Menulis Itu Jihad

“Menulislah, agar dunia tahu bahwa engkau pernah ada.”\
Syamsul Arif 

sumber foto: Facebook Syamsul Arif

SEBAGAI penanggungjawab Rubrik Opini di Tribun Timur, pekerjaan rutin saya adalah membaca tulisan-tulisan yang masuk di inbox email opinitribuntimur@gmail.com

Dari sekian banyak pengirim tulisan tersebut, nama Syamsul Arif termasuk yang paling sering muncul. Saking seringnya ia mengirim artikel. Hal ini membuat namanya tak asing bagi saya.

Boleh dikata, semua tulisannya yang dikirim untuk halaman opini Tribun Timur, layak terbit. Saya sulit menemukan alasan untuk menolak tulisannya.

Sebab syarat artikel layak terbit seperti aktual, bernas, mudah dipahami, orisinil, tidak menyinggung perbedaan SARA hingga tidak mengandung ujaran kebencian, dipenuhinya. Bukan hanya itu, tulisannya pun tak perlu lagi diedit untuk terbit.

Tapi karena pertimbangan adanya aturan waktu terbit yang tak boleh ‘berdekatan’ dari penulis yang sama, kadang sebagian tulisannya tertunda dimuat.

Pengaturan waktu terbit opini dari penulis yang sama dilakukan juga karena pertimbangan memberi kesempatan penulis lain muncul. Juga agar tak muncul kesan adanya dominasi penulis tertentu.

Tak hanya artikel untuk rubrik opini, ia juga kerap mengirimkan laporan dalam bentuk citizen report ke Tribun Timur. Ini dilakukannya jika sedang menghadiri acara tertentu di luar Kota Makassar. Termasuk jika diundang ke luar negeri.

Kreatifitasnya menuangkan gagasan melalui tulisan itulah membuat saya penasaran. Saya ingin tahu bagaimana mulanya ia menekuni ‘dunia’ tulis menulis hingga rahasianya menjadi kreatif dan produktif menulis.

Karena keingintahuan itulah saya mengajukan sejumlah pertanyaan ke ayah satu anak ini. Alhamdulillah, saya diberi kemudahan. Berikut ini tanya jawab yang kami lakukan melalui whatsApp, September 2017 lalu.

Sejak kapan mulai menyenangi ‘dunia’ tulis menulis?
Seingat saya, saya mulai senang menulis sejak SD. Waktu SD saya senang menulis hal-hal tidak penting. Saya menulis semua judul film Doraemon yang saya nonton.

Saya juga menulis semua nama penjahat dalam film Dragon Ball.  Saya juga suka menulis skor pertandingan sepak bola yang saya nonton.

Ketika sekolah di pesantren, saya mulai mencoba menulis puisi dan surat cinta. Puisi itu saya tempel di majalah dinding (madding) pesantren. Sedang surat cinta itu pesanan teman-teman santri yang akan dikirimkan ke santriwati yang disukainya.

Waktu itu saya masih di Pondok Pesantren Moderen Tarbiyah Islamiyah, Kabupaten Takalar. Di pesantren ini saya menghabiskan enam tahun masa hidup dari tahun 1999 hingga 2005 lalu.

Kenapa senang menulis judul film Doraemon dan nama-nama penjahat di film Dragon Ball saat SD?
Mungkin karena saat itu menonton ada hal yang mahal bagi saya. Saat SD saya tinggal di Bulukumba bersama nenek. 

Rumah kami tidak memiliki tivi. Saya hanya bisa menonton tivi pada hari Minggu di rumah tetangga yang membolehkan kami menonton di rumahnya.

Mungkin karena menonton itu adalah hal yang luar biasa, maka saya ingin mengenangnya. Salah satu bentuk mengenangnya adalah dengan menulis setiap judul film atau hal-hal menarik dari apa yang saya tonton.

Apa alasan Anda suka menulis puisi ketika masih nyantri?
Saya menulis puisi saat itu karena merasa bahwa sesuatu yang saya pendam saya dapat suarakan melalui puisi. 

Sayangnya, saat itu saya tidak membaca buku-buku puisi.  Saat itu, menemukan buku-buku puisi di perpustakaan pesantren sangatlah susah.

Bagaimana reaksi guru dan para santri saat membaca puisi Anda di mading ketika itu?
Sepanjang ingatan saya guru tidak pernah memberikan komentar terkait tulisan saya di mading. Sebaliknya, karena melihat saya menulis itulah maka beberapa teman meminta saya untuk menuliskan mereka surat cinta.

Mungkin karena melihat puisi yang saya tulis adalah puisi cinta, maka beberapa teman meminta saya untuk menuliskan surat cinta untuk mereka. Ketika surat itu selesai, maka saya akan menuliskan nama mereka pada surat itu.

Sebagian surat itu menjadi awal penanda hubungan mereka namun sebagian lainnya justru berakhir penolakan. 

Beberapa santriwati bahkan tidak mengetahui hingga saat ini bahwa surat yang dikirimkan itu adalah buatan saya bukan dari kekasihnya.

Pernah juara menulis atau baca puisi?
Hingga saat ini saya tidak pernah sekalipun memenangkan lomba puisi mengingat saya sendiri tidak pernah ikut lomba. Hal yang hampir sama dengan tulisan di mana saya juga tidak pernah ikut lomba menulis.

Cuman beberapa tulisan saya sempat diterima dalam beberapa buku Antologi seperti; Hidup Damai di Negeri Multikultur, Daeng is My Hero, Surat Cinta untuk Makassar.

Saat mahasiswa dan setelah sarjana, bagaimana aktivitas menulis Anda?
Ketika kuliah S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar saya lebih banyak menulis cerpen. Tulisan pertama saya yang terbit di media itu adalah cerpen.

Saya juga menulis opini sebenarnya, tapi opini itu tidak saya kirimkan ke media. Opini saya hanya saya posting di blog pribadi. 

Saat itu, saya merasa canggung untuk mengirim tulisan opini di media. Karena merasa tulisan opini saya belum begitu berisi.

Tulisan opini saya pertama terbit ketika kuliah di Amerika Serikat. Saat itu opini saya muncul di koran kampus. Judulnya Myth Busted; Americans don’t Hate Muslim

Opini itu bercerita soal bagaimana orang-orang Amerika yang saya temui ternyata tidak membenci Islam seperti yang selama ini saya pikirkan.

Saya mulai aktif menulis opini untuk media mainstream ketika kuliah di Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat itu saya berpikir, apa yang saya pelajari ada baiknya saya bagikan kepada banyak orang dengan jalan menulis opini di koran.

Selama ini, akademisi menulisnya hanya di jurnal dan tidak banyak orang yang bisa mengakses jurnal. Makanya, selain menulis di jurnal saya juga tetap menulis opini di koran. 

Sebagai akademisi, saya merasa menulis di koran itu adalah bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pernah ikut pelatihan jurnalistik atau pelatihan menulis kreati?
Saya tidak begitu sering mengikuti pelatihan jurnalistik atau menulis kreatif. Tapi  saya beruntung karena pernah mendapatkan beasiswa kuliah di Amerika dari US Department of State. 

Saat itu saya mengambil kuliah jurnalisme selama setahun di Everett Community College di Washington State, US dari tahun 2010 hingga 2011.

Saya memilih jurnalisme karena dulu saya punya cita-cita ingin jadi seorang jurnalis.  Di sana saya juga mencoba menjadi wartawan kampus pada koran kampus di sekolah saya. Namanya The Clipper

Dua bulan sebelum kembali ke Indonesia, saya kemudian magang di UW Daily. Koran kampus di University of Washington dengan oplah 3.000 pehari.

Seingat saya di Jogjakarta, saya juga pernah ikut Sekolah Menulis Progresif yang dilaksanakan oleh Social Movement Institute. 

Tapi saat itu fokusnya bukan bagaimana membuat tulisan, namun lebih kepada bagaimana menjadikan kata sebagai senjata melawan ketidakadilan.

Justru setelah sering menulis seperti sekarang, saya jadi tertarik untuk ikut pelatihan jurnalistik atau pelatihan menulis kreatif.

Di koran atau media mana saja pernah tulisan Anda dipublikasikan?
Tulisan saya pernah terbit di beberapa media cetak dan online. Di antaranya; The Clipper, Tribun Timur, Jawa Pos, Fajar, Yess Magazine, kompasiana, damailahindonesiaku.com, dutadamai.id, satuislam.org, dll.

Beberapa buku juga pernah memuat karya saya yakni; Daeng is My Hero, Surat Cinta untuk Makassar, Hidup Damai di Negeri Multikultur.

Tulisan Anda pertama kali muncul di media massa mainstream?
Tulisan pertama saya yang muncul di media berupa cerpen. Judulnya, Yang Telah Berlalu. Tulisan ini dimuat di harian Fajar.

Sedangkan opini saya yang pertama kali terbit di Makassar adalah di Tribun Timur edisi cetak Rabu, 4 Juli 2012 lalu. Judulnya, Mungkinkah Makassar Jadi Kota Pendidikan.

Tulisan itu berangkat dari kekaguman saya atas Jogjakarta. Saat itu saya sedang mengambil S2 saya di Center for Religious and Cross Cultural Studies. Sebagai kota Pendidikan saya melihat banyak hal yang dapat dicontoh dari Jogjakarta.

Lalu saya berpikir bahwa seharusnya Makassar dapat pula dijadikan sebagai sebuah kota pendidikan mengingat sepengalaman saya, ada banyak mahasiswa di Kawasan Timur Indonesia yang menjadikan Makassar sebagai tujuan menuntut ilmu.

Tapi untuk sampai pada posisi itu perlu upaya ekstra. Makassar harus memantaskan dirinya.

Sejak itu, saya mulai aktif mengirimkan opini. Saya merasa Tribun Timur memberikan saya kesempatan untuk berkembang sekaligus membangun rasa percaya diri saya untuk terus menerus menulis opini.

Jumlah honor tulisan Anda yang pertama?
Honor dari cerpen  itu kalau tidak salah saya terima Rp 75.000. Dari honor inilah saya menggunakan uang itu untuk mentraktir teman-teman makan nasi goreng.

Bagi saya, bukan besaran nominal dari honor tersebut. Tapi lebih pada rasa kebanggaan pada karya kita dimuat di media profesional.

Bagaimana rasanya saat pertama kali tulisan Anda muncul di surat kabar umum?
Tentu saja perasaan saya sangat senang. Saking senangnya, korannya saya beli dan saya simpan hingga sekarang.

Reaksi teman setelah tahu tulisan Anda muncul di koran?
Saat itu saya sebenarnya belum terlalu pede dengan tulisan saya. Saya tidak memberi tahu orang-orang jika saya menulis. Jadinya tidak begitu banyak yang tahu jika tulisan saya terbit di koran.

Dahulu saya menulis di blog. Judul blognya Catatan Akhir Kuliah. Blog itu dapat diakses di: www.catatan-akhir-kuliah.blogpsot.com. 

Cerpen-cerpen saya saat itu juga saya posting di Taman Langit. Bisa diakses di www.penulis-kampung.blogspot.com.

Di Amerika kemudian saya menulis blog lagi. Judul blognya My American Journey. Teman-teman dapat mengaksesnya di www.hereiamamerica.blogspot.com.  Sayangnya  blog itu kini tak lagi update.

Kapan pertama kali terbitkan buku?
Buku pertama saya adalah kumpulan cerpen yang saya tulis waktu kuliah di Amerika. Judulnya, Remember Seattle. Saya terbitkan pada 2011 lalu sekembali dari Amerika.

Membuat cerpen ketika itu adalah salah satu cara saya melarikan diri dari kesibukan di dunia kampus. Saya menerbitkan cerpen itu sesungguhnya hanya sebagai upaya mengikat kenangan.

Karena hampir semua cerpen-cerpen itu sangat terkait dengan apa yang saya rasakan dan alami selama kuliah di Amerika. Buku itu diterbitkan di LeutikaPrio, Jogjakarta. 

Judulnya Remember Seattle. Saya memilih judul itu karena selama di Amerika saya menghabiskan banyak hari saya di Seattle.

Saat ini saya berencana untuk membukukan semua opini yang telah terbit di Tribun Timur karena jumlahnya sudah puluhan judul.

Boleh tahu, kapan rencana membukukan opini-opini Anda yang pernah diterbitkan di Tribun Timur?
Rencana awal tahun 2018 sebelum saya melanjutkan studi S3 di Australia. Tapi sebelumnya saya harus sowan dulu ke Tribun Timur untuk meminta izin tentunya.

Buku itu rencananya berisi Opini yang saya tulis khusus di kolom Tribun Timur, sedang opini saya yang diterbitkan di media lain tidak saya ikutkan. Harapannya buku itu bisa diterbitkan oleh penerbit major di Jogjakarta.

Siapa saja orang dianggap berjasa atau memengaruhi proses tulis-menulis Anda?
Ayah dan mentor saya Andrea Otanez. Ayah saya juga punya buku. Judulnya Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya. Dahulu, saya bangga melihat nama orangtua saya di sebuah cover buku. 

Ayah saya selalu bilang, “Kalau ingin monumental, maka menulislah.”

Sedangkan Andrea Otanez adalah orang pertama yang mengajarkan saya banyak hal soal jurnalisme. 

Setiap kali tulisan kami terbit, maka kami akan diberitahu di mana letak kesalahan yang kami lakukan dalam tulisan yang telah terbit tersebut.

Dari Andrea saya belajar bahwa tulisan yang telah terbit sekalipun tetap harus dibaca serius untuk  melihat di mana letak kesalahan yang kita buat sebagai seorang penulis.

Selain ayah Anda dan Andrea Otanez, adakah penulis dan buku yang dianggap pula telah mempengaruhi gairah dan gaya menulis Anda?
Saya membaca berbagai macam buku, baik itu fiksi maupun non fiksi.  Setiap penulis yang saya baca bukunya itu memengaruhi saya dengan caranya masing-masing, baik itu langsung maupun tidak langsung.

Saya membaca Eka Kurniawan, Linda Christanty, Andrea Hirata, Paulo Coelho, Haruki Murakami, Karen Armstrong, Gus Dur, Tariq Ramadhan, Quraish Shihab, Leo Tolstoy, Milan Kundera, George Orwell dan banyak lainnya.

Bagaimana cara Anda menemukan ide dan mengumpulkan bahan tulisan?
Ide bisa muncul di mana saja dan kapan saja. Dalam artian ada banyak hal yang dapat dituliskan. Penulis tidak hanya menyuarakan suaranya. Namun dia dapat pula menyuarakan pandangan orang-orang yang selama ini bungkam.

Saya selalu membawa buku kecil ke mana-mana. Ketika ide itu muncul, maka saya harus segera menuliskannya pada buku kecil tersebut. 

Karena jika tidak, ide itu bisa saja menghilang. Bahkan saat menonton film pun, buku kecil itu tetap bersama saya.

Selain itu, seorang penulis harus banyak membaca. Karena hasil bacaan akan memperkaya tulisan yang dibuatnya. Di kamar mandi, saya memiliki tempat khusus untuk menyimpan beberapa buku.

Buku-buku itu saya baca saat berada di kamar mandi. Ada beberapa buku yang bahkan saya tamatkan di kamar mandi. 

Untuk jangka waktu penulisan opini itupun bermacam-macam. Ada yang cuman hitungan jam. Namun ada pula yang hitungan hari bahkan bulan.

Biasa beli buku baru berapa sebulan?
Setiap bulan saya pasti membeli buku. Tidak ada target berapa perbulannya. Setiap kali mengunjungi toko buku hampir pasti saya keluar membawa kantungan berisi buku.

Belakangan saya memburu buku-buku murah yang sedang didiskon. Bukan untuk saya tapi untuk perpustakaan yang saat ini saya kelola. 

Namanya Rumah Pustaka Bibliophilia. Sebuah rumah baca untuk teman-teman yang tinggal di sekitaran Sungguminasa.

Karena belum memiliki tempat yang representatif yang dapat saya jadikan perpustakaan, untuk sementara saya membawa buku-buku itu setiap hari Ahad pagi di Lapangan Syeh Yusuf Discovery.

Di sana saya membuka lapak buku untuk para pengunjung. Buku buku itu gratis untuk dibaca. Tapi tidak boleh dibawa pulang. Setiap Minggu pagi saya bawa sekitar 60-an buku dan juga koran.

Selain punya perpustakaan yang refresentatif, apa rencana lain Anda?
Kedepannya saya bermimpi memiliki Cafe Baca. Tempat di mana saya menempatkan buku sekaligus minum kopi.

Bagi saya, kopi dan buku adalah hal yang seksi. Saya akan senang kalau nantinya tempat itu menjadi tempat di mana literasi diperbincangkan.

Bagaimana cara Anda mengatur waktu antara: membaca, menulis, mengajar, keluarga dan urusan sosial lainnya?
Keluarga dan buku menurut saya bukanlah dua hal yang harus dipisah. Mereka bagi saya suatu kesatuan. Membaca menurut saya dapat dilakukan di mana saja meskipun berada di tengah keluarga.

Dengan membaca buku ketika bersama keluarga saya ingin menunjukkan kepada anak saya bahwa kegiatan membaca adalah aktifitas yang menarik dan dapat dilakukan di mana saja.

Saya memiliki seorang anak yang baru berumur setahun lebih. Namanya Elf. Kelak saya ingin dia rajin membaca dan suka menulis pula.

Di rumah, rak buku sengaja saya letakkan di samping ranjang di dalam kamar. Tujuannya adalah untuk mendekatkan buku dengan saya. 

Sengaja rak buku itu tidak diberi kaca untuk menutupnya, agar gampang saya meraihnya kapan pun saya mau.

Selain itu di kamar mandi. Saya sengaja memasang rak buku di sana. Seperti yang telah saya bilang sebelumnya. Ada beberapa buku yang saya habiskan di kamar mandi.

Bagaimana Anda melihat budaya menulis untuk media massa di kalangan mahasiswa dan dosen di Sulsel?
Dunia kampus seharusnya menjadi tempat penyemaian mahasiswa untuk belajar dan aktif menulis. 

Sayangnya yah,  saya melihat para dosen kurang memotifasi mahasiswanya untuk menulis apalagi menulis di media massa. Wajar saja, soalnya para dosen sendiri jarang menulis di media massa.

Padahal seperti yang saya pernah bilang sebelumnya, menulis di media massa menjadi tempat bagi dosen untuk membagi pikirannya ke khalayak ramai. 

Akibatnya, mahasiswa seperti kehilangan role model siapa dosen yang dapat dijadikannya teladan untuk menulis.

Di beberapa kelas yang saya ajar di kampus, saya sengaja meminta mahasiswa membuat artikel 2 -  3 halaman untuk tugas final mereka. Tema tulisan terkait dengan mata kuliah yang saya ajarkan.

Kemudian saya memerintahkan mereka untuk mengirimkannya di media massa. Alhamdulillah saya menemukan beberapa mahasiswa yang tugas akhirnya bisa terbit di media massa. Itu sebuah kesyukuran tak terhingga bagi saya.

Bukankah di kampus mahasiswa banyak diminta menulis?
Benar, mereka diminta menulis makalah bahkan menulis skripsi. Tapi yah begitu. 

Saya menemukan banyak tulisan akhir entah itu makalah, tugas dan juga skripsi yang justru hasil plagiat. Yang hanya dicomot langsung dari internet. Ini budaya yang menggurita di kampus.

Kalau dosen tidak jeli dan betul betul membaca tugas mahasiswa bisa saja mereka ‘ditipu’ oleh mahasiswanya sendiri.  

Seakan akan tugas itu adalah tulisan mahasiswa. Padahal jika di-cross check di internet, tulisan itu ternyata hasil karya orang lain.

Apa saran Anda terhadap para pihak agar budaya menulis buku di Sulsel tumbuh subur?
Saya merasa semangat literasi di Makassar dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini tumbuh sangat subur. 

Ada banyak komunitas literasi yang bermunculan. Komunitas-komunitas ini selain mengajak masyarakat untuk rajin membaca juga seringkali melaksanakan kelas kelas menulis.

Beberapa komunitas bahkan memiliki website sebagai wadah teman-teman bisa memosting tulisan yang dibuatnya. Beberapa komunitas juga mencoba membuat penerbitan-penerbitan sendiri. Itu hal-hal yang patut diapresiasi.

Sayangnya, saya belum melihat langkah serius pemerintah untuk ikut membantu semangat literasi di Sulawesi Selatan. Mungkin ada, tapi belum signifikan.

Terkait budaya menulis di media massa, perlu ada trigger khusus mungkin yang dilakukan pemerintah, kampus atau sekolah. 

Mungkin dengan memberikan penghargaan kepada khusus kepada mahasiswa atau siswa yang menulis di media massa.

Pesan Anda kepada calon penulis?
Saya selalu katakan kepada orang-orang, “Menulislah, agar dunia tahu bahwa engkau pernah ada.” Menurut saya, menulis adalah sebaik baik cara  memperkenalkan siapa kita dan gagasan kita ke dunia.

Di sisi lain, “Sebaik-baik warisan di dunia, adalah buku yang pada covernya tertera nama orang yang kita cinta.”

Saya juga percaya bahwa “Menulis itu adalah Jihad Saya dalam menjelaskan Islam yang damai dan penuh cinta kasih.” Makanya saya sering bilang “Menulis itu adalah Jihad.”

Menulis adalah cara saya memperkenalkan Islam yang damai dan penuh cinta kasih. Bahwa agama hadir untuk menjadikan dunia lebih baik. 

Agama hadir untuk mendamaikan. Bukan untuk membuat dunia menjadi lebih menakutkan dan penuh benci. (*)

Komentar