Membaca Teks dan Konteks

Banyak-banyaklah membaca. Minimal membaca dua hal: teks dan konteks (kenyataan). Jangan berhenti menulis. Menulislah agar tak punah.
Abdul Karim


SECARA finansial, ia tergolong kelas menengah atas. Namun pemilik usaha catering ini lebih suka tampil sederhana. Ke berbagai tempat, ia selalu terlihat mengendarai sepeda motor. 

Itulah keseharian Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan Abdul Karim. 

Melalui lembaga inilah, ayah dua anak ini aktif memberi pendidikan demokrasi dan mendorong pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas) di masyarakat. 

Tak hanya melalui diskusi-diskusi, mantan aktivis mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar ini juga aktif berbagi pemikiran melalui tulisan. 

Di surat kabar harian Tribun Timur, catatan kolomnya, Klakson, terbit rutin setiap edisi Sabtu.

Bagaimana ia bisa rutin melahirkan tulisan-tulisan yang bernas sekali sepekan tersebut? 

Melalui tanya jawab yang kami lakukan via whatsApp, September 2017 lalu, Abdul Karim membocorkan rahasianya:



Sejak kapan mulai menyenangi dunia tulis menulis?
Sebelum kuliah, saya sama sekali tak berminat menjadi penulis. Tapi sejak tahun 1997, minat menulis itu muncul.  Waktu itu saya masih kuliah semester 4 di IAIN (kini UIN) Alauddin Makassar.

Minat itu dipicu oleh keaktifan saya dalam kerja-kerja di masyarakat marginal di Kota Makassar. Di situ, kenyataan-kenyataan yang menggiriskan hati di lapis masyarakat bawah saya lihat dan rasakan sepanjang hari. 

Saya tak kuasa sekadar menyimak kenyataan-kenyataan itu. Terutama tentang kemiskinan. Saya kemudian berupaya menganalisisnya bersama kawan-kawan.

Analisis-analisis soal itulah kemudian saya upayakan ditulis. Lalu dipublikasi agar orang-orang dan pengambil kebijakan tahu bahwa di sudut sana, ada masyarakatnya yang melarat.

Waktu itu, tulisan-tulisan Anda dikirim dan dimuat di media mana?
Awalnya tulisan saya dipublikasi di media-media yang dibuat teman-teman mahasiswa. Termasuk Washilah, media mahasiswa IAIN Alauddin Makassar. 

Namun beberapa media mahasiswa itu kini tak ada lagi. Hanya Washilah yang masih eksis, tapi kini dalam format online. 

Nanti pada tahun 1999, tulisan saya pertama kali dimuat di koran harian Pedoman Rakyat. Judulnya, Tentang Ideologi.

Apa pesan inti dari tulisan Anda yang berjudul Tentang Ideologi dan apa melatarinya? 
Intinya saya menjelaskan bahwa ada beragam ideologi di dunia ini yang dikembangkan melalui ilmu pengetahuan dan negara. 

Saya menulis tentang hal ini karena saat itu transisi demokrasi masih berumur kurang lebih setahun. 

Kondisi bangsa Indonesia hampir terpecah dan nyaris terfragmentasi oleh kelompok-kelompok politik elite. Nah kelompok-kelompok ini dalam pandangan saya bergerak dengan ideologi masing-masing.

Bagaimana perasaan saat tulisan Anda pertama kali terbit di Pedoman Rakyat?
Alhamdulillah tulisan saya muncul  tak sampai seminggu saat saya memasukkan tulisan tersebut di redaksi Pedoman Rakyat. 

Bangga tak terkira tentunya saat itu. Padahal saya sendiri awalnya kurang yakin akan dimuat tulisan itu. Tulisan ini juga juga mendapat apresiasi dari kawan-kawan saya.




Apa efek setelah tulisan Anda muncul di koran umum? 
Setelah tulisan pertama itu dimuat, saya kemudian jadi ketagihan menulis.Saya kirimlah terus tulisan ke Pedoman Rakyat. 

Waktu itu saya menulis menggunakan mesin tik Brother milik teman sekos. Ini mesin ketik yang populer dipakai mahasiswa saat itu. 

Untuk mengetik, saya harus beli kertas eceran yang saat itu harganya Rp 100 perlembar. 

Dengan modal Rp 500 rupiah, sudah cukup untuk mengetik artikel menggunakan mesin tik. Walau kadang juga tidak dimuat, tapi saya tetap menulis. 

Honor tulisan Anda ketika itu?
Ada honornya. Kalau tidak salah ingat Rp 30 ribu. Tapi bagi saya, jumlah honor bukan tujuan. Tujuan utama saya adalah gagasan atau isi pikiran yang saya tulis diketahui banyak orang. 

Boleh tahu siapa orang yang pertama mendorong Anda menulis artikel di media massa?
Awalnya hanya motivasi sendiri. Lama-kelamaan didorong Aswan Achsa, salah seorang pendiri sekaligus Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan yang pertama.

Beliau-lah yang ‘memaksa’ saya dan teman-teman yang bergelut di LAPAR untuk terus belajar dan menulis. 

Adakah buku atau penulis yang menginspirasi Anda menulis?
Ispirasi utama saya adalah kenyataan-kenyataan pahit yang dialami masyarakat marginal di Kota Makassar. Kalau buku atau tulisan dari penulis lain hanya inspirasi teknis saja.

Tulisan-tulisan karya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mahbub Djunaidi, Goenawan Mohammad, Emha Ainun Nadjib, Bre Redana, Ahmad Tohari, WS Rendra, Gus Mus dan Ignas Kleden sangat membantu saya untuk membangun tatanan tulisan saya.



Apa biasanya Anda lakukan untuk menemukan ide tulisan?
Aktif mencermati kenyataan. Dari situlah ide tulisan diinspirasi. Kenyataan-kenyataan itu lalu saya coba dalami melelui akal dan hati. Ini semacam perenungan. 

Perenungan ini berlangsung setiap saat. Setiap waktu kemana pun saya pergi dan di mana pun saya berada sampai akhirnya saya menemukan sebuah ide pokok. 

Setelah itu, ide pokok ini diolah kembali dalam perenungan dalam. Biasanya pada malam hari antara pukul dua hingga empat dini hari. 

Setelah itu lalu merumuskan kata dan kalimat kuncinya. Lalu mulai menggarapnya menjadi tulisan. Dalam proses penggarapan ini pun memerlukan perenungan agar aura tulisan benar-benar keluar dari dalam.

Saat menulis, paling baik menurut Anda: pagi, siang, malam atau dini hari?
Sebenarnya, secara pribadi, setiap waktu saya menulis atau kalau tidak sedang menulis, saya pasti berfikir tentang tulisan apa yang harus saya tulis. 

Untuk menulis setiap waktu pun saya menulis via HP. Termasuk saat di kamar mandi.

Nah, kalau untuk mendalami ulang tulisan itu, biasa saya lakukan di atas atap rumah. Saat dini hari. 

Kira-kira sekira pukul 3 subuh sampai salat subuh tiba. Lalu usai salat subuh, saua lanjut lagi menulis sampai saatnya anak-anak diantar ke sekolah.

Kalau menulis artikel saat ini, lebih sering pakai smartphone, laptop atau desktop?
Kadang saya pake HP kadang juga laptop. Tapi dalam beberapa bulan terakhir, saya dominan memakai laptop untuk menulis. 

Saat menulis artikel, habis berapa batang rokok dan berapa gelas teh? 
Produksi untuk satu tulisan saya itu memakan satu minggu. Hari 1 dan 2, itu baru proses merenungi kenyataan-kenyataan untuk menemukan idenya.

 Hari ketiga dan keempat, baru tahap menuliskannya. Hari kelima, itu finalisasi (diedit atau ditambah). Hari keenam itu sebelum dikirim ke media, didalami lagi. 

Jadi tak terbilang jumlah bungkus rokok dan gelas teh yang habis. Hehehe….

Untuk penulis pemula, apa saran Anda kepada mereka agar bisa menulis juga? 
Banyak-banyaklah membaca. Minimal membaca dua hal. Pertama, teks. Kedua, membaca konteks (kenyataan), Jangan berhenti menulis. Bereksprimentasi teruslah.

Dalam sebulan, biasa beli buku baru berapa?
Dulu waktu masih mahasiswa saya beli buku setiap bulan. Setiap pulang dari kampung, saya kan diberi uang oleh orangtua Rp 100 ribu. 

Saya sisihkan sebagian untuk beli buku 1 biji. Selebihnya untuk biaya hidup selama sebulan di Kota Makassar. 

Setelah lepas dari kampus, tradisi beli buku tetap saya lanjutkan. Dalam 15 tahun terakhir, saya beli buku minimal dua judul dalam setiap bulan. 

Apa keuntungan financial dan nonfinansial bagi seorang penulis?
Keuntungan finansial bukanlah target saya. Tetapi yang lebih pokok adalah dengan menulis, kita sebenarnya berbagi pengetahuan ke khalayak (non finansial). 

Inilah keuntungan yang tiada taranya. Terlebih dengan menulis, dampaknya kita banyak kenalan dan selalu termotivasi untuk belajar. 

Pernah suatu hari. Ada orang yang menyapa saya. Ia mengatakan, “Oh ternyata Anda pale yang dibilang Pak Karim, yang sering menulis kolom Klakson di Tribun Timur.” 




Bagaimana cara Anda memelihara gairah menulis?
Terus menerus membaca keadaan/kenyataan dan membaca teks.

Kapan pertama kali terbitkan buku karya sendiri?
Tahun 2015 lalu. Judulnya Klakson. Penerbitnya Lembaga Advokasi Rakyat (LAPAR). 

Dicetak di penerbit LKIS Yogyakarta. Buku ini berisi kumpulan tulisan saya yang terbit rutin sekali sepekan di kolom Klakson Tribun Timur. 

Bisa diceritakan makna filosofis dan latarbelakang pemberian Klakson sebagai judul buku Anda?
Klakson itu diambil dari salah satu judul kolom saya yang pernah dimuat di kolom perspektif Tribun Timur. 

Tapi karena tulisan-tulisan kolom saya yang umumnya memberi kritik, maka nama kolom saya berganti menjadi "Klakson" hampir 3 tahun terakhir.

Klakson memang sangat folosofis. Maknanya sebenarnya bahwa klakson itu isyarat kehati hatian, kewaspadaan bahwa di depan sana ada kejanggalan, di depan sana ada kemacetan di berbagai lini kehidupan. Ia juga bermakna protes, juga bermakna mengingatkan.

Walau bunyi klakson mendayu-dayu di belakang, saya tetap tak akan mendahului pengendara lain. 

Sebab tujuan Klakson saya bukan untuk mendahului, tetapi sekadar mengingatkan, kehati-hatian dan kewaspadaan.

Bisa pula dianggap sebagai upaya meretas kemacetan-kemacetan itu atau klakson dengan bunyi mendayu-dayu berfungsi mengajak orang-orang untuk melihat dan merenungi sesuatu/fenomena. 

Karena itu, kolom Klakson kadangkala memiliki daya reflektif. 

Kenapa dalam banyak tulisan Anda, selalu judulnya singkat. Umumnya hanya satu kata. Kadang-kadang juga dua kata?
Bagi saya, judul bukan semata-mata perkara teknis dalam sebuah tulisan. Tapi judul adalah sebuah petunjuk tentang makna. 

Agar tulisan bermakna, maka jangan salah dalam memberi judul. Karena bagi saya, tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu memberi makna terhdap pembaca. 

Itu alasan substansi saya mengapa judul-judul tulisan saya di Kolom Klakson sangat singkat. Nah, alasan lainnya karena dipengaruhi oleh catatan pinggir (caping) Goenawan Muhammad dan tulisan-tulisan kolom alm Mahbub Djunaidi. 

Dua orang ini sangat irit kata dalam memberi judul. Hehehe…

Alasan substansi lain mengapa juduk Klakson sangat singkat karena tulisan yang mampu memberi makna pada pembaca biasanya awet sepanjang masa. 

Ia jarang diabaikan dalam situasi apapun dan tulisan bermakna inilah terus menerus bersemayam dalam akal dan hati pembaca. Ia dibaca karena bermakna, bukan dibaca karena sekedar kita butuh pengetahuan, dll. 

Selain menulis untuk kolom Anda di Tribun Timur, biasa menulis untuk dikirim ke mana pula?
Saya biasa juga mengirim tulisan untuk jurnal Taswiirul Afkar yang diterbitkan pengurus pusat Lakpesdam. Jurnal ini terbit sekali dalam enam bulan.  

Panjang tulisan untuk kolom Klakson hanya 1 halaman kwarto. Kalau untuk dikirim ke Jurnal Taswiirul Afkar bisa paling sedikit 15 halaman. 

Kalau jurnal narasinya panjang-panjang dan mesti ada referensi rujukan. Isunya pun mesti sesuai ketentuan redaksi.

Selain aktif memberi pendidikan demokrasi, saya mendengar Anda juga aktif dalam gerakan literasi ya?
Benar. Saya dan beberapa teman memberi training menulis bagi mahasiswa dan para santri Pondok Pesantren An Nahdah dan Pesantren MDIA Bontoala. 

Ini kami lakukan sejak 2015 lalu. Misi saya adalah semata-mata untuk mendorong kecerdasan sosial bagi generasi mendatang.

Sebab menurut saya, kecerdasan mesti dimiliki agar kita menjadi bangsa yang tidak mudah diporak-poranda atau gampang terhasut oleh info-info hoax. 

Apa saran Anda untuk calon penulis dan strategi menggairahkan budaya literasi di Sulawesi Selatan, khususnya anak muda?
Untuk calon-calon penulis: perbanyak membaca teks dan konteks (kenyataan). 

Untuk menggairahkan budaya literasi mesti memperbanyak grup-grup diskusi dan literasi di antara kalangan pemuda, bukan hanya di mahasiswa, dilevel pelajarpun penting. 

Grup-grup seperti ini diharapkan membangun iklim tumbuhnya kultur literasi di kalangan masyarakat. (*)

Data Diri
Nama: Abdul Karim
Lahir: Sidrap, 27 Juni 1977

Pendidikan: 
- SDN 7 Kulo, Sidrap (1990)
- Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaaa, Benteng, Sidrap (1990-1996)
- S1 Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar (1996).

Organisasi: 
- Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

Nama ayah: Pawelloy
Nama ibu: Jamilah
Istri: Rahmawati Amin

Anak: 
- Balqis Fuady Bintang Semesta Karma Putri 
- Moh Gandhi Bintang Semesta Karma Guru Batara

= = = = 
KAKI

- Pedoman Rakyat adalah salah satu koran tertua di Indonesia. Terbit di Kota Makassar sejak 1 Maret 1947. Ketika itu namanya: MajalahTengah Boelanan: Pedoman. Nama Pedoman Rakyat resmi digunakan pada November 1950. Namun pada 3 Oktober 2007, surat kabar ini tak terbit lagi.

- KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Presiden RI dan mantan Ketua PBNU. Buku karyanya antara lain: Gus Dur dan Sepakbola: Kumpulan Kolom Gus Dur Tentang Sepakbola, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Buku ini merupakan kumpulan dari kolom-kolom Gus Dur yang dimuat Majalah Tempo pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an).

- Mahbub Djunaidi adalah jurnalis, esais, sastrawan dan penerjemah. Aktivis yang membidani kelahiran PMII sekaligus ketua pertamanya. Pernah menjabat Ketua Umum PWI Pusat (1955-1970). Novelnya, "Dari Hari ke Hari", serta "Angin Musim". Tahun 1974 "Dari Hari ke Hari" meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta.

- Goenawan Mohammad adalah pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo. Tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir (Caping), artikel pendek yang dimuat rutin di halaman paling belakang Majalah Tempo. 

- Emha Ainun Nadjib adalah penulis cum seniman kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Buku-buku yang ditulisnya antara lain: Dari Pojok Sejarah (1985), Sastra yang Membebaskan (1985), Secangkir Kopi Jon Pakir (1990), Markesot Bertutur (1993), Opini Plesetan (1996), Gerakan Punakawan (1994) dan Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996).

- Bre Redana adalah anak ketiga dari empat bersaudara. SD hingga sarjana muda diselesaikan di Jawa Tengah. Tahun 1981 bergabung sebagai jurnalis harian Kompas. Tahun 1990-1991 Bre Redana mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Tehnology, Inggris. 

- Ahmad Tohari adalah sastrawan dan budayawan kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun Jakarta (1967-1970. Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta.  

Komentar