Kaya, 8 Istri Hingga Terjerat Narkoba, Kini Tobat


USAI mengantar tiga 'jagoanku' ke sekolahnya masing-masing, seperti biasa saya mampir di Warkop Anggun. 

Inilah warkop paling sering saya datangi. Lokasinya berdekatan dengan Taman HIPMI Gowa. 

Warkopnya sangat sederhana. Kopi dan teh susu di sini hanya Rp 5.000 segelas. Aneka kue tradisionalnya rerata hanya Rp 1.000 per biji.

Di sini aneka cerita warga dengan latar belakang pekerjaan yang beragam bisa didengar. Mulai dari pagandeng, driver gojek, polisi, makelar, hingga pensiunan. 

Berharap ada ide liputan dari cerita mereka. Itulah antara lain kenapa saya suka mampir di sini. Saya selalu memilih menjadi pendengar yang 'baik'. Sangat jarang saya ikut berkomentar. 

Pagi itu, Jumat 9 Februari 2018. Gerimis baru saja membasahi Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa. 

Saya memilih meja terdekat dari pintu masuk warkop. Kebetulan masih ada beberapa kursi lowong.

Semeja, sudah ada dua pengunjung lebih duluan asyik ngobrol. Keduanya sudah tua. Melihat raut wajahnya, mungkin usianya sudah lebih 50-an tahun.

Sembari menunggu pesanan kopi, saya membuka-buka pesan di hape. Tapi telingaku menangkap cerita 'seru'. 

Saya kemudian mengalihkan pandangan dari layar hape ke wajah sumber cerita seru itu. Saya memilih serius mendengar kisahnya. 

Dituturkan seorang pengunjung yang semeja dengan saya. Penampilannya sederhana. Berkulit coklat. Berkacamata. 

Mengenakan celana pendek dan baju kaos hitam yang di bagian dadanya tertulis Guinnes. 

Sembari merokok, ia menuturkan sepenggal masa lalunya. Tapi di tulisan ini saya sengaja tak detail memaparkan identitasnya. 

Alasan utamanya, saya tak meminta izin ke dia memublikasikan kisahnya. Juga beberapa pertimbangan lain. 

Katanya, pada tahun 1990-an, ia karyawan bank plat merah. Gelar sarjana diraihnya sembari bekerja di bank tersebut. Beberapa jabatan kepala unit pernah dijabatnya. 

Namun saat usia 31 tahun, ia memilih pensiun dini. Bank tempatnya bekerja memberinya uang pensiun sekira Rp 100 juta. 

Ia tergoda segera ingin menjadi pengusaha menjadi alasannya pensiun dini. Ia terinspirasi dengan seorang pengusaha yang ditemuinya usai salat berjamaah di masjid. 

Katanya, dengan menjadi pengusaha, ia bisa lebih cepat kaya dibanding terus-terusan menjadi karyawan. 

"Kata orang itu, lebih baik menjadi kepala cacing daripada ekor gajah. Kalau kita kepala, kita bisa menentukan arah. Kalau ekor, tidak," tuturnya lalu kembali mengisap rokok. 

Lalu dana pensiun yang diperolehnya itu, sebagian diberikan kepada kedua orangtuanya untuk ongkos menunaikan ibadah haji.

Sebagian lainnya, ia jadikan modal usaha. Lambat laun, usahanya maju. Ia kemudian berani meminjam modal usaha di bank. 

"Kebetulan pernah bekerja di bank, saya tahu cara membuat proposal untuk pinjam dana di bank," katanya dengan mimik serius.

Bank rupanya percaya. Lalu memberinya modal. Dari dana kredit itulah yang mengembangkan usahanya. Ia membuat beberapa perusahaan. 

Ada yang bergerak di usaha kontraktor, tambang hingga angkutan umum. Proyek yang dikerjakannya pun lintas provinsi. 

"Saya pernah punya 8 truk 10 roda. Mobil taksi lebih 100 unit. Karyawan saya ratusan," tuturnya mengenang. 

Bisnisnya pun kian maju. Aset perusahannya bernilai miliaran rupiah. Di puncak jayanya itu, ia bisa meraup untung hingga Rp 20 juta sehari. 

Makin banyak uang yang bisa ia hasilkan, membuat gaya hidupnya berubah. Sempat nikah dan cerai beberapa kali. 

Wanita yang dinikahinya rerata anak pejabat. Ada juga notaris dan pedagang emas.

Dia punya alasan. Dengan menikahi anak 'pejabat', ia bisa memeroleh keuntungan berupa kemudahan memeroleh proyek yang didanai APBD. 

Ia sampai menyebut beberapa anak pejabat dimaksud. Cukup terkenal pejabat yang disebutnya. 

Saat berlimang aset, lelaki tua ini mengaku terjerumus menggunakan narkoba jenis ekstasi. Barangnya langsung dikirim dari Belanda. 

"Waktu itu, ke mana-mana, di mobil saya selalu ada setengah kilogram ekstasi," katanya tanpa ragu. 

Sebagian ekstasi itu, dikonsumsinya. Ia bisa konsumsi lebih lima butir sehari. Sebagian lainnya dibagi-bagikan ke rekannya jika berkunjung ke tempat hiburan malam (THM). 

Ia menyebut beberapa THM terkenal di Kota Makassar yang selalu didatanginya untuk berbagi dan menikmati ekstasi sesama clubbers. 

Ada juga ekstasi yang dijualnya lagi. Ia menyebut dengan lancar beberapa 'merek' ekstasi miliknya.

Walau bertahun-tahun terlibat perdagangan narkoba, 'hebatnya' tak sekalipun ia pernah ditangkap dan dipenjara. 

Ia justru mengakui, beberapa oknum 'aparat negara' ikut membantunya berbisnis narkoba. Mereka mau karena tergiur keuntungan finansial dari bisnis narkoba.

Katanya, regulasi yang melarang penggunaan narkoba pun kala itu belum seketat sekarang. 

Juga belum ada satuan khusus di kepolisian yang tugasnya mencari dan menangkap mereka yang terlibat mengonsumsi atau perdagangan narkoba. BNN mungkin belum dipikirkan pembentukannya ketika itu.

Ketergantungan narkoba membuat sebagian usahanya terganggu. Ia kurang fokus. Hingga suatu ketika, ia jatuh sakit dan lumayan lama terbaring di rumah sakit (RS). 

Ia divonis mengalami gangguan jantung. Ia pun masuk keluar rumah sakit di Kota Makassar sekitar tiga tahun untuk berobat. Selama itu, ia tak bisa lagi mengurus bisnisnya. 

Karena selalu menggunakan fasilitas VIP dan harga obatnya yang mahal, hartanya pun terkuras. 
"Saat itu belum ada BPJS. Jadi semua biaya rumah sakit dan pengobatan tak ada yang gratis," tuturnya santai. 

Perlahan, satu per satu asetnya dijual untuk menutupi biaya pengobatan dan kebutuhan sehari-hari rumah tangganya. Usahanya pun bangkrut. 
Tobat
Sejak sakit dan usahanya 'jatuh' itulah ia tobat. Bukan tobat seperti orang kepedisan, katanya. Ia benar-benar tobat. Tak lagi mengonsumsi apalagi menjual narkoba. 

Ia juga menganggap sakit yang dideritanya kala itu, bukti Allah SWT masih mencintainya. Ia menganggap sakitnya itu adalah teguran dari-Nya. 

Karena sebelum sakit parah, ia seakan lupa Tuhan. Sehingga ia merasa sakitnya kala itu bagian dari cara Tuhan 'mencuci' dosa-dosanya. Sekaligus memberinya kesempatan kembali mengingat-Nya.

Saat kesehatannya mulai membaik, ia mengakui akhirnya kembali banyak belajar tentang ajaran Islam. Ia juga makin rutin membaca Al Quran dan mendatangi majelis zikir.

Kini perlahan ia mulai lagi berbisnis. Tapi ia berkomitmen bisnis yang dijalaninya jauh dari kongkalikong. Ia berupaya tak melanggar ajaran Islam. 

Juga tak menghalanginya beribadah kepada-Nya dan membangun silaturahmi dengan banyak orang. 
Kali ini, saban keluar rumah, ia selalu berniat untuk ibadah. Bukan niat mencari uang. 

Ia tak lagi khawatir lagi soal rezeki. Sebab, katanya, Allah sudah berjanji akan mencukupi rezeki setiap hambanya sebelum meninggal. Tak kurang sedikit pun. 

"Saya sangat yakin itu. Rezeki tak akan lari. Jadi niatkan beribadah setiap keluar rumah. Dengan niat ibadah, maka setiap langkah kita diganjar pahala," pesannya. 

Di ujung cerita, ia juga tak lupa berpesan untuk selalu bersedeqah dan memperbanyak silaturahmi. Baginya, ke warkop adalah cara lain ia merawat silaturahmi.

Mendengar sedikit kisahnya, saya berharap bisa memetik pelajaran berharga darinya. 

Tak soal, siapa yang mengisahkannya. Saya juga tak perlu mengecek apakah kisah yang dituturkannya benar atau tidak. Pun telah ditambahi 'bumbu' atau tidak. 

Sebab tulisan ini tak dimaksudkan untuk penulisan berita yang memerlukan foto, kejelasan identitas narasumber dan mengonfirmasi sebagian pernyataannya. 

Makanya saya hanya menulis sepenggal ceritanya di blog ini. (jumadi mappanganro)

Gowa, 10 Februari 2018

Komentar