Mengenang Fahmy Myala

KOMUNITAS jurnalis di Kota Makassar kembali berduka. Jurnalis senior M Fahmy Jauhari Myala meninggal di  Kamar 718 Rumah Sakit Awal Bros, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Minggu (4/10/2015) dini hari sekira pukul 01.30 wita. 


Fahmy Myala (songkok) dan mantan wartawan Pedoman Rakyat Asnawin. Sumber foto: Facebook Asnawin. 

Almarhum adalah  mantan Kepala Biro Kompas untuk Sulawesi dan Indonesia timur. Ia meninggal pada usia 70 tahun. Meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Jenazahnya telah dimakamkan pada hari itu di Tempat Pekuburan Umum (TPU) Maroanging, Kelurahan Pannampu, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. 

Saat disemayamkan di rumah duka di Kompleks Griya Pannakkukang Indah, Blok A11, Makassar, tak sedikit jurnalis dan tokoh datang melayat almarhum. 

Di antaranya terlihat pendiri Fajar Group Alwi Hamu. Sebagian pula memajang karangan bunga berisi ucapan duka di halaman rumah almarhum. Yang tak sempat datang di rumah duka karena berada di luar Makassar menyampaikan ucapan duka melalui media sosial. 

Semasa hidupnya, Fahmy dikenal sebagai sosok pewarta yang dekat dengan banyak orang dan selalu rendah hati. Juga senang membantu siapa saja. 

Jusuf Kalla
Mungkin karena karakternya itulah, almarhum termasuk jurnalis yang sulit dilupakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK). Sebab almarhum semasa hidupnya tak ubahnya penghubung antara suara dari Makassar dan kawasan timur Indonesia dengan pemerintah pusat melalui berita-berita hangatnya di harian Kompas.

Penilaian JK itu termaktub dalam tulisannya berjudul Kompas di Mata Jusuf Kalla. Dipublikasikan di Kompas edisi 28 Juni 2015 lalu dalam rangka 50 tahun Kompas.

"Dia tidak sekadar menulis berita, tetapi juga memunculkan tokoh dan menjaga ketokohan narasumbernya di daerah,” tulis JK tentang Fahmi.

Juru Bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Husain Abdullah, memperkuat tulisan JK tersebut. Menurut Husain, Fahmy adalah guru dan sahabat dari banyak orang. Terutama jurnalis Makassar. Laporan jurnalistiknya ikut berpengaruh atas perkembangan dan pembangunan di kawasan timur Indonesia (KTI).

Tidak mengherankan ketika Pak JK diminta menulis untuk ulang tahun ke-50 harian Kompas, tulisan yang sudah dikirimnya ke redaktur opini Kompas dan siap naik cetak, terpaksa minta ditarik kembali oleh Pak JK.

“Karena teringat peran penting almarhum Fahmy Myala yang bagi Pak JK amat penting untuk dituliskannya,” tulis Husain yang akrab disapa Uceng di grup whatsApp Geng Makassar beberapa jam setelah kabar duka itu tersiar.

Sejumlah jurnalis di Makassar juga turut menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya Fahmy Myala. Koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Wilayah Sulawesi, Malulu dan Maluku Utara, Upi Asmaradhana, mengaku tersentak mendapat kabar berpulangnya ke Rahmatullah sosok yang kerap disapanya Kak Fahmy.

Almarhum di mata Upi adalah sosok yang kerap dijadikan guru menulis para wartawan di Makassar, termasuk para jurnalis kampus.

“Saat saya masih di identitas, lembaga pers Unhas, Kak Fahmy adalah salah satu mentor andalan jurnalis kampus,” kenang Upi yang saat mendengar kabar duka itu sedang berada di Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Upi, kesediaan Fahmy semasa hidupnya yang selalu hadir memberi materi pada diklat pers kampus yang tak berhonor membuktikan almarhum sosok yang tak pelit berbagi ilmu.

Padahal, kala itu Fahmy telah menjadi Kepala Biro Kompas wilayah Sulawesi dan Indonesia timur. Dengan posisinya itu, Fahmy terbilang 'senior' dan padat kegiatan. Hal ini sekaligus bukti sosoknya yang rendah hati.

Penerima Udin Award dari AJI Indonesia dan Hellman/Hammett Grant Award 2011 dari Human Right Watch itu juga mengenang Fahmi yang selalu menjadi tempat berdiskusi para jurnalis yang bergabung di AJI Kota Makassar.

“Kantor Kompas di Jalan Pengayoman, Panakkukang, Makassar, kala itu bahkan menjadi tempat rapat-rapat rahasia aktivis AJI Makassar,” kata Upi yang juga Koordinator Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Sulsel ini. 

Nasrullah Nara
Mantan Kepala Biro Kompas Sulawesi dan Indonesia timur, Nasrullah Nara, mengaku banyak kenangan dan pesan yang sulit dilupakan dari sosok almarhum Fahmy.

Menurut Nara, Fahmy selalu mengingatkan para juniornya yang memilih profesi jurnalis agar suka bergaul dengan kalangan mana pun dengan tetap rendah hati. Dia sangat tidak respek dengan wartawan yang pongah.

“Saya kenal almarhum sejak tahun 1990, semasa saya mengikuti diklat identitas, lembaga pers Unhas. Beliau menjadi salah satu pemateri ketika itu,” kata Nara via whatsApp dengan saya. 

Ketika Nara menjadi wartawan Fajar (1992-1995), almarhum selalu menjadi rujukannya untuk isu-isu nasional. Lalu pada 1995 bersama wartawan Kompas Andi Suruji, Fahmy menyarankan Nara untuk melamar ke Kompas.

“Tepat awal Oktober 1995, saya akhirnya diterima di Kompas. Saya kemudian ditempatkan di Bandung sebagai calon koresponden. Namun jarak Makassar-Bandung rasanya terlalu dekat karena Beliau suka menyapa saya via telepon manakala berita karya saya di Bandung termuat menonjol di Kompas,” kenang Nara.

Komunikasi dengan almarhum kemudian makin intens karena atasan Nara di Bandung, Her Suganda, kebetulan teman seangkatan almarhum.

“Beliau seolah ‘menitipkan’ saya pada Pak Her agar dibina dengan baik,” kata Nara yang meraih gelar magister ilmu komunikasi dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada 2010 lalu ini.

Selamat jalan Kak Fahmy. Tenanglah di sisi-Nya. 

Makassar, 4 Oktober 2016

Komentar