NAMANYA Adi Wijaya. Ia adalah Sarjana Teknik Geologi Universitas Hasanuddin (Unhas). Sejak mahasiswa hingga kini, ia tergolong aktif menulis opini di surat kabar harian Tribun Timur.
Saat ini ia sudah menulis lima buku. Salah satu buku karyanya itu, dibuat khusus sebagai mahar pernikahannya dengan Widya Febrianti Rosani.
Keren kan? Bagaimana ia belajar hingga menjadi penulis produktif dan siapa tokoh idolanya untuk urusan dunia tulis menulis?
Simak wawancara dengan mahasiswa program magister ilmu komunikasi di Program Pascasarjana Unhas di bawah ini:
Sejak kapan mulai menyenangi dunia tulis
menulis?
Saya suka menulis sebenarnya sejak SD. Waktu itu, bahasa
Indonesia menjadi salah satu favorit saya dari semua mata pelajaran yang disajikan.
Nah mengarang adalah tugas yang paling saya senangi saat banyak rekan saya yang
justru begitu ‘anti’ dengan mengarang
Untungnya, mengarang menjadi soal yang selalu ada
dalam ujian akhir sekolah. Waktu itu kami masih menggunakan sistem catur wulan.
Saya benar-benar fokus di dunia kepenulisan saat kuliah
semester 4 tahun 2007. Saya mulai mencoba untuk menulis ke beberapa media.
Saat
menulis, seperti saya merasakan suatu kenikmatan. Maka mulai saat itulah saya
berkesimpulan bahwa menulis adalah passion
saya. Menulis adalah dunia saya.
Apa yang melandasi atau motivasi Anda
menulis saat itu?
Motivasi saya dalam menulis adalah ingin menyebar
sebanyak-banyaknya kebaikan. Khairunnas
anfaulinnas, orang yang terbaik adalah yang banyak menebar kebermanfaatan
untuk orang lain.
Saya merasa punya sedikit kemampuan di bidang
menulis. Kemampuan ini adalah amanah dari Allah. Maka kelak pasti Allah akan
bertanya dipakai untuk apa potensi yang telah Dia berikan.
Maka bagi saya, menulis
sebagai jalan dakwah untuk bisa meraih Ridha Allah. Inilah motivasi terbesar
saya.
Hal ini memang tidak mudah di tengah masyarakat
Indonesia yang memiliki tingkat literasi masih tertinggal.
Saya sadar, penulis belum dianggap sebagai sebuah
profesi. Penulis masih dianggap kurang menjanjikan.
Oleh karena itu saya dan
beberapa teman-teman, menginisiasi berdirinya sebuah komunitas yang kami
namakan Lembaga Writerpreneur Indonesia (LWI).
LWI adalah komunitas yang diharapkan dapat menjadi
wadah berbagi informasi tentang peluang-peluang bisnis di bidang kepenulisan.
Namun
perlu digarisbawahi, meskipun menulis adalah bisnis, tapi idealisme adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar dan motivasi dakwah tidak boleh hilang.
Penulis idola saya antara lain Syaikh Taqiyuddin an Nabhani,
Salim A Fillah, Felix Siauw dan Sayyid Qutub.
Bagi saya, mereka para penulis
yang benar-benar menulis untuk berdakwah. Menulis dalam rangka menyebarkan ideologi.
Sebenarnya bagi saya semua buku yang saya baca,
pasti akan memberikan inspirasi. Jadi banyak sekali buku dan penulis yang
menjadi inspirasi saya.
Di antaranya saya suka buku-buku karya Syaikh
Taqiyuddin an Nabhani. Bukunya banyak memberikan inspirasi bagi saya.
Dalam menulis saya sering merujuk kepada pendapat
beliau. Bagi saya beliau adalah penulis yang berani berkarya.
Berani untuk
mengungkapkan sisi-sisi lain dari Islam yang sebenarnya sangat penting untuk
kita ketahui, tapi tidak banyak dibahas oleh ulama kontemporer.
Saya juga suka membaca buku-buku dari Ustad Salim A Fillah.
Beberapa gaya kepenulisan saya pun terinspirasi dari beliau.
Ustad Salim memiliki
kemampuan untuk memadukan antara peristiwa sejarah yang dibahasakan dalam
konteks kekinian.
Kemudian ketepatan beliau dalam menarik benang merah
hikmahnya. Diksi yang beliau gunakan pun puitis tapi tetap mudah untuk
dimengerti.
Dari tulisan beliau
saya juga belajar untuk bagaimana dapat mencari inti satu masalah sehingga
menjadi fokus pembahasan.
Saya juga senang dengan yang kental dengan kekuatan
idealisme. Misalnya karya Sayid Qutub, Ma'alim
fi Thariq.
Buku inilah mengantarkan beliau ke tiang gantungan. Saya juga
suka dengan novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Terlepas dari pemikirannya yang katanya berhaluan
sosialis. Bagi saya Bung Pram mampu memadukan antara indahnya fiksi, fakta
sejarah dan idealisme yang dia punya.
Tulisan saya pertama kali muncul di harian Tribun Timur. Bagi saya ini adalah
momentum yang sangat berkesan.
Saya seperti mendapatkan energi baru untuk terus
menulis ke media. Awalnya sempat hampir menyerah, ketika berkali-kali mendapat
penolakan.
Dari situ saya
belajar bahwa tulisan ditolak oleh media/penerbit, itu hal biasa. Tugas penulis
adalah terus menulis.
Tapi karena tidak melampirkan
foto saya sebagai penulis. Ya maklumlah penulis pemula yang masih malu-malu menunjukkan
jati diri.
Bagaimana trik agar tulisan kita bisa
tembus media?
Pertama, pahami terlebih dahulu karakter medianya.
Misalnya apakah dia media yang fokus pada isu politik, ekonomi atau umum.
Kalau misalnya media tersebut spesifik ke ekonomi, maka mungkin tulisan tentang politik
akan sulit dimuat. Kecuali kalau media yang umum, bisa lebih fleksibel dalam
hal tema.
Kedua, perhatikan isu yang sedang up to date. Apalagi kalau media tersebut
terbit setiap hari.
Pasti tulisan yang akan dimuat adalah yang membahas tentang
isu yang hangat pada saat itu. Kita sebagai penulis jangan sampai kehilangan
setiap momentum.
Ketiga, perhatikan persyaratan yang dicantumkan oleh
dewan redaksi. Misalnya panjang maksimal tulisan.
Jangan sampai tulisan kita
kurang atau melebihi jumlah karakter yang telah ditentukan. Biasanya ada
beberapa media yang mensyaratkan foto. Maka wajib melampirkan foto.
Bisa jadi kedekatan dengan redaksi akan
menimbulkan kepercayaan dan membuat tulisan kita lebih mudah dimuat.
Keenam, kalau tulisan ditolak, coba dan coba lagi.
Yakinlah tulisan yang ditolak bukan karena jelek. Tapi mungkin karena tema yang
dibahas sudah tidak up to date lagi.
Mungkin
pula redaksi sedang menguji kegigihan kita untuk terus menulis. Apalagi kalau
kita tergolong penulis baru.
Selama ini, honor yang Anda peroleh dari
menulis: terendah hingga tertinggi berapa?
Terkait honor tulisan, jumlahnya bervariasi.
Tergantung medianya. Saya pernah menerima honor menulis mulai Rp 50 ribu untuk
satu tulisan.
Terkadang saya juga membantu menuliskan artikel di beberapa media
dengan bayaran 2M (Makasih Mas) alias tanpa dibayar.
Bagi saya, sudah bisa membantu orang dengan tulisan
kita saja, itu sudah merupakan kepuasan tersendiri. Honor bisa menjadi cukup
lumayan saat saya menulis buku biografi.
Apa yang biasanya Anda lakukan sebelum
menulis?
Sebelum menulis, pasti saya mengumpulkan bahan
tulisan. Misalnya ingin menulis artikel tentang ekonomi syariah.
Maka saya akan
membaca minimal 10 artikel yang membahas tentang itu. Kalau saya standarnya 10 artikel.
Mungkin penulis
yang lain punya standar beda. Begitu juga kalau saya mau menulis buku. Minimal
saya berusaha membaca 10 buku sejenis.
Saya belajar kebiasaan menulis beberapa ulama
seperti Imam Ahmad bin Hambal. Konon sebelum beliau menulis, Beliau berwudhu
dulu. Ini juga yang berusaha saya amalkan.
Bagi saya menulis itu ibadah dan akan lebih afdal
jika dilakukan dalam keadaan suci. Semoga dengan keadaan suci, pertolongan
Allah lebih mudah datangnya.
Bagaimana sih tipsnya agar kita juga bisa menulis?
Bagaimana sih tipsnya agar kita juga bisa menulis?
Tips menulis itu mudah. Kuncinya hanya 3M: Menulis,
Menulis dan Menulis. Ya, menulis adalah sebuah keterampilan.
Butuh praktik
langsung dan jam terbang yang tinggi. Selain itu wajib banyak membaca.
Menulis itu sebenarnya adalah output pemikiran. Nah
bagaimana bisa menghasilkan output kalau tidak ada input (bahan bacaan).
Kalau
memang serius mau menjadi penulis, usahakan setiap hari ada yang ditulis. Nah istiqamah menulis ini yang sulit. Tapi insya
Allah dengan kemauan keras, bisa dilaksanakan.
Kalau memang sudah serius mau jadi penulis, maka memang
harus ada waktu khusus yang dialokasikan untuk menulis.
Orang yang mau jadi
atlet profesional, harus bersedia meluangkan waktu khusus untuk menulis.
Kalau kita sudah punya komitmen, insya Allah pasti
ada jalan. Bisa tetap menulis tanpa mengurangi waktu bersama keluarga atau
aktivitas lainnya.
Malam, siang, subuh atau pagi yang menurut
Anda adalah waktu yang sangat baik menulis?
Saya senang menulis sebelum dan setelah salat subuh.
Bagi saya inilah the golden time.
Pikiran masih segar.
Suasananya pun hening dan mendukung konsentrasi. Pada
waktu itu juga anak masih tidur. Jadi nyaris tidak ada gangguan.
Kadang juga saya tidak menyediakan waktu khusus,
tapi target harian. Misalnya saya target hari ini harus menyelesaikan 10
halaman.
Maka saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai target itu.
Di rumah, kafe, taman, perpustakaan atau
di mana yang menjadi tempat favorit Anda menulis?
Sering di rumah menulis. Tapi saya juga biasa menulis
di kampus. Juga di warung kopi dan beberapa tempat lainnya.
Apalagi teknologi
sekarang sudah maju. Di mana pun kita bisa menulis. Sekarang masalahnya
tinggal: mau atau tidak.
Apa saja keuntungan finansial dan
nonfinansial dari menulis?
Keuntungan financial dari menulis jelas adalah honor
untuk tulisan kita. Tapi keuntungan nonfinansial yang banyak sepertinya.
Keuntungan
terbesar adalah kita bisa menjadi penyebar ilmu yang bermanfaat. Semoga bisa
menjadi amal jariyah.
Tidak terputus amalnya, meskipun penulisnya sudah
berkalang tanah. Adapun keuntungan non finansial lain seperti menjadi lebih
dikenal dan sebagainya, saya rasa itu hanya bonus saja.
Hingga saat ini sudah berapa buku karya Anda?
Baru lima buku:
1. Dari Perang
Badar Kita Belajar
2. Muslim
Demolisher
3. Kembalinya
Laskar Perang Uhud
4. Biarkan Jemari
Menari "Kiat Menjadi Mujahid Pena"
5. Istana cinta
Dari kelima buku tersebut, mana buku yang
paling cepat Anda buat dan mana paling lama Anda buat? Mana pula buku yang Anda
anggap paling monumental? Alasannya?
Sebenarnya semua buku itu punya kesan masing-masing.
Tapi yang paling berkesan adalah buku kelima saya, Istana Cinta. Karena buku ini menjadi mahar pernikahan saya.
Memberikan buku sebagai mahar mungkin sudah biasa.
Tapi memberikan buku yang ditulis sendiri sebagai mahar, mungkin belum banyak
yang melakukan itu.
Spesialnya buku Istana
Cinta dalam satu hari langsung ‘laku’ 500 eksemplar. Karena dibagi gratis
sebagai souvenir pernikahan, hehe…
Buku Istana Cinta
ini juga sekaligus buku yang paling cepat saya buat. Maklum. Saat itu dikejar
target harus jadi sebulan sebelum menikah. Termasuk proses layout dan cetaknya serba kilat.
Kelima buku karya Anda tersebut
diterbitkan penerbit lain atau diterbitkan sendiri?
Semua buku saya belum ada yang diterbitkan oleh
penerbit mayor sekelas Gramedia.
Semua buku saya terbitkan ada yang menggunakan
dana sendiri ada juga yang berasal dari investasi orang lain.
Menurut saya cara ini lebih ‘asyik’ daripada cara
konvensional dengan memberikan naskah kepada penerbit kemudian kita hanya
mendapat royalti yang jumlahnya kecil sekali.
Kalau kita yang menerbitkan
sendiri, menjualnya sendiri, maka keuntungan yang didapat bisa berkali-kali lipat
dibanding menggunakan sistem royalti.
Berapa sih biaya menerbitkan buku?
Kalau untuk biaya penerbitan, sangat tergantung
dengan ukuran buku dan berapa jumlah yang ingin dicetak.
Untuk sekarang butuh
sekitar Rp 25 jutaan untuk bisa menerbitkan 1.000 eksemplar buku.
Tapi kembali lagi, hitungan tersebut sangat relatif.
Banyak indikator yang bisa mempengaruhi harga buku.
Sebulan biasa beli berapa buku?
Intensitas membaca saya sebenarnya sama dengan
kebanyakan yang suka suka baca. Namun saya ada target tertentu untuk beli buku.
Saya tidak berlanggan koran maupun majalah. Tapi
saya rutin membaca koran elektronik (epaper).
Beberapa surat kabar telah
melakukan inovasi dengan memanjakan pembacanya dengan e-paper. Jadi saya menikmatinya
via online saja.
Saran Anda untuk penulis pemula?
Pertama, yakinkan pada diri kita bahwa menulis
adalah jalan hidup.
Lewat menulis kita bisa menyalurkan ide, termasuk
menjadikannya jalan rejeki. Jangan hanya setengah hati kalau mau jadi penulis.
Kedua, jangan pernah berhenti menulis. Teruslah
menulis. Targetkan dalam sehari mungkin 15 menit waktu kita khususkan untuk berlatih
menulis.
Menulis itu adalah keterampilan. Tidak perlu banyak teori.
Intinya praktik dan perbanyak jam terbang. Sama saja
dengan belajar berenang.
Meskipun sudah banyak teori, tapi tidak pernah terjun
langsung ke air, semuanya akan sia-sia.
Semoga saja
dimuat dan bisa dipublikasi kepada orang banyak. Kalau ditolak, coba lagi dan
coba lagi.
Buat dewan redaksi ‘lelah’ menerima tulisan kita dan
mengakui kegigihan kita. Hingga pada akhirnya nanti tidak ada alasan untuk
tidak memuat tulisan kita.
Terakhir selalu tumbuhkan harapan. Menulis itu
perjuangan. Butuh harapan sebagai energinya.
Ibarat kita punya mobil mewah
dengan mesin tercanggih. Tapi kalau tidak memiliki bensin, sama saja. Tidak
bisa jalan. Nah bensin itu seperti harapan. Jangan pernah putus harapan.
Apa saran Anda agar gairah menulis
masyarakat Sulawesi Selatan meningkat?
Sebenarnya Sulawesi
Selatan (Sulsel) punya potensi yang luar biasa. Sulsel punya dua hal penting
dalam pengembangan dunia kepenulisan.
Pertama Sulsel punya setumpuk penulis
hebat. Beberapa di antaranya sudah bisa berbicara di kancah nasional.
Kedua, Sulsel punya bahan tulisan yang sangat
menarik. Terutama kearifan lokalnya. Saya kira para penulis akan kebanjiran ide
jika ingin membahas budaya Sulsel.
Nah sekarang yang sangat diperlukan oleh penulis
adalah dukungan pemerintah. Bukan malah ‘memalaki’ penulis dengan pajak yang
begitu tinggi.
Kalau pemerintah pusat kurang memiliki terobosan
untuk para penulis, mungkin pemerintah Sulsel atau Pemerintah Kota Makassar
atau pemerintah kota/kabupaten lainnya di Sulsel bisa memulai untuk ‘mengurusi’
penulis.
Penulis ada para pembangun peradaban. Mereka butuh
pembinaan. Apakah ada pembinaan khusus untuk penulis yang diinisiasi
pemerintah?
Program pembinaan yang berkelanjutan. Bukan pembinaan yang sekadar
seremoni dalam rangka penghabisan anggaran belaka.
Saya perhatikan sangat jarang pembinaan seperti itu
kalau tidak dikatakan tidak ada. Nah untuk skala Sulsel, pemprov mungkin bisa
menjadi inisiator di Indonesia.
Data Diri
Adi Wijaya
Lahir: Wamena, 16 Juni 1987
Pendidikan:
- SDN Wamena
- SMPN 2 Wamena
- SMAN 3 Jayapura
- S1 Teknik Geologi Fakultas Teknik Unhas (angkatan
2005)
- S2 Ilmu Komunikasi Unhas (angkatan 2017)
Pekerjaan : Penulis dan editor freelance
Organisasi :
- Ketua LK - Uswah
- Koordinator Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus
(BKLDK) Daerah Makassar
- Forum Lingkar Pena (FLP) Makassar
- Ketua Lembaga Writerpreneur Indonesia (LWI)
- Anggota Asosiasi Penulis Profesional Indonesia
(Penpro)
Keluarga:
- Ayah: Ahmad Lea
- Ibu: Hasnah
- Istri: Widya Febrianti Rosani
- Anak: Abqary Fikrul Mustanir
Komentar
Posting Komentar