Tips Menulis Rusdin Tompo

"Orang tidak diingat karena banyaknya yang dikerjakan. Tapi bisa saja hanya satu dua kata yang kita buat dan itu diingat." (Rusdin Tompo)


SELEPAS menjabat Ketua Komisioner Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, Rusdin kian produktif menulis buku.

Hingga saat ini, puluhan buku telah dihasilkannya. Temanya beragam. Kebanyakan tentang media dan anak. Sebagian lainnya tentang pemikiran dan jejak tokoh.

Di antaranya buku seri Panduan Praktis Menonton Sehat untuk Guru (2007), buku seri Panduan Praktis Menonton Sehat untuk Anak (2007), buku Panorama Penyiaran di Sulawesi Selatan (2010) dan buku kumpulan puisi Tuhan Tak Sedang Iseng (2014).

Buku karya lainnya, Mohammad Hidayat, 730 Hari Mengabdi (2015), buku Woro Susilo, Polisi di Zona Merah (2015), buku Mimpi Seorang Prajurit (2015)  dan buku Menyelamatkan Anak-anak Tanpa Kewarganegaraan (2016).

Gagasan-gagasannya tak hanya bisa dibaca dalam wujud buku, tapi juga dapat dibaca di berbagai surat kabar maupun media online di Kota Makassar.

Jauh sebelum ia menjabat komisioner KPID Sulsel (2007-2010 dan 2010-2013), tulisan-tulisan Rusdin sudah kerap dimuat di rubrik opini Tribun Timur dan Fajar.
Produktifitas menulis alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini layak diapresiasi. Sebab anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Selatan (1999-2000) ini tergolong sibuk.

Hampir setiap hari, ia harus mengajar di beberapa perguruan tinggi di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Juga kerap diundang sebagai pembicara seminar dan host/presenter radio.

Sekali sepekan juga menggelar Sajak Sabtu Sore. Acara ini menghadirkan sejumlah penyair dan penulis untuk silih berganti membacakan sajak karyanya.

Makanya predikat mantan Koordinator Pemberitaan Radio Bharata FM (1996-2000) ini beragam: penulis, penyair, akademisi, pengamat media, aktivis dan peneliti masalah anak hingga presenter radio dan televisi.

Lalu apa rahasia Rusdin yang bisa tetap produktif menulis kendati tergolong sibuk? 

Anggota Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM) sejak 2004 ini membocorkannya kepada saya saat bersua di Kafe Baca, Jalan Adhyaksa, Kota Makassar, akhir 2017 lalu.



Berikut ini penuturannya kepada saya:

Sejak kapan senang menulis?
Sejak kelas 4 SD di Ambon. Waktu itu, saya suka pelajaran bahasa Indonesia. Nilai mengarang saya selalu 30. Ini nilai tertinggi mengarang dari guru kami saat itu.

Biasanya saya mengarang setengah halaman. Sering dibaca kakak saya, Rustam Tompo. Dia selalu memberi apresiasi.

Selain mengarang bebas, ketika itu saya juga suka menulis puisi. Waktu itu ada teman pindahan dari Sorong, Papua Barat. Ia keturunan Ambon-Padang. Dia suka puisi. Lalu kami pun sama-sama buat puisi.

Saat SMP, saya makin suka menulis puisi. Sebab waktu itu sering ada lomba menulis dan membaca puisi di kampung kami. Saya selalu ikut lomba.

Saat SMA, saya dipercaya sebagai pemimpin redaksi Majalah Dinding Sekolah. Di sini kemampuan saya menulis makin terasah.

Proses inilah yang saya rasakan sangat berpengaruh sehingga saya menganggap menulis itu pekerjaan menyenangkan. Bukan beban.

Motivasi menulis saat itu?
Waktu itu sekadar suka saja. Dengan menulis, saya bisa mengekspresikan perasaan dan kegelisahan yang saya alami. Termasuk penderitaan saya sebagai anak yatim.

Ayah meninggal saat saya masih duduk kelas 2 SD. Suasana itu bisa membuat saya mengekspresikan dalam bentuk tulisan.

Buku dianggap menginspirasi Anda menjadi penulis?
Ada beberapa buku. Di antaranya buku serial novel Lupus. Novel karya Hilman Hariwijaya saya suka sekali baca saat masih duduk di bangku SMA.

Isinya: ringan, segar dan mudah dipahami. Untuk membacanya, saya pinjam dari teman-teman. Maklum, waktu itu masih susah beli buku.

Lalu saat kuliah, saya suka baca buku-buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib dan Jaludddin Rakhmat, cendekiawan Muslim sekaligus pakar komunikasi massa. 

Buku-buku karya keduanya memberi wawasan yang luas. Juga membangun perspektif dan enak dibaca.

Buku lain yang saya anggap ikut memotivasi saya makin suka menulis yakni buku berjudul Berani Gagal. 

Judul aslinya Dare to Fail. Ini buku best seller internasional. Penulisnya: Billi PS Lim, berkebangsaan Malaysia.

Isinya tentang biografi hidup penulisnya. Mengisahkan kegagalan-kegagalan yang dilalui sang penulis semenjak kecil hingga dia memulai merintis kariernya hingga menjadi seorang motivator besar.

Membaca buku ini, membangun keberanian saya untuk berani mandiri dan bersikap.

Lalu ada Buku Setengah Isi Setengah Kosong karya Parlindungan Marpaung dan buku From Zero to Hero karya Solikhin Abu Izzudin yang terbit tahun 2006. 

Buku ini saya anggap menginspirasi dan mampu menenangkan kita dalam situasi kita mengalami pasang surut kehidupan.

Lainnya, buku berjudul Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran Menuju Indonesia 2045. Ditulis Andrias Harefa. 

Juga ada buku Agar Menulis-Mengarang Itu Gampang. Buku karya Andrias Harefa ini mendorong siapa saja untuk berani menuangkan ide-idenya melalui tulisan. 

Dari buku-buku inilah yang ikut memotivasi saya terus menulis sampai sekarang.


Sumber foto: Facebook Rusdin Tompo

Siapa sosok lain yang turut berjasa membantu Anda menjadi penulis?
Di antaranya ayah saya. Walau usahanya berdagang ayam, ia punya rasa bahasa yang bagus. Bayangkan, semua anaknya (11 orang) diawali dengan huruf R.

Sosok lainnya adalah kakak pertama saya, Rusly Tompo. Dia remaja masjid di kampung kami. 

Saya selalu dimintanya ikut lomba menulis dan membaca puisi-puisi religi (puitisasi Al Quran) jika ada perlombaan di masjid dalam rangka hari-hari besar Islam.

Kakak sulung saya ini tampil menjadi motivator sekaligus memberi ruang saya berkreasi dalam hal menulis.

Ada juga teman SMA saya. Namanya Zairing Salampessi alias Embong Salampessi. Dia seorang ilustrator Suara Maluku (Sumal). 

Waktu itu, dia suka bertanya tentang apa saja yang saya tulis atau saya bikin. Dia sering bertanya ke saya dan akhirnya secara tidak langsung melatih saya menjawab.

Motivator saya juga adalah Fadhly  A Natsif yang saat ini menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Dia senior saya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Waktu itu masih sama-sama kuliah, kami sering diskusi dan kajian hukum bersama.

Saat itu dia juga tercatat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Unhas dan bergabung di identitas, media internal mahasiswa Unhas.

Dia selalu mendorong saya menulis. Saya ingat kata-katanya, “Kalau kamu mau menulis, tulis saja dari apa yang kita lakukan atau paling dekat dari kita,” pesannya yang sulit saya lupakan sejak kuliah hingga saat ini.

Sosok yang saya sulit pula saya lupakan adalah Prof Dr Mansyur Ramli, mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI). 

Waktu itu saya ikut gabung di Lembaga Peduli Anak (LPA) Sulawesi Selatan yang diketuai Prof Mansyur.

Dia memberi saya keleluasaan menulis tentang persoalan anak di media massa terbitan Makassar. 

Jika ada tulisan saya muncul di media, saat itu juga dia menelepon dan menyampaikan bahwa dia telah membaca tulisan saya di media.

Respon dari Beliau makin mendorong saya terus menulis dan mengirim tulisan-tulisan ke media.

Tulisan Anda pertama kali dimuat di media massa?
Saat kuliah semester empat di Fakultas Hukum Unhas, saya menulis untuk tabloid Identitas. Judulnya Seni dan Tanggungjawab Sosial. 

Dari tulisan ini saya mendapat honor dari identitas senilai Rp 2.500. Waktu itu tarif petepete kampus hanya Rp 200 per orang. 

Saking senangnya tulisan saya terbit, tulisan tersebut langsung saya dokumentasikan. Alhamdulilah, sampai sekarang masih ada tersimpan.

Selain di identitas, di media mana saja tulisan Anda pernah dimuat?
Lumayan sudah banyak media seperti Pedoman Rakyat, Fajar, Tribun Timur dan sejumlah koran serta media dalam jaringan (daring) lainnya.

Tapi momen yang sulit saya lupakan adalah saat tulisan saya untuk kali pertama dimuat di koran harian terbitan Makassar yakni Pedoman RakyatJudulnya Penanganan Pengungsi Anak. Ketika itu tahun 2000.



Bagaimana ceritanya sehingga Anda menulis tentang Penanganan Pengungsi Anak?
Saya menulis ini karena ada kejadian. Waktu itu Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel yang yang masih berkantor di Jl Andi Tonro, Makassar, diundang berbicara di Hotel Sedona (kini Hotel Aryaduta) untuk membahas penangangan HIV dan AIDS.

Prof Mansyur Ramli yang ketika itu menjabat Ketua LPA Sulsel diundang menjadi salah satu pembicara. Saya kemudian diminta membantu membuatkan poin-poin yang akan disampaikan saat berbicara.

Namun saat hari H, Prof Mansyur berhalangan hadir karena bertepatan waktu menerima tamunya dari luar negeri. 

Dia kemudian meminta saya mewakili beliau untuk menjadi narasumber. Ini kali pertama saya jadi narasumber (1999-2000).

Sempat ada yang nyinyir kenapa saya yang jadi narasumber mewakili LPA. Akhirnya saya merasa, timbul semangat menulis. Ada semangat perlawanan cerdas yang anggap saya remeh.

Jadi ide membuat tulisan di media juga sekaligus sebagai penegasan sebagai eksistensi bahwa saya paham persoalan.

Nah saat ada keinginan menulis untuk media, tercetus ide untuk menulis tentang Penanganan Pengungsi Anak. Sebab waktu itu, Indonesia lagi dilanda konflik. 

Kebetulan pula LPA, di mana saya bergabung, sedang mengurus pengungsi anak akibat konflik Timor Timur yang ditampung di Masjid Sultan Alauddin di Komples UMI Jl Racing Centre (kini Jalan Prof Basalamah).

Saya terlibat langsung dalam penanganan pengungsi anak ini. Jadi kurang lebih saya paham dan tahu apa yang mesti yang tuangkan dalam tulisan. 

Alhamdulillah, tulisan pertama yangs aya kirim ke Koran Pedoman Rakyat langsung dimuat. Jedanya tak sampai sepekan.

Saat itu, mungkin belum banyak tulisan tentang anak yang menjadi korban konflik. Saya memberi perspektif baru. Belakangan saya akhirnya rutin menulis perihal isu soal anak.

Apa yang perlu diperhatikan jika ingin membuat artikel untuk surat kabar?
Mungkin setiap orang berbeda pandangan. Tapi kalau saya, kita harus ada spesifikasi isu. 

Usahakan isu yang kita angkat ke media, minimal dipahami dan kita kompeten membahasnya. Makanya sebelum menulis, kita mesti bertanya dalam hati, apa kompetensi kita.

Dengan spesifikasi isu yang rutin kita tulis, akan membentuk brand diri. Saya selalu berupaya menspesialkan menulis tentang anak dan media. Sehingga mungkin sebagian orang menganggap brand saya adalah soal anak dan media.

Kalau penulis lain, mungkin menspesialkan menulis tentang lingkungan dan HAM. Ada juga special menulis tentang fashion atau kuliner. Sah-sah saja. Tak ada yang salah.

Hal lain yang harus kita lakukan sebelum menulis adalah wajib rajin membaca. Terutama bacaan yang berkaitan dengan isu yang akan kita tulis. Tujuan lainnya untuk mengupdate informasi dan wawasan kita.

Nah pada tulisan yang kita buat, harus ada data. Tren: naik atau turun. Juga sebaiknya ada ilustrasi kasus: untuk merasakan human interest-nya. Ada penggambaran kasus.

Nah saat menulis, tidak perlu terlalu memikirkan batasan saat menulis. Menulis saja. Lalu edit sesuai kebutuhan.

Dalam artikel, harus ada perspektif kita terhadap isu yang diangkat. Lalu menawarkan solusi, sesederhana apa pun.

Juga harus rutin menulis sekecil atau sependek apapun. Bisa ’dipanggil’ kapan saja. Semacam draf-draft tulisan. Ilustrasi kasus dan teori.

Untuk menjadi penulis andal, kita mesti meluangkan waktu mengikuti kajian-kajian terhadap berbagai isu. Hal ini baik untuk melatih analis kita.

Perlu juga kita membaca tulisan-tulisan orang untuk komparasi. Terutama tulisan tentang isu yang sama dengan isu yang akan kita tulis.

Tak kalah penting juga, kita mesti merawat hubungan dengan teman-teman di media. 

Dengan menjalin hubungan baik, kita bisa memberitahukan via telepon, pesan singkat (SMS) atau whatsApp kalau kita telah mengirim tulisan ke media tersebut.

Butuh berapa hari bisa jadi 1 tulisan artikel untuk dikirim ke media?
Kadang bisa sehari satu artikel selesai. Kadang butuh 6 jam. Tapi kadang juga hanya dua jam saja. Tergantung kesibukan saat itu.

Sebelum menulis artikel, apa yang Anda lakukan?
Membaca. Diskusi. Nonton. Biasa juga jalan-jalan ke toko buku untuk lihat referensi dan membaca sudut pandang beberapa penulis.

Biasanya menulis saat kapan?
Saya menulis saat tak ada kegiatan mengajar atau menghadiri undangan. Biasanya waktu antara sepulang mengantar anak sekolah hingga waktu menjemput, saya gunakan untuk menulis. 

Paling sering larut malam hingga subuh.

Selama ini, saya sudah biasa tidur mulai pukul 8 atau 9 malam. Pukul 12 malam, saya bangun. Saat itulah saya sering menulis hingga subuh.

Biasanya, setelah tiga hari begadang menulis, maka pada hari keempat, saya bebaskan diri dari aktivitas menulis. Saya hanya merapikan file dan koreksi-koreksi ringan. 

Hari berikutnya lanjut lagi menulis. Begitu selalu.

Sedangkan Sabtu dan Minggu, sering juga saya habiskan waktu untuk menulis. Terlebih jika ada yang harus kejar deadline.

Tempat favorit Anda menulis?
Di rumah. Kebetulan di rumah ada meja multifungsi yang diletakkan di ruang tamu. Meja ini difungsikan sebagai meja makan jika waktu makan. 

Setelah itu jadi meja kerja. Nah di meja inilah saya suka menulis. Saya selalu menulis sembari menghadap pintu depan rumah.

Katanya banyak artikel Anda yang pernah terbit di koran telah dibukukan?
Benar. Sudah ada delapan judul buku kumpulan tulisan saya yang pernah terbit di sejumlah koran. Umumnya tentang media dan anak.

Kalau menulis 1 buku, berapa lama?
Bisa satu setengah bulan hingga dua bulan. Tergantung banyaknya halaman dan referensi yang dibutuhkan.

Karena saya menanggap menulis itu sudah profesi, sering jika sedang menulis bahan-bahannya bisa dapat segera dan idenya biasa datang sendiri. 

Hal ini mempercepat saya menyelesaikan satu tulisan atau buku.

Makanya memang perlu juga dikuasai tips membaca cepat. Tapi tetap bisa menangkap inti pesan yang sesuai/relevan dengan apa yang kita tulis.

Apa saja keuntungan menulis?
Keuntungannya sangat banyak. Baik dari sisi finansial maupun nonfinansial. Misalnya, gegara menulis buku, saya pernah diberi sepeda motor sebagai bayaran uang muka. 

Selepas menjabat komisioner di KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sulsel, produktifitas saya menulis buku kian gencar. 

Dari honor-honor penulisan buku itu, saya bisa bayar cicilan rumah, biaya kuliah anak, beli laptop dan beragam lainnya.

Keuntungan lainnya, jejaring makin bertambah. Kita juga makin kerap diundang sebagai pembicara hingga tawaran menulis lainnya. Kita juga dihargai banyak orang.

Dengan tulisan, kita juga bisa menunjukkan komitmen atau keberpihakan pada isu anak dan media dan beragam keuntungan lainnya. Rasanya tak cukup ditulis semua.

Bagaimana Anda memelihara gairah menulis?
Rutin membaca. Saya juga berusaha tidak berhenti menulis. Sesederhana pun isinya. 


Tulis saja tentang apa yang kita minati. Apa yang kita alami atau tentang fenomena yang ada di sekitar kita.

Mohon diceritakan kisah awal Anda membuat buku?
Pertama kali saya buat buku pada tahun 1999. Judulnya, Anak. Isinya kumpulan kata-kata bijak tentang anak. Disertai ilustrasi. 

Diterbitkan LPA Makassar dan UNICEF (tahun 2000). Sempat dijual di Toko Buku Gramedia.

Saya membuatnya ketika masih sebagai pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar. Saat itu LPA dipimpin Prof Mansyur Ramli (mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia). 

Waktu itu saya juga masih bekerja di bagian pemberitaan Radio Bharata FMSetelah buku pertama ini ‘lahir’, saya kian bergairah menulis dan membuat buku.  

Besaran biaya membuat buku?
Yang saya syukuri, banyak buku saya itu terbit bukan atas biaya sendiri. Tapi ada beberapa lembaga yang membiayai. Di antaranya Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel.

Ada juga karena pesanan tokoh. Jadi yang membiayai penerbitannya adalah tokoh yang memesan dibuatkan buku.

Bagaimana ceritanya sampai diongkosi Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel?
Setiap buku yang saya tulis terbit, saya rutin memberi ke Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel. 

Jadi sangat banyak buku karya saya tersimpan dan bebas dibaca di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel.

Belakangan pihak Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel yang menawarkan membiayai penerbitan buku saya. Hubungan ini kami rawat.

Pernah juga menulis buku biografi?
Saya belum berani menulis buku biografi. Sejauh ini hanya menulis tentang kiprah dan kinerja seseorang pada periode tertentu.

Bagaimana Anda melihat potensi penulis dan penerbitan buku di Sulsel
Penulis di Sulsel itu sangat banyak. Mulai penulis yang masih duduk di tingkat SMP hingga pensiunan PNS, banyak di Sulsel. 

Cuma rasanya masih kurang mendapat penghargaan dari pemerintah. Tantangannya, pembeli buku karya penulis lokal masih minim.

Tapi saya sangat yakin, profesi penulis sangat menjanjikan dari sisi finansial.

Honor terendah dan tertinggi yang pernah ada terima sebagai penulis profesional?
Saya pernah menerima honor menulis dari Rp 35 ribu, Rp 30 juta hingga Rp 40 juta. Honor Rp 35 ribu saya terima setelah resensi buku yang saya buat terbit di koran Pedoman Rakyat.

Honor  dari Pedoman Rakyat saat itu saya langsung belikan lagi buku.

Kalau honor Rp 30 juta dan Rp 40 juta itu saya terima karena membuatkan buku untuk dua jenderal polisi. Dia membayar saya sebagai penulis profesional.

Jujur, adanya honor bagi penulis adalah salah satu yang memicu atau memotivasi produktifitas penulis. Jadi sekali lagi menjadi penulis professional itu sangat menjanjikan.

Berapa kini tarif Anda jika diminta menulis buku?
Sesuai saja kemampuan pemesan. Tapi kini standar saya, Rp 20 juta – Rp 30 juta untuk satu buku.

Apa saran Anda untuk penulis pemula
Menulis saja. Banyak tulisan sederhana kok yang ternyata bisa dibuat. Jangan pikir susah-susah.
Jangan pikirkan apakah tulisan-tulisan kita akan dibukukan atau dimuat di media massa atau tidak. 

Tulis saja. Bayangkan, puisi saya yang 30 tahun lalu, akhirnya baru diterbitkan saat ini.

Camkan juga bahwa menulis itu adalah bagian dari proses menawarkan gagasan kita kepada orang lain.

Smart Quotes
Orang tidak diingat karena banyaknya yang dikerjakan. Tapi bisa saja hanya satu dua kata yang kita buat dan itu diingat.

Menulis adalah cara saya juga beribadah. Melengkapi ibadah-ibadah kita yang lain yang mungkin selama ini bolong-bolong. (jumadi mappanganro)

= = =

Data Diri

Nama: Rusdin Tompo SH 
Lahir: Ambon, 3 Agustus 1968

Pendidikan:
- SDN 7 Ambon (Tamat 1982)
- SMPN 3 Ambon (Tamat 1984
- SMAN 2 Ambon (Tamat 1987)
- FH Unhas (Selesai 1992)

* Keluarga
- Ayah: Tata Tompo
- Ibu: Ke’na Daeng Bollo
- Istri: Gita Nurul Ramadhan

* Anak:
1. Gilang Benazir Adinara
2. Galang Nuraga Attar Nusantara
3. San Valentino Mahatma Gandhi

* Organisasi
- Pengurus Senat Mahasiswa Fak Hukum Unhas (1989-1990 dan 1990-1991)
- Bidang Humas dan Hubungan Antar Lembaga di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, 1989-2000.
- Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Selatan, 1999-2000.
- Anggota Solidaritas Perempuan Komunitas Anging Mamiri, sejak 2000.
- Bidang Perencanaan Program, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan,  2003-2005.
- Koordinator Advokasi dan Litigasi Jaringan Ornop HIV/AIDS dan Narkoba Sulsel (JASS), sejak 2004.
- Wakil Sekretaris Komite Aksi Provinsi (KAP) Sulawesi Selatan Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak, sejak 2004.
- Anggota Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM), sejak 2004.
- Koordinator Tim Telepon Sahabat Anak (TeSA) Makassar, mulai 2006.
- Pembina Lingkar Pena Pariwisata Toraja (LPPT).
- Pembina Persatuan Radio Kampus Makassar (PERAKMAS).
- Sekretaris Masyarakat Pemantau Film (MPF), sejak 2016..


Karya buku sebagai penulis atau editor:
1. Ayo Lawan Korupsi (Diterbitkan LBH-P2i dan Partnersip for Governance Reform in Indonesia - 2005)
2. Anak, Media dan Politik (Diterbitkan KPI Sulsel - 2009)
3. Tuhan Tak Sedang Iseng (Buku kumpulan puisi. Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2014)
4. MasaDPan Makassar: Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan (Diterbitkan Badan Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, 2014)
5. Mengawal Demokrasi di Udara (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
6. Bintang Kecil dalam Kotak Ajaib (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
7. Mohammad Hidayat, 730 Hari Mengabdi (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
8. Woro Susilo, Polisi di Zona Merah (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
9. Mimpi Seorang Prajurit (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
10. Menolak Takluk (Diterbitkan LBH Makassar)
11. Cerita Tentang Toraja (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
12. 7342 Mengawal 115 Pulau (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
13. 4,5,6 Spiritualitas Adex Yudiswan (Diterbitkan Media Qita, 2016)
14.  Pudji Hartanto Iskandar: Kenapa Makassar (Refleksi Kritis Seorang Bhayangkara).Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2016
15. Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar. (Diterbitkan Pustaka Sawerigading, 2017)

Kontak dengan Rusdin Tompo bisa melalui:
- Email: rusdin.tompo@gmail.com
- HP: 081543185183




Komentar