Diskusi Strategi Melawan Korupsi Bersama Advisor Kantor Staf Presiden

 

LEBIH
dua jam, saya mengikuti focus group discussion (FGD), Senin (9/11/2017). Bertempat di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Jl Perintis Kemerdekaan Km 10, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Membahas tema, Pelibatan Perguruan Tinggi, Masyarakat Sipil dan Media dalam Penyusunan Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2018.

Kantor Staf Presiden (KSP) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) dan Indonesian Legal Roundtable bertindak sebagai pelaksana FGD.

Acara dibuka dengan sambutan Dekan FH Unhas Prof Dr Farida Patittingi SH MHum. Lalu pemaparan maksud dan tujuan kegiatan ini oleh Abraham Wiratomo, Tenaga Ahli Madya (Advisor) KSP.


Menurut Abraham, roadshow yang mereka lakukan ke daerah-daerah untuk melakukan kegiatan serupa dilatarbelakangi banyak pertimbangan.

“Salah satunya adalah bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan salah satu fokus pemerintahan Indonesia sejak reformasi,” jelas Abraham yang datang bersama 3 rekannya dari KSP.

FGD ini diikuti belasan peserta. Mewakili lintas lembaga: KPK, perguruan tinggi, masyarakat sipil dan media di Makassar.

Di antaranya ada empat guru besar FH Unhas yakni Prof Dr Said Karim SH MH, Prof Dr Marwati SH MH, Prof Dr Djafar Saidi SH MH dan Prof Dr Irwansyah SH MH.

Direktur LBH Makassar Haswandy Andi Mas, Wiwin Suwandi dari Anti Corruption Committee (ACC), dan Ema Husain dari Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Sulsel hadir mewakili organisasi masyarakat sipil.

Dr Aswiwin dari Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan juga hadir sebagai peserta. Sedangkan saya dan Arman (Fajar) diundang mewakili unsur media. Kami duduk membentuk huruf U.



Isu Utama
Dosen FH Unhas Fajlurrahman Jurdi SH MH mengarahkan kami agar fokus membahas enam isu utama pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Pertama, di sektor pengadaan barang dan jasa. Kedua, perizinan. Ketiga, penegakan hukum. Keempat di sektor tata niaga.

Kelima di sektor penerimaan negara pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Keenam, sektor sumber daya alam dan energi. Plus masalah lainnya di daerah.

Para peserta secara bergantian menyampaikan ulasan menjawab tiga pertanyaan kunci FGD.

Pertama, terkait apa saja yang memengaruhi capaian dan kendala dari pelaksanaan inpres tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh pemda selama ini.

Kedua, apa saja prioritas aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan pemerintah daerah pada 2018.



Ketiga, bagaimana mendorong kerja sama dan partisipasi berbagai pihak dalam rangka meningkatkan dampak pelaksanaan inpres aksi PPK?

Masing-masing peserta FGD diberi waktu maksimal 10 menit. Prof Dr Irwansyah antara lain mengusulkan agar pemberantasan korupsi mestinya memprioritaskan pada akar atau musabab terjadinya korupsi.

Ibarat penyakit, kalau bukan masalah utamanya yang disembuhkan, maka penyakit itu akan muncul berulangkali. Saya setuju pendapat ini.

Akses APBD
Saat tiba giliran memberikan pendapat, saya mengusulkan agar KSP atau lembaga yang berwenang, membuat regulasi baru.

Isinya antara lain mendesak setiap pemerintah daerah membuka akses seluas-luasnya bagi publik mengakses rencana kegiatan anggaran (RKA) anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Alasan saya, selama ini, jangankan publik secara umum, jurnalis pun sangat susah mendapatkan APBD suatu daerah. Baik APBD yang sudah ditetapkan, terlebih jika APBD itu masih dalam bentuk draft atau baru akan dibahas di DPRD.


Padahal kita tahu, mulai saat penyusunan, pembahasan hingga penetapan anggaran APBD rawan terjadi ‘korupsi’.

Sementara jika RKA APBD yang akan atau sedang dibahas di DPRD itu bisa diakses dengan mudah oleh publik, maka anggaran yang tak sesuai kebutuhan publik atau anggaran yang bisa melukai perasaan masyarakat, sejak dini dapat dicegah untuk ditetapkan.

Saya pun menceritakan pengalaman, ketika itu Pemerintah Kota Makassar berencana mengadakan sendok makan di Sekretariat Daerah (Sekda) Pemkot Makassar.

Rencana ini tertuang dalam draf penjabaran APBD 2015. Disampaikan pada rapat paripurna DPRD Kota Makassar, Senin (15/12/2014). Besaran anggaran sendok itu dinilai fantastis yakni Rp 965 juta atau nyaris Rp 1 miliar.

Sejumlah media massa di Kota Makassar maupun media berkantor di Jakarta pun ramai memberitakannya. Sebagian ada yang menjadikan headline di media.

Wali Kota Makassar Danny Pomanto yang dikonfirmasi terkait anggaran itu mengaku tak tahu menahu. Ia membantah telah mengusulkan.



Derasnya kritikan warga atas anggaran tersebut, akhirnya Danny pun meminta aparatnya menghapus anggaran tersebut.

Itulah sedikit kisah bagaimana efeknya ketika RKA APBD bisa diperoleh media atau publik: anggaran yang ‘aneh’ bisa sejak awal ketahuan dan dihapus sebelum ditetapkan.

Terkait usulan ini, Arman dari Fajar menyarankan agar KSP mengeluarkan instruksi kepada pemerintah daerah untuk memosting draft RKA APBD-nya di media online.

Tujuannya agar bisa diakses siapa, kapan dan di mana saja. Waktu posting sebelum dibahas di DPRD hingga setelah ditetapkan. Cara tersebut dinilai efektif untuk meminimalisir potensi-potensi korupsi.

Standar Pelayanan Minimum
Sementara Aswiwin menyarankan pemerintah memperkuat di sistem hukumnya dan kesejahteraan pegawainya.

Ia mencontohkan bagaimana di Singapura. Karena sistem hukum di Singapura kuat, kalau orang Indonesia ke sana, tidak berani buang sampah sembarang tempat.

Sedangkan orang Singapura jika ke Indonesia, mungkin leluasa saja buang sampah. Karena dia tahu sistem hukum kita tidak kuat.

“Karena itu menurut saya, yang prioritas diperbaiki di Indonesia adalah sistem hukumnya,” saran doktor ilmu hukum lulusan Sekolah Pascasarjana Unhas ini.

Karena itu Aswiwin menyarankan pemerintah pusat mendorong semua instansi pemerintah daerah membuat standar pelayanan minimum (SPM) terkait pelayanan ke publik.

Dengan adanya SPM, setiap aparatur pemerintah dan masyarakat tahu apa hak dan kewajibannya. Dengan demikian, bisa mencegah perilaku korupsi. (jumadi mappanganro)

Komentar