Rusdin Tompo dan Rahasia Maestro Lagu Makassar Iwan Tompo

HARI ini, Selasa 29 Agustus 2017, saya menerima buku. Judulnya, Iwan Tompo: Maestro Lagu Makassar. Diberikan Rusdin Tompo, editor buku ini. 
Saat itu kami bersua di Kafe Baca, Jalan Adhyaksa, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Buku setebal 208 halaman ini diterbitkan atas kerja sama Pustaka Sawerigading dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. 


Penulisnya, Wandi Daeng Kulle dan Rusdin Tompo. Cetakan pertama Mei 2017.

Sesuai judulnya, buku ini dibuat untuk mengenang perjalanan hidup Iwan Tompo alias Daeng Liwang yang telah meninggal pada Kamis pagi, 23 Mei 2013 lalu. 


Pria kelahiran Kota Makassar 6 September 1952 ini adalah Sang Maestro Pop Makassar. 




Penyematan gelar maestro ini tak asal. Itu karena almarhum adalah penyanyi sekaligus pencipta lagu yang telah membuat sedikitnya 50-an album lagu Bugis-Makassar. Dibuatnya dalam rentang 40-an tahun Iwan berkesenian.

Ati Raja, Sepeda Kumbang, Bonting Berua, Kelong Bawang, Bankenga Cini, dan Sailong adalah beberapa judul lagu dari ratusan lagu yang pernah dipopulerkannya.

Sosoknya tak hanya dikenal masyarakat Sulawesi Selatan, tapi juga di berbagai provinsi di Indonesia. Khususnya bagi penikmat lagu-lagu pop Bugis-Makassar.

Sepenggal kisah lelaki yang juga dijuluki 'Iwan Falsnya Makassar' itu ditulis dalam lima bagian di buku ini. 


Bagian pertama berkisah tentang Iwan Tompo semasa kecil yang berjualan jalangkote.

Juga ada kisah almarhum yang jatuh cinta pada gadis tomboi


Cerita tentang Iwan yang rela jalan kaki ke mana-mana demi bisa naik panggung untuk menyanyi.

Hingga kisah ayahnya yang tegas mendidik Iwan juga ada di bagian ini.

Bagian kedua berisi antara lain tentang nasib industri musik di Kota Makassar. 


Juga ada kisah Iwan saat awal rekaman lagu Bugis hingga keprihatinannya terhadap perkembangan lagu daerah Bugis Makassar.

Bagian ketiga berisi Discography Sang Legenda. Juga berisi kisah tentang nasib Iwan yang tak pernah menerima royalti dari karya-karyanya.

Bagian keempat berisi cerita sang legenda yang terpaksa harus 'langganan' masuk keluar rumah sakit hingga sang ikon lagu pop Makassar itu mengakhiri hidupnya dalam pangkuan istri.

Sementara bagian kelima berisi kesan dan kenangan para sahabat almarhum. 


Di antaranya ada Anci Laricci, Syahriar Tato, Dian Ekawati, Tanti Irwanti, Ridwan Sau dan Andi Darussalam Tabusalla (ADS).

Juga ada Ramly Rola, Rustam Arsyad Basir, Syarif Daeng Nai, Theresia Chandra, Andry Arif Bulu, Husain Abdullah dan Arwinny Puspita.


Singkatnya, membaca buku ini kita akan mengetahui banyak 'rahasia-rahasia' tentang Sang Legenda. 


O ya. Mungkin ada pembaca yang bertanya: apakah ada hubungan Rusdin Tompo dan Iwan Tompo? 

Pertanyaan tersebut wajar. Karena keduanya memang sama-sama menggunakan Tompo sebagai nama belakang.

Pertanyan itu juga saya tanyakan ke Rusdin. Rupanya pertanyaan serupa juga kerap ditanyakan kepadanya, terutama dari orang-orang yang juga mengenal Iwan Tompo.

"Hubungan darah atau keluarga tidak ada. Cuma hubungan emosional mungkin. Sejak remaja dan masih tinggal di Ambon, saya sudah sering mendengar lagu-lagu Iwan Tompo," tutur ayah tiga anak ini. 



Rusdin Tompo (dua dari kiri) saat jadi pembicara di Gedung BaKTI

Tentang Editor
Buku berjudul Iwan Tompo: Maestro Lagu Makassar adalah satu dari sedikitnya 50 judul buku yang ditulis Rusdin Tompo. 


Sebagian buku tersebut ditulisnya seorang diri. Sebagian lainnya ditulis bersama rekannya.

Beberapa di antara buku itu saya terima dari pemberian langsung Rusdin. Kini tersimpan di lemari buku di rumah saya.

Di antaranya buku berjudul Anak, Media dan Politik (KPID Sulsel, 2009) dan MasaDPan Makassar, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan (Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Makassar, 2014).

Buku lainnya, Mengawal Demokrasi di Udara (Pijar Press, 2015), Bintang Kecil dalam Kotak Ajaib (Pijar Press, 2015) dan buku Mohammad Hidayat, 730 Hari Mengabdi (Rayhan Intermedia, 2015).

Ada juga buku dengan judul Woro Susilo, Polisi di Zona Merah (Rayhan Intermedia, 2015), Mimpi Seorang Prajurit (Rayhan Intermedia, 2015),  dan Cerita tentang Toraja (Pijar Press, 2015).

Saking banyak buku karyanya, menurut saya, sudah tepatlah jika Rusdin menerima Kabar Makassar Award 2016 pada kategori penulis lokal terbaik.

Pria kelahiran Ambon 3 Agustus 1968 ini memang penulis produktif. Tulisannya yang masuk kategori artikel populer pun tersebar di berbagai media massa.

Termasuk di halaman opini koran Tribun Timur, tempat saya bekerja sebagai jurnalis. Rupanya, ia telah rutin menulis artikel untuk media masa dan buku sejak tahun 2000.

Menurut saya, dalam rentang 17 tahun mampu menghasilkan 50-an judul buku atau rerata 3 buku setahun, termasuk langka dilakukan penulis di Sulawesi Selatan.

Jika mencermati konten tulisannya yang bersebaran di media massa maupun buku karyanya, nampaknya Rusdin banyak menulis tentang media dan anak. 


Ini mungkin pengaruh dari latarbelakangnya sebagai mantan jurnalis radio.

Kemudian berkecimpung di lembaga yang aktif mengurus hak dan perlindungan anak di Kota Makassar: Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar dan Lembaga Informasi dan Studi Anak (Lisan).

Lalu menjadi komisoner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan (Sulsel) periode 2007-2010 dan sebagai Ketua KPID Sulsel periode 2011-2014.

Selain aktif lagi menulis puisi, kini ia juga kerap diundang sebagai pembicara dan moderator seminar, talkshow atau bedah buku. 


Ia juga kini host rutin di RRI. Di sela-sela kesibukannya itu, ia mengaku sesekali menerima ‘orderan’ sebagai gost writer.  (jumadi mappaganro)

Ditulis di Kafe Baca, Kota Makassar

Komentar