Lahirkan Banyak Buku, Ini Rahasia Fajlurrahman Jurdi

Fajlurrahman Jurdi SH MH

sumber foto FB Fajlurrahman Jurdi

SAYA mengenalnya sejak ia masih menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Selatan periode 2008-2009.

Kala itu, ia sudah rutin mengirimkan tulisan opini ke Tribun Timur. Ia juga rutin menginfokan sekaligus memberi ke saya buku karya terbarunya. Enak kan, hehe…

Menurut saya, masih berstatus mahasiswa S1 tapi sudah menerbitkan buku karya sendiri adalah hal yang layak dibanggakan. 

Setahu saya, mahasiswa S1  di Kota Makassar yang menerbitkan buku karyanya belum banyak. 

Itulah sosok Fajlurrahman Jurdi SH MH yang kini mengabdi sebagai dosen di almamaternya. Saat ini juga dipercaya sebagai peneliti di Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin.

Ia juga kerap diundang sebagai fasilitator dalam berbagai training dan sebagai pembicara seminar, lokal maupun nasional

Walau tergolong padat kegiatan, hebatnya ia masih produktif menulis artikel populer yang diterbitkan di sejumlah media massa. 

Di antaranya Tribun Timur, Fajar dan majalah Suara Muhammadiyah. Termasuk juga masih aktif menulis buku dan editor buku.

Karena itulah saya menganggap motivasi dan tipsnya menjadi penulis produktif perlu diketahui banyak orang. 

Saya berterima kasih karena penulis buku Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004) ini bersedia berbagi ‘rahasianya’.

Berikut ini ‘rahasia’ menulis Fajlurrahman yang disampaikan saat bincang-bincang dengan dirinya, November 2017:

Sejak kapan mulai menyenangi dunia tulis menulis?
Sejak kelas 2 di SMU 1 Belo, Kabupaten Bima. Saat itu saya suka menulis puisi atau otokritik di majalah dinding (madding) sekolah.

Siapa yang dorong Anda suka menulis kala itu?
Tak ada ada yang dorong sebenarnya. Cuma saya suka membaca apa saja sejak SMP. 

Mungkin karena kebiasaan membaca itu, lalu muncul kesukaan menulis saat di SMU. Puisi yang ditulis saat itu masih belum terlalu baik karena hanya eskpresi reflektif orang kampung.

Hanya hobi yang tanpa sebab yang terlalu jelas. Pokoknya saya suka nyoret. Mungkin karena masa puber yang sedang mencari jati diri dan bentuk eskpresinya lewat puisi di madding, hehe….

Waktu SMU, adakah penyair yang Anda?
Saya sebenarnya gak pernah suka penyair. Saya justru suka dengan para pemikir ilmu sosial seperti Max Weber, Josep Schumpeter, dll

Kalau menulis untuk media massa sejak kapan?
Sejak semester satu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kalau ini sumber inspiringnya Kak Syarifuddin Jurdi. Dia kakak saya. Waktu itu dia mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jogyakarta. 

Waktu itu, saya bisa menghabiskan waktu membaca berjam-jam sehari.  Setiap habis bacaan, saya nyoret-nyoret di kertas kuarto. Saya sempat punya buku harian, tapi saya buang.

Apa pesan Syarifuddin Jurdi ke Anda ketika itu?
Beliau pesannya sederhana saja. Katanya , kita tak punya siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Karena itu jangan berpikir sesuatu bisa diperoleh dengan gampang. 

Semuanya harus melalui perjuangan dan pertarungannya besar.

Jika ingin menjadi ‘orang besar’ suatu ketika, menderitalah dari sekarang dan fokuslah menulis. Karena hanya dengan cara itu kehormatan bisa terjaga dan kebaikan terus bisa diperjuangkan.


Sumber foto FB Fajlurrahman

Media yang pertama memuat tulisan atau artikel Anda?
Pertama kali di Identitas, koran kampus Unhas yang sekali dalam dua pekan. U

sai Identitas, saya kemudian memberanikan mengirim tulisan ke media mainstream yang ada di Kota Makassar yakni Fajar dan Tribun Timur.

Waktu itu saya bisa menulis dua atau tiga artikel setiap hari. Alhamdulillah, di antara tulisan yang saya kirim ada yang nyangkut alias dimuat di koran. Waktu itu saya sudah semester dua, tahun 2004 lalu.

Tapi ada juga yang tidak dimuat. Timbul kesadaran saya ketika itu bahwa menulis tidak perlu harus dimuat di media. Tapi menulis saja. Apapun nanti hasilnya, apakah dimuat atau tidak, itu hanya berupa bonus.

Bagaimana rasanya kali pertama tulisan Anda muncul di surat kabar harian?
Dehh, jangan maki bilang bahagianya, Kak. Saya paling bahagia ketika pertama kali dimuat di Fajar.

Kemudian saya mulai punya harapan ketika Tribun Timur juga menerbitkan tulisan saya yang lain beberapa bulan kemudian.

Karena dengan dimulainya di dua media ini, saya berpikir bahwa mungkin saya mulai menjadi penulis.

Selanjutnya saya makin rajin menulis untuk media. Termasuk di media lain seperti Bima Post, Radar Bone, Suara Mandiri, Suara Muhammadiyah.

Bagaimana apresiasi teman dan dosen waktu tahu artikel Anda muncul di koran?
Semua mengapresiasi dengan baik. Tentu disertai berbagai masukan yang sangat membangun.

Kapan terbitkan buku kali pertama?
Hampir bersamaan saat awal-awal tulisan saya mulai muncul di surat kabar lokal di Makassar atay tahun 2004 lalu. 

Tapi ketika itu saya masih menerbitkan buku secara Indie. Jumlah yang dicetak pun masih terbatas. Judul buku pertama saya, Membalut Luka Demokrasi dan Islam.

Hingga hari ini, sudah berapa judul buku karya Anda?
Alhamdulilllah hingga sekarang sudah 15 judul buku. Di antaranya Delegitimasi Terhadap Komisi Yudisial, Sporadisme Oposisi di Indonesia: Sebuah Pengkhianatan Intelektual, Transendensi Politik Muhammadiyah: Moralitas untuk Pencerahan Peradaban (Juthapek, Yogyakarta: 2007).

Buku lainnya berjudul Oposisi Kelas Menengah Melawan Negara: Kesadaran Kaum Intelektual, Civil SocietyMembalut Luka Demokrasi dan Islam (2004), dan beberapa lainnya.

Bagaimana tipsnya Anda mudah menulis artikel?
Menurut saya, salah satu prinsip yang harus dipegang oleh penulis adalah banyak membaca. 

Saya menghabiskan waktu rata-rata lebih 4 jam perhari untuk membaca. Sekarang saya membagi waktu 10 jam itu untuk membaca dan menulis.

Jadi, saya biasa selang seling membagi antara kedua hal tersebut. Jika menulis buku, saya memulai dengan menentukan tema.

Kemudian menyusun daftar isi dan mengumpulkan bahan berdasarkan sub bahasan.

Jika menulis artikel, saya hanya melihat kasus dan membedahnya dengan teori. 

Saya bisa menyelesaikan artikel hanya dua jam paling lama untuk dimuat di media. Atau saya menulis 3 atau 4 puisi jika lagi mood datang.

Adakah waktu menulis yang Anda anggap tepat menulis: pagi, siang, malam atau subuh?
Semua waktu saya anggap enak untuk menulis. Mungkin karena menulis bagi saya telah berubah menjadi hobi atau mungkin kebutuhan.

Biasanya menulis di mana?
Ada tiga tempat favorit saya menulis sekarang: rumah, kafe dan Perpustakaan Fakultas Hukum Unhas. 

Saya suka menulis di perpustakaan saat siang hari. Di kafe pada malam hari.  Lalu lanjut di rumah jika ada yang harus segera diselesaikan.

Di antara tiga tempat ini, saya paling enak menulis di perpustakaan. Di mana saja, ide itu bisa mengalir. Intinya adalah lebih dulu rajin membaca.

Saat menulis artikel, biasanya suka sambil mendengar musik atau tidak?
Dulu saya suka menulis dalam situasi hening. Belakangan ini, harus ramai baru bisa cepat-ka menulis.

Menulis untuk 1 artikel bisa menghabiskan berapa gelas kopi?
Tak sampai satu gelas kopi kalau menulis satu artikel. Kadang satu gelas kopi bisa dua artikel selesai. Satu artikel, rata-rata dua halaman kwarto.

Biasanya dalam sebulan, beli berapa buku?
Tergantung kantong sih. Kadang saya beli buku hingga lebih Rp 1 jutaan. Kadang-kadang juga hanya novel saja dibeli untuk dibaca.

Kenapa novel?
Karena dengan membaca novel, bisa memperhalus bahasa tulisan kita. Karena itu, saya menganggap harus membaca novel.

Siapa novelis yang Anda suka karyanya?
Tidak ada satu novelis khusus. Saya hanya suka novel-novel politik, gerakan sosial atau perang seperti Geroge Orwell, 1984, dll

Kalau penulis lain yang Anda suka?
Saya sebenarnya suka baca buku-buku filsafat. Dulu pada awal-awal saya suka bukunya Samuel Huntington, Michel Foucault, Francois Fukuyama.

Kalau penulis Indonesia yang sering saya baca karyanya di antaranya ada Yasraf Amir Piliang, Yudi Latif, Dhaniel Dhakidae.


sumber foto FB Fajlurrahman Jurdi

Mana kini lebih produktif menulis, saat mahasiswa atau saat sudah sarjana atau saat jadi dosen?
Saat jadi sarjana hanya dua buku karya saya. Tapi paling progress setelah menjadi dosen. Hanya dalam waktu dua tahun lebih saya menulis sekitar tujuh buku.

Bagaimana Anda waktu antara membaca, menulis, mengajar, urus keluarga, dll?
Saya juga kurang tahu juga. Karena mengalir saja sebenarnya.

Mungkin karena komitmen pribadi saya untuk menulis besar, jadi saya selalu sisihkan waktu harus menulis setiap hari meskipun hanya artikel.

Apa saja keuntungan finansial dan nonfinansial yang Anda peroleh dari kemampuan menulis buku?
Kalau keuntungan finansial tak seberapa, jika dibandingkan dengan biaya buku yang dibeli dan tenaga yang digunakan. 

Yang nonfinansialnya adalah keuntungan membangun jaringan, semacam social capital. 

Bagi saya yang utama adalah gagasan-gagasan kita terdokumentasi dan syukur jika karya kita bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Apa tips atau rahasia bisa memelihara gairah menulis Anda?
Banyak org yang bilang bahwa menulis itu kadang butuh mood. Saya menjalaninya dengan hobi sehingga sebenarnya tidak ada tips khusus. 

Sama dengan kalau ada orang yang hobi naik gunung, tak perlu tips. Yang penting membaca, mau menulis.

Bagi yang berat memulai, mungkin pikiran pragmatis seperti janji "popularitas", "janji hidup abadi", dan bahkan "janji kaya raya" suatu ketika bisa ia tanamkan.

Kalau saat ini, saya tidak berpikir untuk hal-hal  itu. Karena terbit atau tidak terbit, dimuat atau tidak dimuat oleh media, saya tetap menulis.

 Apa pesan Anda kepada mereka yang ingin belajar menulis atau buat buku karya sendiri?
Bagi mereka yang mau menulis, mulailah menulis. Menulis bukanlah cita yang diucapkan, tapi tindakan yang harus dimulai. 

Menulis bukan refleksi, tetapi aksi. Berbeda dengan membaca. Karena membaca adalah refleksi. 

Sedangkan menuliskan hasil refleksi adalah tindakan. Karena itu, ambillah tindakan dengan cara menuliskan hasil bacaan.

Banyak orang yang mau menjadi penulis, tapi tak pernah mulai menulis. Padahal menulis bukan "mau menulis", tapi "mulai menulis".

Apa saran Anda kepada pemerintah atau para pihak agar budaya menulis tumbuh subur di Sulsel?
Mungkin perlu perhatian khusus. Semisal member penghargaan dari negara atau pemerintah terhadap penulis.

Seandainya satu buku dihargai layak, mungkin banyak orang yang mau menulis.

Royalti saya sebagai penulis, hanya 10% dari penerbit. Karena terlalu besarnya pajak yang dipotong oleh negara kepada penerbit. Belum lagi potongan lain di distributor, dll.

Penerbit dapatnya kecil, sehingga mereka member royalty juga kecil ke penulis. 

Saya termasuk penulis yang sudah agak lama, bagaimana dengan penulis pemula? Mereka harus mencari uang untuk biaya sendiri bukunya supaya terbit.

Setelah itu senyap tanpa penghargaan. Saya pernah merasakan penderitaan itu pada awal-awal menerbitkan buku. (*)

Komentar