Rutin Membaca Sastra Klasik

 Setiap orang punya cerita dan cara pandang tersendiri terhadap sesuatu hal. Maka menulislah agar kita bermanfaat pada dunia dan orang lain.”

-          Anis Kurniawan -

Anis Kurniawan

SAYA mengenalnya sejak 2005 lalu. Kala itu saya masih bertugas sebagai reporter Tribun Timur untuk wilayah Kabupaten Bulukumba, Selayar, Bantaeng dan Jeneponto.

Saat itu saya mengenalnya sebagai aktivis mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) asal Bulukumba.

Saban bersua, ia selalu menceritakan tentang berbagai unek-uneknya. Juga tentang sejumlah rencana kegiatannya.

Ia selalu tampil semangat jika bercerita. Terlebih jika yang dibahasnya tentang buku.

Putra dari pasangan Syamsuddin Hamja dan Masyita memang tergolong pembaca sekaligus pengulas buku yang baik.

Ia pernah terpilih sebagai cerpenis terbaik Jurusan Sastra Indonesia UNM.

Juga pernah menjadi delegasi Indonesia pada Temu Cerpenis Muda se ASEAN 2008.

Selain cerpen, tulisan-tulisan opininya banyak tersebar di berbagai surat kabar yang terbit di Kota Makassar seperti Pedoman Rakyat, Fajar dan Tribun Timur. 

Tak sedikit pula terbitan nasional seperti Republika dan Media Indonesia hingga beberapa portal online.

Kini sejumlah buku pun telah dihasilkannya. Berikut wawancara saya dengan magister ilmu politik Universitas Gadjah Mada ini, September 2017 lalu::

Sejak kapan menyenangi dunia tulis menulis?
Sejak SMA SMA. Waktu itu saya suka menulis cerita pendek (cerpen) dan semacam catatan harian. Heee…Tapi mulai menggelutinya secara lebih serius saat mahasiswa tahun 2001. 

Ketika mahasiswa, biasa menulis tentang apa?
Tetap menulis cerpen. Biasanya kalau sudah menulis satu cerpen, saya kemudian ‘memaksa’ orang-orang dekat saya (kawan, pacar, teman diskusi) untuk mendengar saya bacakan pada mereka.

Setelah itu, saya suka menyimpannya berbulan-bulan. Lalu menulis lagi dan membacakannya lai pada kawan-kawan dekat dan menyimpannya.

Tak kirim ke media?
Awalnya tidak. Baru setelah beberapa cerpen, saya beranikan kirim ke media. Yang saya kirim tentu saja cerpen yang saya anggap bagus. 

Awalnya dimuat di majalah kampus: Majalah Estetika dan Majalah Aspirasi.

Majalah Estetika adalah majalah yang diterbitkan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Makassar (UNM). 

Sedangkan Majalah Aspirasi dibuat mahasiswa Sastra Indonesia UNM. Pada semester dua, saya diminta untuk menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Aspirasi tahun 2001.

Setelah beberapa tulisan saya dimuat di media kampus, barulah saya kemudian memberanikan diri menulis untuk dikirim ke media umum.



Selain cerpen, waktu mahasiswa biasa menulis apa?
Juga mencoba menulis review setiap buku-buku sastra yang saya baca. Awalnya tidak saya publikasi, tapi sekadar strategi personal saya untuk menyimpan ingatan akan setiap buku yang saya baca.

Waktu itu saya menyukai tulisan-tulisan dari penulis seperti Ayu Utami, Gabriel Garcia Marquez dan lainnya.

Kenapa tulisan-tulisannya Ayu Utami dan Gabriel Garcia Marquez?
Trend sastra tahun 2000-an adalah kebangkitan penulis perempuan dengan tema seputar seks dan kekerasan pada perempuan.

Ayu utami, Djenar, Fira Basuki dll adalah pengarang Indonesia yang karya-karyanya memopulerkan suatu narasi alternatif pada sastra Indonesia pada masa itu.

Lalu Gabriel adalah satu novelis yang karya-karyanya sangat kuat narasinya sebagai pengarang yang pernah menerima Nobel Sastra. 

Kapan pertama kali tulisan Anda terbit di media mainstream?
Waktu 2001. Ketika itu saya masih mahasiswa. Tulisan esai pertama saya muncul di koran harian Fajar. Esai ini membahas buku Parasit Lajang karya Ayu Utami.

Perasaan Anda kali pertama tulisan dimuat di koran?
Wowwww....wowww.............Saya seperti terbang ke angkasa. Haaa…Sejak itu saya yang pendiam sejatinya, jadi cerewet abis haa.

Di mana ada orang saya jumpai, walau tak terlalu akrab di situ saya akan antusias menceritakan tulisan saya itu. Hehe..

Semua terasa lengkap, saat kawan-kawan mahasiswa mengenal kita karena tulisan itu. Gairah menulis semakin meningkat.

Seperti sakauww. Tapi yg menggoda adalah gairah membaca yang meningkat dan juga gairah berdiskusi.

Karena kesadaran mulai muncul bahwa menulis hanya bisa dilakukan dengan membaca dan berdiskusi. 

Selanjutnya tulisan saya mengalir dan kirim ke berbagai media. Selain ke Fajar, saya juga mengirim ke dan Pedoman Rakyat dan Tribun Timur.

Tulisan saya juga pernah diterbitkan Republika, Media Indonesia dan beberapa portal online juga.

Selain menulis cerpen, biasa menulis apa juga saat  mahasiswa?
Saya menulis opini dan artikel ilmiah. Kebetulan saya kan alumni Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran Universitas Negeri Makassar (UNM). 

Ini organisasi kampus yang fokus memproduksi karya ilmiah dan melatih mahasiswa menulis artikel ilmiah.

Di mana kini tulisan-tulisan Anda sejak mahasiswa?
Sayangnya saya kehilangan arsip tulisan-tulisan saya yang pernah dimuat di koran, terutama yang pernah dimuat di Pedoman Rakyat

Ceritanya, pada tahun 2004, saat berkunjung ke rumah Maman S Mahayana (kritikus sastra, dosen Universitas Indonesia) di Jakarta.

File tulisan saya satu bundel hilang di Bojong Gede. Itu sangat menyakitkan heee..... Ketika itu Pak Maman tanya ke saya, “kenapa mukamu keliatan tak bergairah." Saya jawab, "harta saya dalam tas hilang, Pak."

 "Isinya apa?" Kata Pak Maman. "Arsip tulisan-tulisan saya di Koran, Pak.” Mendengar itu Pak Maman langsung antusias menemani saya keliling Bojong Gede. 

Wara wiri membonceng saya dengan sepeda motor buntutnya mencari tas itu. Tapi tak saya temukan. Heee…

Jika dihitung jumlahnya hingga saat ini, sudah berapa judul tulisan Anda yang terbit dalam bentuk buku?
Cerpen yang saya ingat sekitar 50-an judul. Di antaranya cerpen "Wajah dan Wajah" (2008), Matahari Bangsaku (2008), Fiksomnia (Antologi 2008).  

Ada juga buku di mana saya bertindak sebagai editor. Misalnya buku Politik Pemiskinan (2013) Ford Foundation, Pemilu 2014 dan Dilema Demokrasi Subtantif (2014) yang diterbitkan Tifa Foundation.

Seingatku ada sekitar 30-an lebih judul buku yang saya editor.  Kalau artikel popular agaknya ratusan. Saya juga ada buku tentang biografi seseorang.

Di antara buku-buku tersebut, apa judul buku yang Anda anggap paling monumental?
Buku cerpen Wajah dan Wajah. Ini buku kumpulan cerpen yang saya buat dan membuat saya terpilih mewakili Sulawesi Selatan dan Indonesia pada temu Cerpenis Muda se-ASEAN pada tahun 2008 lalu.

Buku kedua, Demokrasi di Sarang Penyamun. Ini buku yang merupakan kumpulan artikel saya selama beberapa tahun.

Terbitkan dengan biaya sendiri atau dibiayai?
Ada beberapa buku yang saya terbitkan dengan biaya sendiri. Beberapa buku lainnya disponsori pihak pemesan.

Bisa diceritakan bagaimana tips menjadi penulis yang andal?
Semua dimulai dari membaca. Tapi, seorang penulis punya cara membaca yang berbeda. 

Kita perlu membaca apa saja dengan tidak sekedar mengetahui isi suatu narasi. Kita perlu juga mengetahui logika penulis lain atau suatu tulisan memainkan sajian tulisannya.

Logika penyajian kira-kira seperti jurus-jurus silat. Semakin banyak jurus yang kita pahami, semakin mungkin kita menemukan suatu jurus baru dengan gaya kita sendiri. Hehe…

Bagaimana Anda biasanya menemukan ide tulisan?
Ide tulisan biasanya saya temukan secara alami saat dalam perjalanan atau saat sedang berdiskusi. 

Saya biasanya menemukan satu frase tertentu yang saya tuliskan di buku catatan atau di handphone note. Bila ada waktunya sudah tepat, frase itu saya kembangkan jadi tulisan.

Menulis satu artikel atau cerpen, bisa berapa jam?
Kalau cerpen bisa berhari hari. Bahkan berbulan-bulan. Beberapa cerpen saya belum pernah dibaca oleh siapa pun. 

Beberapa di antaranya sudah lama sekali dan masih sering saya otak atik. Kalau artikel biasanya sejam dua jam sudah jadi.

Biasanya menulis, sukanya pada pagi hari, malam, siang atau subuh?
Saya  terbiasa menulis biasanya malam hari, karena di waktu malam, imajinasi bergentayangan. Suasana bathin juga lebih tenang pada malam hari. 

Biasanya pukul 10an malam ke atas. Subuh-subuh biasanya saya punya kesempatan membaca ulang tulisannya.


Adakah tempat favorit Anda untuk menulis?
Saya menulis kebanyakan di rumah. Kalau sedang di cafe atau perpustakaan biasanya hanya membaca atau menuliskan catatan-catatan kecil.

Siapa penulis yang Anda suka?
Saya menyukai cerpenis Jepang Akutagawa Riunosuke. Ayu Utami, Pramoedya Ananta Tour, dan  Damhuri Muhammad (untuk sastra). 

Untuk opini dan artikel di media massa, saya suka gaya menulis Budiarto Shambassy, Radar Panca Dahana, Yudi Latief dan almarhum Ahyar Anwar.

Siapa sosok yang dianggap ikut membentuk Anda sebagai penulis profesional?
Sastrawan Hudan Hidayat (Jakarta) dan Ahyar Anwar (Makassar). Saya merasa cukup beruntung pernah bersahabat bahkan serumah dengan sastrawan nasional sekaliber Hudan Hidayat (2003). 

Hudan memperkenalkan saya cara mengeksplore realitas menjadi karya fiksi. Bagi Hudan, setiap kata dan kalimat punya kekuatannya tersendiri. 

Karena itu, siapa pun bisa menjelma jadi penulis hebat. Itu kata-katanya yang memotivasi saya.

Kak Ahyar Anwar adalah seorang komunikator yang hebat, tetapi tulisan-tulisannya jauh lebih dahsyat. 

Retorika lisan dan teksnya, sama-sama kuatnya. Saya selalu belajar dengan cara beliau memadukan kekuatan lisan dan teks.

Sejak tahun 2001, saya bersama Ahyar Anwar. Yang menarik darinya adalah bahwa menulis itu butuh eksperimentasi. 

Ia selalu menantang untuk menemukan pola penulisan baru atau cara mengolah ide dengan model tertentu. Juga bagaimana melahirkan teks dengan cara eksperimentatif.

Kalau bisa tahu bocorannya: honor terendah hingga tertinggi berapa yang pernah Anda terima sebagai penulis?
Terendah Rp 35 ribu. Waktu itu saya menerima honor tulisan saya di media massa yang beroperasi di Kota Makassar. Tapi saya tak menilai berdasarkan nilai rupiahnya. 

Tapi lebih pada kepuasan batin karena tulisan kita dimuat di media massa. Kebahagiaan itu sulit diukur dengan nilai rupiah.

Untuk menyusun buku yang disponsori pihak tertentu honornya untuk kisaran 200 halaman sekitar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Tertinggi saya pernah terima sekitar Rp 50 jutaan

Apa keuntungan nonfinansial yang Anda peroleh sebagai penulis selama ini?
Kepuasan batin, jejaring sesama penulis yang sangat luas serta perasaan bahagia heee. Bagi saya, predikat sebagai penulis sangat istimewa. Karena ini adalah dunia intelektual di mana kita berperan mencerahkan dunia

Bagaimana Anda mengatur waktu menulis, bekerja serta urusan keluarga?
Lebih banyak saya menulis saat di rumah. Alhamdulillah, anak-anak saya di rumah sudah paham kalau ada dua hal di mana ayahnya tidak bisa diganggu yakni saat menulis di depan laptop dan saat membaca. 

Karena kebiasaan ini, anak-anak mulai bertanya: untuk apa menulis? Untuk apa membaca? Untuk apa beli buku mahal? Kenapa tak beli makanan?

Sebulan biasa beli berapa buku baru? Buku tentang apa saja?
Setidaknya saya bisa beli lima sampai delapan judul buku. Biasanya saya beli novel, cerpen terjemahan, buku-buku filsafat, dan buku-buku politik.

Selain beli buku, langganan bacaan apa saja?
Di rumah saya wajib baca koran Kompas. Bila di luar rumah, saya baca setidaknya dua koran lokal yakni Tribun Timur dan Fajar. Untuk majalah saya menyukai National Geografic.

Bagaimana cara Anda menjaga gairah menulis?
Saya merawat bacaan. Setiap hari minimal lima artikel di koran saya baca. Saya menganggapnya kewajiban. 

Kedua, selalu share dengan sesama penulis. Ketiga, merawat gairah dengan baca karya-karya sastra klasik karena itu akan menggoda imajinasi kita.

Apa saran Anda untuk penulis pemula atau calon penulis?
Menulis adalah panggilan jiwa. Setiap kita punya kewajiban menuliskan pikiran. Sebab, peradaban ditandai dengan bertumbuhnya budaya literasi. 

Tetapi gairah menulis tidak cukup, kita perlu membudayakan membaca. Membaca karya sastra terutama.

Apa saran Anda kepada pemerintah,  swasta dan para pihak agar gairah menulis masyarakat Sulsel meningkat.
Pemerintah perlu memberi support pada penulis dengan mendukung penerbitan karya-karya. Pihak swasta juga demikian. Event-event penulis mestinya digelar secara luas dengan melibatkan swasta dan pemerintah.

Bagaimana sebaiknya wujud dukungan pemerintah kepada penulis?
Pemerintah perlu mensubsidi penerbitan karya-karya penulis local dan tak membebani penulis dengan standar pajak sebagaimana profesi lainnya. (*)

Data Diri
Nama lengkap: Anis Kurniawan
Nama panggilan: Bung AK
Pendidikan:
- Sastra Indonesia UNM
- S2: Ilmu Politik UGM

Organisasi: 
- Perkumpulan Katalis

Orangtua:
- Ayah: Syamsuddin Hamja
- Ibu: Masyita

Istri: Kismawati
Anak:
- Kurnia A Agatha
- Aliah A Tenricacca
- Fatimah Azzahra Mayapaty
- Nadia Yousafzai

Keikutsertaan:
- Cerpenis terbaik Jurusan Sastra Indonesia UNM
- Delegasi Indonesia pada Temu Cerpenis Muda se ASEAN 2008
- Beasiswa bersama 50 tokoh muda se Indonesia dalam Sekolah Pemimpin Muda Indonesia, KBFP Pellowship Program 2017

Komentar

  1. Artikel menarik... Saya ingin berbagi wawancara dengan Gabriel Garcia Marquez (imajiner) artikel di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/wawancara-dengan-gabriel.html

    BalasHapus

Posting Komentar