Ketika Jurnalis Banjir Rilis Pilkada



SETIAP ada hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada), jurnalis yang bertugas di daerah tersebut bakal menerima 'banjir' rilis.

Terlebih pada era now. Pesatnya kemajuan teknologi informasi berbasis internet, orang sangat mudah bertukar pesan hingga mendistribusikan rilis. 

Bisa via email, whatsApp, Facebook dan berbagai aplikasi yang menyediakan beragam fasilitas pengiriman pesan.

Sumber rilis pun beragam. Ada yang langsung dari kontestan, tim sukses, relawan, organisasi masyarakat sipil, panitia penyelenggara pilkada, panitia pengawas dan lain-lain.

Jika di-tracking, maka rilis terbanyak bakal datang dari 'tim media' para kandidat kepala daerah.

Tim media adalah orang-orang yang memiliki keterampilan menulis berita, memotret, membuat video hingga menyusun konten iklan. Sekaligus memiliki jaringan luas ke berbagai media.

Maka biasanya tim media ini dihuni beberapa mantan jurnalis, sarjana komunikasi atau orang-orang yang memahami media.

Mereka dibayar secara profesional untuk membantu pencitraan positif para kandidat di media. Sesekali merilis info untuk 'merusak' citra kandidat lawan.

Lalu bagaimana sebaiknya para jurnalis menghadapi 'banjir" rilis dari tim media kandidat? 



Menurut saya, berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Kode Etik Jurnalistik

Wajib bagi setiap jurnalis memahami kode etik jurnalistik (KEJ) sebelum meliput di lapangan maupun menulis berita dari rilis.

Dengan memahami KEJ, jurnalis tahu apa yang boleh dilakukan dan mana dilarang. Tahu mana rilis yang layak segera dipublikasikan, mana yang masih perlu dikonfirmasi, dan mana harus dibuang di tong sampah.

Dengan memahami dan menaati KEJ, marwah pers akan terjaga. Juga agar media terhindar melakukan tirani, cap pers partisan atau pers yang kebablasan.

Sebagai contoh: Rilis yang berisi tentang kegiatan kandidat A menemui sejumlah tokoh masyarakat di daerah B. Rilis seperti ini bisa segera dipublikasikan. 

Sedangkan rilis yang berisi tentang telah terjadi penganiayaan yang dilakukan pendukung kandidat A terhadap seorang relawan kandidat B, tak bisa langsung dipublikasikan begitu saja. 

Masih perlu dilakukan beberapa tindakan. Di antaranya:

Pertama, cek ulang dengan menghubungi pengirim rilis. Tanyakan apakah benar dan bisa dipertanggungjawabkan info yang tercantum di rilis?

Kedua, tanya apakah pengirim rilis bersedia ditulis namanya sebagai pemberi info tersebut? Jika bersedia, jurnalis punya alasan untuk memublikasikan. 

Ketiga, jika narasumbernya tidak bersedia, jurnalis punya alasan juga tidak memuatnya. 

Jika tetap memublikasikan, jurnalis harus bersedia mengambil alih tanggungjawab manakala info di rilis tersebut ternyata keliru atau hoax.

Keempat, setelah mengecek kepastian info dari pengirim rilis, idealnya dikonfirmasi lagi ke pihak tertuduh. Dibantah atau tidak, sudah bisa jadi bahan pelengkap dari rilis awal.

Kelima, bila ingin lebih sempurna, maka masih diperlukan keterangan warga yang menyaksikan insiden tersebut atau minimal keterangan polisi setempat.

Setelah mendapat info dari berbagai pihak, barulah diberitakan. Isinya gabungan info dari rilis awal dan hasil konfirmasi beberapa pihak.

Cara ini diperlukan untuk memastikan bahwa berita yang dipublikasikan layak dipercaya. Bukan hoax. Juga agar berita yang disajikan ke publik memenuhi azas keberimbangan.

Tergopoh-gopoh memublikasikan rilis tanpa mengkroscek infonya, bisa berujung komplain dari kelompok tertuduh atau yang dirugikan atas pemberitaan tersebut.

Sedangkan jika berita yang dibuat berdasarkan rilis yang diterima ternyata isinya hoax, maka reputasi jurnalis dan medianya bakal memudar atau rusak. Bahkan bisa berujung gugatan.

Maka sekali lagi penting untuk tidak tergopoh-gopoh. Bukankah ketergesa-gesaan itu sangat berisiko?



2. SARA

Hati-hati jika menerima rilis yang isinya menyinggung suku, agama dan ras (SARA). Sebab jika itu dilakukan, bisa menyulut konflik horizontal. 

Ingat, Pasal 8 KEJ menyatakan jurnalis tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. 

Karena itu jika ada rilis isinya mengabarkan bahwa relawan kandidat A dari suku atau yang beragama B diserang pendukung calon C dari suku atau yang beragama D, harus dipikirkan matang-matang sebelum kita mengambil keputusan: memublikasikan atau tidak.

Jika keputusannya ingin dipublikasikan, maka beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Pertama, cek ke beberapa pihak apakah informasi itu benar atau tidak. Jika ternyata hoax, maka tak perlu lagi ada pertimbangan. Rilis semacam itu tempatnya di tong sampah saja.

Kedua, jika info tersebut valid, maka sangat diperlukan pengeditan naskah ekstra hati-hati. Caranya, latarbelakang suku atau agama kedua pihak: penyerang maupun yang diserang, harus dihilangkan. 

Ketiga, Jurnalis juga harus memastikan bahwa berita dari rilis tersebut juga telah mendapat konfirmasi dari para pihak. Termasuk menambahkan keterangan kepolisian. 

Jika tidak ada yang bisa dikonfirmasi terkait rilis bernuansa konflik SARA, maka jurnalis tersebut bisa dibenarkan atau dimaklumi jika tidak memublikasikan. 

3.  Adil Proporsional

Setiap jurnalis mesti adil secara proporsional terhadap setiap kontestan. Minimal adil sejak dalam pikiran. 

Dengan berpikir dan bersikap adil, maka jurnalis tetap berupaya memberi kesempatan kepada semua kontestan mendapat panggung di media kita. 

Tak peduli, apakah kandidat itu beriklan di media kita atau tidak. Kewajiban media memberi akses kepada siapa saja kontestan untuk bisa ada di media kita.

Apakah kontestan tersebut mau memanfaatkan akses ke media atau tidak, terserah bagi kontestan. 

Bagaimana jika ada kandidat yang mendapat tempat atau space lebih banyak atau sering muncul di media kita, dibanding calon lain?

Hal itu sulit dihindari. Tapi keseringan media memublikasikan aktivitas kandidat tertentu, bukan berarti bahwa media mendukung kandidat tersebut. 


Keseringan kandidat A misalnya dipublikasikan di media kita, kadangkala karena beberapa faktor. Di antaranya: 

Pertama, karena kemungkinan kandidat A ada kontrak iklan yang kompensasinya adalah penambahan volume berita di media tersebut terkait calon A. 

Apakah hal ini sah? Dalam industri bisnis media, hal ini sah-sah saja. Sepanjang kontrak atau kerja sama itu tak menegaskan bahwa media tersebut tak boleh memberitakan calon lain. 

Kedua, bisa juga dikarenakan tim media kandidat A misalnya pro aktif menyebarkan rilis ke kalangan jurnalis. Isi rilisnya pun layak dan menarik atau penting diberitakan.

Sedangkan calon lain, sangat jarang mengirim rilis ke media-media. Pun jarang menginfokan ke media terkait rencana kegiatan calon tersebut. Inilah yang saya maksud adil proporsional. 

4. Jujur

Media yang menjadi rujukan publik adalah media yang dapat menjaga trust atau bisa dipercaya. Media yang trust dibangun dari para jurnalis jujur. 

Jurnalis yang jujur akan menulis bahwa berita yang dibuatnya berdasarkan rilis yang diterima dari tim kandidat A. Bukan murni hasil liputannya di lapangan.

Termasuk jika juga menerima kiriman foto yang akan dipublikasikan, wajib disebut atau ditulis sumber foto.

Keuntungan jika kita jujur menyebut sumber rilis dan foto yang dipublikasikan, manakala terdapat kekeliruan atau kesalahan isi, maka kesalahan tak ditimpakan sepenuhnya ke jurnalis atau media tersebut.  

Kita bisa berdalih bahwa isi dan foto yang dipublikasikan itu berdasarkan rilis yang diterima redaksi dari tim kandidat lain. 

5. Ubah judul dan lead

Karena rilis biasanya dikirim tak hanya ke satu media, maka sangat berpotensi berita yang dipublikasikan media A sama persis dengan yang dimuat di media lain. 

Padahal jika sama persis, pembaca biasanya menilai bahwa jurnalis yang memuat berita itu 'malas'. Karena malas mengubah atau mengedit rilis. Asal copypaste, judul dan isi rilis. 

Padahal idealnya, boleh isi rilis sama yang diterima, namun jurnalis yang menerima rilis tersebut tetap perlu minimal mengubah judul dan lead-nya.

Sehingga berita yang dipublikasikan di media kita, tampil beda dengan media lain. Sehingga tak sama persis dengan rilis. (jumadi mappanganro)

Warkop Anggun, Gowa, 31 Januari 2018

Komentar