara.
12) Pemanfaatan teknologi komunikasi.
13) Mendesak pemerintah menindak tegas pelaku human trafficking dan perlindungan buruh migran.

Menurut saya, ke-13 rekomendasi ini sangat relevan dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia kekinian. 

Kedelapan, terlepas bahwa pelaksanaan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah dan Muktamar 1 Abad Aisyiyah dapat berlangsung lancar dan tidak terjadi perpecahan, ucapan terima kasih untuk organisasi yang didirikan sejak 18 November 1912 ini memang layak.

Sebab melalui lembaga pendidikan milik Muhammadiyah yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, mulai tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, sudah ada jutaan orang yang telah dididiknya. Di antaranya anak sulung kami.

Belum lagi rumah sakit, masjid, dan berbagai amal usaha milik Muhammadiyah yang selama ini telah banyak memberi pelayanan kepada masyarakat. Tidak hanya bagi umat Islam, tapi juga buat umat agama lainnya. 

Pelayanan Muhammadiyah melalui berbagai amal usahanya yang tidak mengkhususkan pada Muslim semata, merupakan implementasi Islam sebagai rahmatan lil alamin. (jumadi mappanganro)

Komentar