Begal dan Pekerja Media di Makassar

Catatan dari Diskusi Media Seri Ke-10

SEBANYAK 12 jurnalis dari berbagai media cetak, dotcom dan televisi berkumpul di Kantor BaKTI di Jalan Mappanyukki, Kota Makassar, Rabu siang, 30 September 2015. 

Kehadiran mereka dalam rangka mengikuti Diskusi Media. Pelaksana kegiatan, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel bekerja sama dengan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) dan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB).

Kali ini membahas Fenomena Kasus Kekerasan dalam Bingkai Media. Tema ini dipilih sekaitan maraknya pemberitaan kasus begal di Kota Makassar dan adanya sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan di Sulsel. 

Diskusi ini juga digelar sekaligus guna merespon tudingan sebagian pihak bahwa para pekerja media telah membesar-besarkan kasus begal melalui pemberitaan sehingga turut menyebar rasa ketakutan kepada warga Kota Makassar. 



Hadir pada diskusi tersebut di antaranya saya, Upi Asmaradhana yang juga Koordinator Relawan KPJKB, Andi Ahmar dari CelebesTV, Suriani Mappong dari KBN Antara, Adam Djumadin dan Nurdin Amir dari VeChannel.

Turut hadir Sekretaris PJI Sulsel Hendra Nick Arthur, Deri dari INews, Fadli dari pojoksulsel.com, Yusran dari PJI serta beberapa pekerja media lainnya. Ketua Badko Kohati Sulselbar Hajriana Ashadi turut bergabung dalam diskusi ini. Diskusi dipandu Muhammad Idris dari CelebesTV.

Diskusi yang berlangsung sekira dua jam ini, diawali dengan paparan dari Upi Asmaradhana. Ia menilai, Sulawesi Selatan (Sulsel) termasuk zona merah (daerah rawan) bagi para pekerja media. Ini berarti indeks kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi daerah ini tidak sehat bagi demokrasi.

Sebab berdasarkan data yang KPJKB terdapat sembilan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di daerah ini terhitung mulai 1 Januari hingga 30 September 2015.

Menurut Upi, dari sembilan kasus itu, dua di antaranya melibatkan oknum polisi sebagai pelaku kekerasan sebagaimana terjadi di Kabupaten Bone dan Kabupaten Pinrang belum lama ini.

“Ada juga jurnalis yang jadi korban simpatisan salah satu kandidat kepala daerah di Selayar,” papar Upi yang juga pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini.

Merespon hal itu, Upi mendesak Kapolda Sulsel Irjen Polisi Pudji Hartanto dan jajarannya turut memperhatikan kondisi tersebut. Termasuk kasus-kasus begal yang korbannya adalah beberapa wartawan di Kota Makassar.

Menolak tudingan
Pada diskusi ini juga mengemuka bahwa para jurnalis lintas media ini membantah keras adanya tudingan bahwa kasus begal di Kota Makassar hanya marak di media arus utama dan media sosial. 

Mereka juga menolak dituding ikut memperkeruh rasa aman warga hanya karena memberitakan maraknya aksi begal di kota Anging Mammiri ini. 

Para pekerja media tersebut justru mendorong televisi, media cetak, dotcom dan radio secara massif memberitakan bahwa begal telah menjadi teror bagi warga Kota Makassar dan karena itu begal harus menjadi musuh bersama.

Pemberitaan yang massif tentang begal dinilai justru bagian dari tanggungjawab media kepada publik. Juga dimaksudkan mengingatkan aparat keamanan dan pemerintah untuk lebih serius memerangi para begal demi terwujudnya Makassar bebas begal.

“Menurut saya, media-media di Makassar yang ramai memberitakan kasus kekerasan di jalanan itu wajar dan murni demi kepentingan publik. Realitas yang justru keliru besar jika tak diberitakan media,” papar Ahmar yang akrab disapa Abo.

Abo menambahkan, CelebesTV beberapa kali siaran yang mendiskusikan soal begal. Setiap kali itu pula penelepon ramai masuk. Umumnya mengeluhkan kinerja kepolisian dan pemerintah yang dianggap belum maksimal melindungi warganya dari para pelaku begal.

“Bagaimana kita tidak beritakan soal begal, kalau setiap hari kita mendapat informasi ada saja korban begal di Makassar. Tak kenal waktu lagi: pagi, siang, sore apalagi malam hari. Korbannya pun tak pandang bulu,” kata Idris yang akrab disapa Baba Ong.

Pendapat Idris tersebut sejalan dengan data yang dilansir pihak Polrestabes Makassar yang menyebut pada September 2015 ini, rata-rata sehari ada tiga kasus begal di Kota Makassar.

Karena itu, menurut Adam, pemberitaan yang massif tentang begal di Kota Makassar tersebut selama ini masih wajar.

“Kalau dulu hanya jalan-jalan tertentu di Makassar yang dianggap rawan kriminal. Tapi setahun terakhir, tampaknya tak ada jalan lagi di Kota Makassar yang steril dari tindak kejahatan jalanan atau begal,” tutur Adam yang juga Ketua Departemen Advokasi PJI Sulsel ini.

Adam mengaku saban naik sepeda motor kini was-was. Ia harus selalu melirik kaca spion. Jika ada pengendara yang mencurigakan, ia akan segera mampir di toko yang sedang buka atau di tempat ramai.

Pendapat Adam itu juga dikuatkan Deri dari Inews. Gadis ini pernah jadi korban begal sepulang dari kantornya di Jalan Boulevard, Kecamatan Panakkukang, Makassar.

“Waktu itu, pelaku sempat mau menarik handphone dari tas saya. Seketika itu saya berteriak pencuri dan pelaku melarikan diri,” tutur Deri yang masih agak trauma pascakejadian tersebut.

Sebatas permukaan
Walau sepakat mendorong kasus begal massif diberitakan, Nurdin menilai media-media di Kota Makassar umumnya masih mengabarkan kasus begal sebatas permukaan.

Para jurnalis umumnya hanya memberitakan adanya insiden begal atau penangkapan begal oleh polisi. Narasumber yang muncul pun sebatas dari korban dan polisi saja.

Masih sangat jarang media menjadikan pelaku sebagai narasumber. Juga tak ada liputan mendalam dan komprehensif tentang kehidupan para pelaku begal tersebut.

“Jangan sampai para pelaku yang sebagian masih di bawah umur itu terlibat aksi begal karena faktor kemiskinan. Nah saya kira hal ini masih jarang kita lihat di media, baik surat kabar, media dotcom maupun televisi,” papar Nurdin yang juga mantan aktivis pers mahasiswa Universitas Hasanuddin ini. 

Versi polisi
Sementara itu berdasarkan data dari Reskrim Polrestabes Makassar menyebutkan, begal di Kota Makassar mengalami lonjakan jumlah kasus. Tercatat ada 36 kasus dilaporkan ke polisi pada April 2015 dan mengalami peningkatan pada Mei 2015 yakni tercatat 44 kasus.

Sementara pada September 2015, hanya dalam dua pekan pertama jumlah kasus yang dilaporkan ke polisi mencapai  33 kejadian di Makassar. Belum termasuk kasus begal yang tak dilaporkan korbannya ke polisi.

Daerah berbagai kasus begal di Kota Makassar setahun terakhir, tercatat paling sering terjadi di Kecamatan Panakukang dan Rappocini. 

Dari total kejadian itu, 20 kasus terungkap dengan 29 tersangka. Adapun kasus curanmor 49 kasus dan terungkap 22 kasus dengan 26 tersangka. 

Yang memiriskan, sekitar 70 persen pelaku yang ditangkap itu rata-rata berusia di bawah umur atau masih di bawah usia 18 tahun. 

"Masih kecil tapi sudah residivis alias keluar-masuk penjara,"  kata Kapolda Sulselbar Irjen Pol Pudji Hartanto saat ekspose di halaman Polrestabes Makassar, Jl Ahmad Yani, Kota Makassar, Jumat (18/9/2015) lalu.

Saat masih menjabat Kapolrestabes Makassar, Komisaris Besar Polisi Fery Abraham mengakui para begal itu sulit diberantas karena para pelaku yang sudah tertangkap dan disidangkan selalu mendapat hukuman yang tergolong ringan. 

"Sulit kita berantas, karena pelaku begalnya itu-itu saja. Jadi sudah keluar dari penjara, kembali berulah. Bagaimana tidak, mereka hanya divonis hukuman ringan oleh pengadilan. Dari sekian banyak kasus, 50 persen pelaku begal hanya dihukum empat bulan penjara," kata Ferry. 

Jika merujuk data kepolisian tersebut, masihkah kita menuding bahwa maraknya begal itu hanya terjadi di media sosial dan media mainstream? (*)



Komentar