Asa Orang Tionghoa di Makassar

ABDUL Haerah dan Muannas, kala itu masih Redaktur Desk Kota Tribun Timur, meminta saya membuat tulisan tentang komunitas Tionghoa di Kota Makassar. Saya pun disodorkan tiga nama yang wajib saya temui untuk wawancara.

Tiga nama itu: Anton Obey, Arwan Tjahjadi dan Yonggris. Kala itu saya belum tahu banyak tentang sepak terjang ketiganya. Yang saya tahu, mereka adalah pengusaha sekaligus tokoh Tionghoa di Makassar.

Alhamdulillah, saya tak menemui hambatan berarti melaksanakan tugas dari redaktur. Berbekal SMS, ketiga pengusaha itu bersedia saya temui untuk wawancara.

Orangnya rupanya tak alergi dengan awak media. Ketiganya ramah. Juga menghargai para jurnalis, siapa pun dia.

Tak pandang apa medianya. Juga tak membeda-bedakan antara jurnalis muda yang baru saja dikenalnya maupun yang sudah akrab dengannya.

Kesan itulah yang membekas di benak saya. Saat saya menemui untuk wawancara, 8 Februari 2004, koran Tribun Timur belum terbit. Artinya mereka belum pernah melihat apalagi membaca koran kami.

Tapi tetap saja mereka bersedia melayani saya untuk wawancara. Padahal, ada anggapan, orang Tionghoa termasuk sulit terbuka ke media.

Mungkin karena sebagian di antara mereka punya pengalaman yang 'tak mengenakkan' berhubungan dengan media massa.

Apalagi pernah terjadi kerusuhan beraroma sentimen terhadap etnis Tionghoa di Kota Makassar. Salah satunya 'Kasus Jalan Kumala'. Tragedi ini dipicu terbunuhnya Anni Mujahidah Rasuna, putri seorang dosen IAIN Alauddin Makassar.

Kejadiannya di Jalan Kumala, 15 September 1997 lalu. Pelakunya, Benni, pemuda Tionghoa. Putra seorang pengusaha. Pelaku menggunakan parang menebas Anni.

Keesokan harinya, ribuan warga menyerang rumah Benni. Lalu disusul rumah dan toko-toko yang diketahui milik orang Tionghoa di Makassar. Tak sedikit yang dibakar dan dijarah.

Ratusan orang terluka. Puluhan ribu warga Tionghoa memilih mengungsi ke luar Kota Makassar.

Kerusuhan ini berlangsung hampir sepekan. Terdengar seantero negeri. Termasuk di kampung saya nun jauh dari Makassar, Pomalaa, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.

Konon, kemarahan massa itu kian bertambah akibat adanya berita dengan judul 'provokatif'. Isinya konon menyebut putri dosen IAIN dibunuh sepulang dari salat.

Sebagian warga Tionghoa sulit melupakan kejadian itu. Tak sedikit di antaranya 'trauma' dengan media.

Tapi untunglah Arwan Tjahjadi, Anton Obey dan Yonggris termasuk tokoh Tionghoa yang tak alergi media.

Maka saya tak heran jika kemudian ketiga tokoh inilah yang kerap menjadi narasumber di kalangan jurnalis di Makassar.

Nah hasil wawancara saya dengan Anton Obey, Arwan Tjahjadi dan Yongris itu kemudian terbit di halaman 10 edisi perdana Tribun Timur, 9 Februari 2004. Bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN).

Saat saya menulis catatan ini, Anton Obey telah tiada. Ia meninggal di Singapura, 18 Oktober 2014 lalu.

Sedangkan dua redaktur saya, Abdul Haerah dan Muannas kini tak lagi di Tribun Timur. 

Abdul Haerah mendapat amanah menjadi Pemimpin Redaksi Tribun Medan. Sementara Muannas kini menjabat Direktur Utama Celebes TV. (jumadi mappanganro)

Gedung Tribun Timur, Makassar, 24 Oktober 2016



Komentar