Dalasari Pera: Sakit? Menulislah!



IA lahir  di Belawa, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan pada 28 Desember 1980. Nama di akta kelahirannya, Dalasari. Tapi jika kita membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media massa, ia menggunakan nama Dalasari Pera. Nama tambahan diambil dari nama ayahnya.

Saat ini berprofesi sebagai guru di kampung kelahirannya. Wanita yang menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Universitas Negeri Makassar ini juga aktif sebagai pengurus Pengurus Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Belawa. Di tengah kesibukannya itu, founder Komunitas Menulis Lego-lego Makassar ini juga aktif berkarya sebagai penulis.

Esai, puisi dan cerpennya telah banyak dipublikasikan di berbagai media mainstream di Indonesia. Salah satu puisi karyanya, Malam Sebelum Ijab terpilih sebagai Juara II pada Lomba Tulis Nusantara 2013 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.

Alhamdulillah, walau sibuk, wanita yang fasih pula berbahasa Inggris ini bersedia saya wawancarai untuk berbagi tips menulis dan proses ia berkarya. Wawancara kami lakukan via whatsApp, akhir Desember 2017.

Sejak kapan mulai menyenangi dunia tulis menulis?

Sejak duduk di Aliyah, kelas 3. Awal tahun 2000 sudah mulai aktif menulis. Namun, masih sebatas menulis ala-ala remaja kala itu. Sekadar mencoret di buku dan tidak memiliki pembaca selain diri sendiri. Hehe…

Apa yang melandasi atau memotivasi Anda menulis saat itu?

Pertama, saya menemukan kegembiraan lain dalam “berdialog” dengan benda mati. Berdialog dengan teman atau siapa pun menumbuhkan banyak kecemasan (semacam negative thinking). Menulis berarti berdialog.

Kedua, tidak semua hal bisa diungkapkan secara lisan, maka saya memilih tulisan sebagai media lain untuk hal-hal yang harus saya jelaskan pada orang lain. Ketika itu saya mulai jatuh hati pada puisi. Sahabat pena saya seringkali “terpaksa” menjadi pembaca pertama puisi saya.

Adakah buku atau tulisan yang bisa dianggap menginspirasi Anda menulis?

Saat masih duduk di bangku SMP, saya tinggal di rumah paman saya. Di rumah itu ada banyak majalah kiriman dari Makassar. Ada Majalah Bobo, Femina, Gadis, Hai, Kartini, dan lainnya.

Nama S Gegge Mappangewa adalah penulis pertama yang mengusik rasa penasaran saya. Cerpen remajanya mampu membangkitkan imaji saya untuk melakukan hal yang sama. Saya tidak mengenalnya sebagai siapa pun ketika itu.

Yang saya tahu adalah namanya tertera hampir di setiap edisi dan meyakini bahwa dia pasti orang Bugis. Hebat sekali, pikir saya ketika itu. Nah dari situlah saya terinspirasi untuk menulis.

Siapa penulis idola Anda?

Saya memang banyak menulis puisi. Tapi saya sangat mencintai Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang akrab disebut Pram ini sudah cukup menjelaskan bahwa menulis adalah senjata. Di mana pun. Kapan pun. Untuk apa pun.

Siapa orang yang dianggap berjasa membantu Anda menjadi penulis?

Seorang sahabat yang jauh, sukses mengajari saya mencintai puisi. Ia sering mengirimkan puisi berbahasa Arab. 


Kami mufakat untuk membuat sekumpulan puisi berbahasa Arab dan berbahasa Inggris. Tapi kemudian ia berhenti di tengah jalan. Tidak lagi menulis puisi.

Sedangkan saya masih terus berjalan, hingga bertemu dengan dengan seorang sastrawan di Makassar, Kanda Basri Abbas. Beliau lebih banyak “’enulis diam-diam’ tinimbang ‘riuh’. Dari beliaulah saya belajar kesederhanaan menjadi penulis dan belajar membangun semangat sendiri.

Karena, banyak orang yang sering mengaku penulis, namun berhenti di tengah jalan ketika sudah berhasil menerbitkan satu buku tanpa memedulikan soal proses dan kualitas.

Kapan tulisan Anda pertama kali terbit di media massa?

23 Januari 2011. Terbit di Harian Fajar. Tulisan saya berbentuk puisi. Saya susah melupakan momen ini. Karena sebelumnya, pada 2010, saya sempat lima kali mengirim tulisan. Semua ditolak.

Bagaimana ceritanya?

Duh, ini momen paling menyedihkan. Tahun 2010, kampung saya belum tersentuh internet mudah dan murah. Saya harus menggunakan modem pada waktu-waktu tertentu. Satu-satunya provider yang bernapas kuat dan panjang ketika itu adalah Telkomsel. Ini adalah kendala terbesar untuk mengirim tulisan ke media.

Pada saat itu, saya memulainya dengan mengirim puisi ke Harian Fajar. Lima kali mengirim, semua ditolak! Nyaris berhenti jika saja saya kehabisan rasa cemburu pada kawan-kawan yang lebih dahulu lolos.

Alhamdulillah, momen membahagiakan itu akhirnya datang. Puisi saya akhirnya terbit di Harian Fajar edisi 23 Januari 2011.

Bagaimana perasaan saat kali pertama karya Anda terbit di Fajar?

Feeling amazing (songong ah). Sebagai penulis pemula, saya tentu saja merasakan penyakit yang sama; euphoria berlebihan. 


Segera memostingnya di media sosial (FB) dan lahap menikmati pujian. Semacam sebuah moment menghikmati legalitas kepenyairan. Hehehe…

Apa reaksi teman, keluarga atau kenalan saat tahu puisi Anda muncul di koran?

Hanya satu yang berkesan ketika ibu saya memberi respon. Beliau bilang sama Bapak, “Namamu yang ikut terkenal di koran. Namaku tidak ada yang tahu.”

Selain di Fajar, tulisan-tulisan Anda pernah terbit di media mana saja?

Di antaranya di Media Indonesia,  Jurnal Nasional (Jurnas), Suara Karya, Radar Surabaya, Riau Pos, Harian Fajar Makassar, Harian Tribun Timur, Suara NTB dan Harian Rakyat Sultra. Ada juga yang terbit di Harian Ajattappareng, Bali Post, Majalah Sagang, Majalah Sabana, Jurnal Santarang, Jurnal Tanggomo, Buletin Suluh, dan Majalah Dunia Pendidikan.

Selain puisi, jenis tulisan apa saja yang pernah dimuat di koran?

Esai, cerpen, apresiasi puisi dan cerpen serta review buku.

Total tulisan yang pernah dimuat?

Sekira 200an judul. Tapi lebih banyak puisi.

Bagaimana triknya agar tulisan Anda tembus media massa?

Pertama, harus tahu ‘latar’ medianya. Senangnya tulisan yang seperti apa dan syaratnya seperti apa. Kedua, menyesuaikan tema pada saat itu. Mengikuti perkembangan berita dan isu terhangat akan sangat membantu proses mencairkan ide.

Ketiga, memperkuat data yang dibutuhkan untuk tulisan-tulisan kita. Kalau untuk puisi, satu saja, perbanyak stok. Artinya, rajinlah menulis. Jangan menulis di waktu luang. Tapi luangkanlah waktu untuk menulis.

Bisa disebut honor dari tulisan-tulisan Anda yang dimuat di media?

Honornya lumayan. Tapi soal honor, bukan tujuan saya mengirim tulisan ke media. Tapi honor tulisan paling mendebarkan dan membahagiakan adalah honor puisi dan cerpen di Harian FAJAR yang terkumpul hingga beberapa pemuatan.

Saya dan teman-teman terbiasa mengumpulkannya hingga beberapa bulan. Karena saat itu masih harus mengambil sendiri honor. Di koran lain, semuanya menggunakan sistem transfer.

Butuh berapa hari bisa jadi 1 tulisan/artikel populer untuk media massa?

Satu artikel popular akan menguras waktu 2 hari untuk membacanya berulang-ulang dan menyesuaikan datanya. Saya sering kewalahan dalam mengumpulkan data terbaru.

Adakah rencana menerbitkan buku dari kumpulan tulisan Anda yang tersebar di berbagai media?

Ini pertanyaan paling sulit. Sama sulitnya dengan pertanyaan “kapan nikah?” Saya berencana. Tapi masih sebatas rencana. Kawan-kawan yang baik alangkah sering menanyakannnya, secara terang-terangan maupun dengan senggolan-senggolan. Saya memang tidak seserius itu memikirkan buku sendiri.

Apa tips menulis menurut Anda?

Menulis sering dibahasakan oleh pakar seminar sebagai sebuah pekerjaan mudah. Tapi bagi saya, ini pekerjaan yang sulit jika syaratnya tidak terpenuhi, yakni membaca. Perbanyak membaca dan mulailah menulis. Jangan pernah berencana menulis.

Siapa pun tidak bisa bahagia dengan berencana menulis. Ia hanya akan bahagia jika mampu memulai untuk menulis dan mengakhirinya. Biasakan menulis apapun jika tidak ingin macet di tengah jalan.

Bagaimana cara Anda menemukan ide tulisan?

Peka. Peka membaca dan mendengar. Banyak yang berpikir bahwa menemukan ide itu sangatlah sulit, sehingga proses kreatif menulisnya menjadi terhambat. Padahal, ide ada di mana-mana. Hanya dibutuhkan kepekaan untuk bisa merasakan dan menangkap ide bertebaran tersebut.

Kepekaan itu butuh diasah dengan membaca. Agar tidak kehilangan ide, biasakan menuliskannya di catatan. Tidak punya catatan berupa kertas? Zaman sudah modern, manfaatkan aplikasi notes yang ada di ponsel cerdas untuk menulis.

Untuk puisi dan cerpen, idenya lebih banyak dari persoalan di sekitar saya. Utamanya lokalitas. Saya mengangkat dari lingkungan sendiri.

Untuk opini, saya cenderung tematik. Jauh hari bisa menyiapkan outlinenya. Namun, kadang pula saya memetik idenya dengan membaca media untuk mengikuti "hot news".

Apa yang biasa Anda lakukan sebelum menulis

Tidak ada ritual penting selain menyiapkan referensi pendukung dan melakukan riset "kecil-kecilan" tentang tema dan data. Menyiapkan outline tulisan.

Bagaimana cara Anda mengatur waktu menulis dan bekerja serta urusan organisasi?


Sebenarnya, ketiganya tidak saling mengganggu jika saya mampu melakukan prioritas. sedapat mungkin dalam sepekan itu saya menulis sesuatu. Minimal membuat outline-outline untuk tema tertentu sebagai langkah awal.

Adakah waktu yang menurut Anda sangat baik untuk menulis?


Saya lebih menyukai menulis pada malam hari. Terbebas dari hiruk pikuk pekerjaan dan lingkungan sekitar.

Adakah tempat favorit Anda jika ingin menulis?

Kamar sendiri. Tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dan lebih nyaman selain di kamar. Makanya,  saya menyediakan sejumlah buku di kamar.

Apa keuntungan finansial dan nonfinansial yang Anda rasakan sebagai penulis?


Secara financial adalah hal menggembirakan saat menerima transferan honor. Hehe… Itu berarti bisa membeli buku di luar target. Nonfinansialnya, menulis itu obat. So simple.

Bagaimana cara Anda memelihara gairah menulis?


Saya selalu mengingat petuah dari penyair Toni Lesmana, jika lelah menulis maka membaca saja. Membaca berarti memberi asupan gizi untuk ide-ide bertebaran. Dengan demikian, kau tidak akan pernah kehilangan kekuatan untuk menulis.

Apa saran Anda untuk penulis pemula?

Saya pun pemula. Yang dibutuhkan adalah banyak membaca dan tidak menganut hanya satu ‘mazhab’. Kita butuh membandingkan banyak tulisan sebagai bahan belajar.

Yang lebih utama lagi adalah memahami pentingnya kritik sastra bagi yang fokus menulis sastra. Tanpa membaca kritik sastra, kaki kita tidak bisa melangkah lebih jauh.

Apa saran Anda agar gairah menulis masyarakat Sulawesi Selatan meningkat?


Umumnya, masyarakat digerogoti penyakit malas membaca. Pelajar dituntut untuk melakukan gerakan literasi di sekolah-sekolah, tetapi gurunya sendiri masih banyak yang buta literasi. Sekadar menggugurkan kewajiban.

Pemerintah menggembor-gemborkan budaya membaca, namun tidak menyediakan bacaan memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Semuanya butuh evaluasi dan pembenahan.

Saya kagum dengan gerakan mendongeng yang intens dilakukan oleh Perpustakaan Kota Makassar. Sebab menurut saya, dongeng bisa membangkitkan gairah membaca anak-anak.

Smart Quotes 
Sakit? Menulislah! (*)


== = = = =

Data Diri
Nama: Dalasari
Lahir: Belawa, 28 Desember 1980
Pekerjaan: Guru 


Riwayat pendidikan:

- SD Negeri 65 Leppangeng 1994
- SMP Muhammadiyah Belawa 1997
- MAN Wajo 2000
- S1 Pendidikan Bahasa Inggris UNM 2004
- S2 Pendidikan Bahasa Inggris UNM 2008
 

Nama Orangtua: - Ayah: Pera
- Ibu: Sahiwa

Riwayat Organisasi:
- Pengurus Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Belawa
- Founder Komunitas Menulis Lego-lego Makassar

Daftar karya yang pernah dipublikasikan: 

- Imazonation-Phantasy Poetica (2010)
- Novelet Lafaz Cinta Di Ambang Senja (2011)
- Kaki Waktu (2011)
- Sepuluh Kelok di Mouseland (2011)
- Munajat Sesayat Doa (Pemenang FTD Riau, 2011)
- Kumpulan Fiksi 140 (2012)
- Puisi Dwi Bahasa Poetry Diverse (2012)
- Perempuan Penyair Indonesia Terkini; Kartini 2012
- Sauk Seloko (2012)
- Dari Negeri Poci 4; Negeri Abal-Abal (2013)
- Negeri Langit (2014)
- Buku Puisi Riau Pos Pelabuhan Merah (2015)
- Cimanu; Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi (2016)
- Kata-kata yang Tak Menua (2017).

Komentar