Menulis Sebagai Tanggungjawab Keimanan

Dian Auliya



"Jika engkau bukan anak raja dan bukan anak ulama, maka menulislah". 
(Imam Al Gazali)


AWALNYA saya mengenalnya sebagai Dian Auliya. Sebab setiap mengirim artikel opini untuk Tribun Timur, ia menggunakan nama ini.

Belakangan barulah saya tahu, jika Dian Auliya ternyata nama pena. Nama aslinya Undiana.  

Ibu dua anak ini adalah alumni S1 Jurusan Pendidikan Bahasa Asing (Jerman) Fakultas Bahasa dan Seni  (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM).  

Saat ini tergabung dalam beberapa organisasi. Di antaranya Revowriter dan Forum Muslimah Peduli Ibu dan Generasi.

Di tengah aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dan aktif di beberapa organisasi, Dian tetap bisa produktif menulis. 

Tak hanya menulis artikel untuk media massa tapi juga secara mandiri menulis untuk penerbitan buku.

Sejumlah buku telah dihasilkannya. Di antaranya berjudul Trio Mujahid dan Pelangi di Akhir Gerimis

Ia juga terlibat dalam penulisan buku Nyala-nyali Dakwah di Penjuru Negeri (Antologi), The True Hijab (Antologi) dan Kenangan Masa Kecil yang Membekas di Hati (Antologi). 

Nah bagaimana rahasianya tetap bisa produktif menulis? Berikut ini jawabannya via whatsApp menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya:

Sejak kapan mulai senang menulis?

Sebenarnya saya tertarik menulis sejak masih di bangku madrasah tsanawiyah meski baru sesekali nulis di buku diary. Lalu berlanjut saat Aliyah. Tapi belum berjalan baik.

Setelah kelas 3 SMA masuk jurusan Bahasa, barulah saya mencoba ikut perlombaan menulis, meski tidak menang. 

Sejak itulah saya mulai lebih rutin menulis di buku harian tentang apa yang saya lakukan dan rasakan. Selanjutnya sekitar tahun kedua kuliah, saya mulai belajar menulis opini dan cerpen.

Sejak itu, meski tersendat, alhamdulillah masih tetap tertarik menulis hingga kini. 

Apa motivasi Anda menulis saat itu?

Motivasi saya adalah ketertarikan pada dunia tulis menulis itu sendiri. Saya selalu salut dengan orang yang bisa menulis. 

Mereka begitu luar biasa menggambarkan setiap peristiwa dan membawa pembaca ikut larut dalam peristiwa yang ditulisnya.

Juga tidak bisa disangkal bahwa sebuah tulisan mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa untuk menggugah seseorang. 

Yang pernah saya baca dari tulisan orang bahwa negara Yahudi berdiri dengan merampok tanah suci al-Quds-Palestina adalah karena gugahan dari tulisan fiksi Teodore Hertzl: Juden Staat. 

Sehingga dari sini, saya juga sangat berharap, suatu ketika nanti tulisan saya bisa menggugah dan menggerakkan orang menuju kebaikan.

Motivasi lainnya karena 'iri'. Iri terhadap kebaikan yang dilakukan orang lain supaya kita bersegera melakukan kebaikan, dibolehkan kan, ya... 

Ketika saya merasa salut dengan kehebatan tulisan orang lain yang mampu mencerahkan pembacanya, pada saat yang sama, saya juga iri. 

Saya iri dan bertanya pada diri sendiri, kenapa orang lain bisa menulis sementara saya tidak. Kenapa saya hanya bisa menjadi pembaca setia dari tulisan orang lain. 

Kapan kira-kira saya bisa menulis dan orang bisa membaca tulisan saya. Lalu, mengapa saya tak mencoba menulis seperti mereka. 

Akhirnya ini menjadi motivasi tersendiri untuk menulis untuk mewujudkan cita-cita saya menjadi penulis selain menjadi pembaca.

Kemudian setelah jadi mahasiswa dan aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UNM, motivasi saya untuk menulis bertambah. 

Yaitu dorongan tanggung jawab atas keimanan. Yaah, katakanlah tanggung jawab untuk mengabdi. 

Paradigmanya, sebagai seorang Muslimah, kita telah diberikan tanggung jawab oleh-Nya untuk menyeru kepada aturan-Nya hingga kita semua bisa hidup dengan benar di jalan-Nya. 

Menurut saya, setiap kita telah diberikan potensi untuk memikul tanggung jawab itu.

Tinggal bagaimana kita memaksimalkan potensi yang diberi-Nya untuk memperjuangkan agama-Nya. 

Terkait dengan menulis, saya punya keyakinan bahwa sebagaimana halnya dengan potensi yang lain, ketika Dia memberikan kita potensi untuk 'lebih mudah' menulis dibanding dengan yang lain berarti 

Dia mempercayakan supaya kita membela dan menyampaikan agamaNya melalui tulisan.



Adakah buku yang Dian anggap telah menginspirasi Anda menjadi menulis? 

Yang paling menyentak adalah tulisan di buku Matahari Tak Pernah Sendiri karya Helvi Tiana Rosa, dkk (2004). 

Buku ini berkisah tentang suka duka orang-orang yang tergabung dalam Forum Lingan Pena (FLP), organisasi yang dibentuk Helvi. 

Salah seorang dalam cerita itu adalah Kak Rahmawati Latief. Saya tidak kenal beliau secara langsung, hanya sesekali mendengar namanya. 

Di kisahnya dia menulis; “saya pernah kecewa dengan banyak lembaga Islam yang mengadakan pelatihan kepenulisan tanpa ada follow-up (tindak lanjut). 

Tapi saya malah lebih kecewa lagi sama teman-teman yang memahami konsep menulis sebagai wujud cinta kepada Allah justru tidak menulis.”  (HTR, dkk: 2004).

Rasa-rasanya, untuk kekecewaan Kak Rahmawati yang kedua, itu membuat saya 'tersinggung' dan merasa termasuk bagian yang dia maksud. 

Saya sebenarnya merasa tidak banyak paham tentang konsep penulisan, sehingga tak seharusnya sok tersinggung. 

Tapi bisa merasakan sedikit kemudahan saat menulis adalah hal yang membuat saya harus sadar untuk menggali lebih dalam lagi potensi dan karunia yang telah diberikan Allah. 

Saya akan berusaha selalu menjaganya dan tidak akan menyia-nyiakannya,  insya Allah. Akhirnya, kepada Kak Rahmawati, terima kasih telah membuat saya tersinggung. 

Siapa penulis idola Anda? 

Banyak penulis yang saya kagumi. Saya sangat suka membaca biodata mereka yang biasa ada di buku-buku mereka.

Ataupun kisah dibalik kesuksesan menulisnya. Ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya.

Terlebih lagi ketika membaca kisah mereka yang tidak instant jadi penulis. 

Hal ini semakin memberikan semangat pada saya, bahwa apapun halangan yang dihadapi dalam menulis, itu adalah bagian dari proses yang sedang dijalani. 

Bersama itu, saya hanya punya keyakinan bahwa suatu waktu nanti, Insya Allah itu saya akan mengikuti jejak mereka, menjadi penulis besar. 

Semoga, bermimpi boleh kan ya, hehe.. 

"Karena hanya mimpi yang bisa kau lihat dengan mata tertutup." Ini saya kutip dari buku salah satu penulis favorit saya, Pak Zaynur Ridwan. 

Selain Zaynur Ridwan, siapa lagi penulis favorit Anda?

Helvi Tiana Rosa (HTR), Asma Nadia dan Afifah Afra untuk fiksi. HTR diksinya menarik dan pesan-pesannya menggugah. 

Asma Nadia ada beberapa karyanya yang lucu dan bikin ketawa.  Afifah Afra settingnya cantik meski endingnya tak selalu sesuai harapan saya sebagai pembaca. 

Terus, meski baru membaca satu atau dua karya Dan Brown, saya juga suka gaya tulisannya. 

Novelnya ratusan halaman, tapi setting waktu hanya semalam. Deskripsi tempat juga sangat detail.

Untuk tema parenting, saya suka Ustadz Fauzil Adhim dan Ustadz Iwan Januar. Pesan-pesannya mudah dipahami. 

Untuk pemikiran, saya takjub dengan Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani. Buku-buku beliau ditulis puluhan tahun lalu tapi pemikiran di dalamnya masih nyambung dengan kondisi kekinian. 

Siapa orang yang Dian anggap berjasa membantu Anda menjadi penulis?

Di antaranya Kang Oleh Solihin dan Mbak Asri Supatmiati.  Kang Oleh adalah penulis buku-buku remaja sekaligus wartawan di majalah remaja Permata. 

Lalu pindah ke majalah Sobat Muda. Saya berlangganan kedua majalah ini waktu kuliah. 

Sekitar tahun 2004, beliau diundang ke Makassar oleh Lembaga Dakwah Kampus  (LDK)  Fosdik  Al-Umdah  UNM  tempat  saya bernaung. 

Beliau jadi  pembicara dalam acara talkshow untuk remaja yang kami adakan. 

Usai acara, panitia diberi kesempatan untuk bincang-bincang penulisan sekitar satu jam. 

Waktu itu Kang Oleh mempersilakan untuk mengirimkan tulisan ke emailnya untuk dikoreksi. Sejak itulah saya mulai mengirimkan tulisan ke beliau.  

Setelah dibaca, beliau kirim balik berikut komentarnya, mulai dari judul, isi hingga diksi. Menurut saya, beliau totalitas dalam membantu dan mengoreksi tulisan-tulisan saya. 

Sedangkan Mba Asri Supatmiati adalah jurnalis di koran harian Radar Bogor. 

Di tengah kesibukan beliau sebagai jurnalis, tetap meluangkan waktu untuk mengoreksi tulisan saya. Juga terus memotivasi untuk segera kirim ke media.

Kang Oleh adalah penulis buku-buku remaja. Saat kuliah, tulisan saya sering saya kirim ke beliau untuk dibaca dan dikoreksi. 

Berikutnya dukungan kakak-kakak dan adik saya. Kakak kedua saya, Kak Rusna, meski telah membiayai kuliah saya, tidak pernah menuntut saya untuk bekerja di sektor formal usai kuliah. 

Bahkan ketika saya utarakan niat ingin jadi penulis saja, beliau hanya mengiyakan. 

Membiarkan saya tetap tinggal di Makassar dan tetap membantu  kebutuhan finansial meskipun sudah tak kuliah. 

Adik saya juga punya peran -meski mungkin tak dia sadari- dengan pulang kampung usai kuliah dan  menemani ibu saya di rumah. 

Sementara dua kakak saya yang lain, juga tidak pernah berkomentar 'miring' dengan keinginan saya menjadi penulis. 

Saya kira, ini semua adalah dukungan yang sangat mempengaruhi niat dan keinginan saya untuk menulis. 

Alhamdulillah setelah itu, buku pertama saya terbit tahun 2012, menyusul buku kedua di tahun yang sama. 

Menyusul masing-masing satu buku Antologi untuk tahun 2013-2015. Untuk mereka, saya sangat berterima kasih. 

Bagaimana ceritanya Anda akhirnya bisa menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen?

Saya ingin menyampaikan pesan islami lewat karya fiksi.  Pada dasarnya, tulisan fiksi atau nonfiksi, tetap ada pesan/nilai yang ingin kita transfer ke pembaca. 

Namun kadang-kadang tersampainya pesan juga tergantung dari selera pembaca terhadap buku bacaan.

Ada suka non fiksi, namun ada juga yang lebih tertarik membaca fiksi. Nah, saya juga ingin mengisi bagian fiksi ini. Selain itu, saya ingin ikut memberi andil pada dunia literasi di Indonesia.

Apa yang biasa Anda lakukan sebelum menulis?

Kadang saya mencari referensi terlebih dahulu. Sering juga langsung menulis kemudian menandai bagian yang akan ditambahkan data atau fakta.

Bagaimana cara Anda mengatur waktu menulis dan bekerja serta urusan organisasi?

Tidak ada triks khusus. Berjalan beriringan saja. Maksudnya jika sedang ada agenda atau kegiatan tiba-tiba ada ide muncul, saya tulis dulu poin-poinnya. 

Bahkan sering hanya judulnya saja. Kalau sudah memungkinkan waktunya, baru saya lanjutkan dan selesaikan.

Dulu saya sering membawa alat tulis ke mana-mana. Kalau tiba-tiba ada ide datang, bisa langsung ditulis. 

Tapi sekarang kan sudah era digital, ponsel sudah lumrah jadi pengganti kertas dan pulpen. Jadi tinggal ketik dulu di notes hape atau fasilitas lainnya.

Menurut Anda, kapan waktu yang sangat baik untuk menulis?
Dulu saya sering nulis setelah isya hingga tengah malam. Lalu dilanjutkan setelah shubuh. 

Tapi kalau sekarang, karena anak-anak masih kecil dan harus dijaga setiap saat, saya menulis di waktu mereka sudah tidur. Mengejar waktu sebelum mereka bangun. 

Kadang-kadang kalau tulisan harus segera selesai, saya ngetik di notes hp  sambil menggendong anak atau menggoreng di dapur. 

Kan kalau cuma menggoreng, sambil nunggu dibolak-balik, bisa nyambi ngetik. 

Hanya kekurangannya kalau sudah fokus ngetik, jadi lupa dengan penggorengan. Begitu nengok, sudah gosong semua. 

Yaah, mungkin itu suka dukanya, mau tetap nulis dengan kondisi sudah rempong dengan anak-anak. 

Di mana tempat favorit Anda jika ingin menulis?

Di rumah. Alasannya, karena lebih mudah konsentrasi menulis di rumah daripada di kantor atau tempat keramaian. 

Dari mana biasanya Anda menemukan ide tulisan?

Dari mana saja dan objek apa saja. Bisa dari membaca, melihat, mendengar, atau menonton berita di tivi. Kadang juga sengaja jalan-jalan untuk mencari inspirasi.

Intinya tinggal melatih kepekaan rasa dan pikiran dalam menangkap ide yang memang sering datang tak terduga.

Apa keuntungan finansial dan nonfinansial yang Anda rasakan dari menulis?

Secara finansial, saya belum merasakan keuntungan signifikan. Mungkin karena bukan penulis profesional yang memang menjadikan menulis sebagai sumber pemasukan. 

Bahkan jangankan keuntungan finansial, saya sendiri harus rogoh kocek pribadi untuk menerbitkan buku saya karena diterbitkan secara indie.

Syukurnya, itu tertutupi dari sisi nonfinansial. Bahwa ada kebahagian tersendiri bisa berbagi dengan orang lain melalui tulisan. Ada orang yang membaca tulisan kita, itu sesuatu banget...

Pernah saat saya pulang kampung menghadiri pernikahan adik saya, yang hadir waktu itu banyak siswi adik saya dari Tsanawiyah-Aliyah di sana. 

Saya tidak kenal mereka. Begitu melihat saya, mereka datang mendekat sambil tersenyum dan salaman, lalu bilang, "kami pembaca setia...". 

Terharu mendengarnya sekaligus terasa mendapat  kepercayaan dari mereka untuk terus menulis. Jadi semacam pengingat untuk berupaya terus berkarya.

Kapan tulisan Anda pertama kali diterbitkan di surat kabar? 

Saat saya semester lima, tahun 2004. Tulisan saya berupa artikel opini. Judulnya Sekularisme di Balik Pornografi dan Pornoaksi.

Bagaimana perasaan saat kali pertama tulisan Anda dimuat di surat kabar harian?

Wah, senang sekali, berdebar-debar gembira. Teman-teman saya juga rupanya banyak yang baca setelah terbit di koran.  Mereka turut senang, bangga, dan memberi ucapan selamat.

Bahkan waktu itu, ada senior yang juga penulis -kami satu fakultas beda jurusan- yang memanggil saya. Dia bertanya-tanya tentang  dimuatnya tulisan saya. 

Kemudian mengabarkan bahwa di kampus mereka sudah punya jaringan mahasiswa penulis di media dan akan menerbitkan buku. 

Namun di sisi lain, mereka 'kesulitan' mencari penulis perempuan. Saya kira ini juga bagian apresiasi yang diberikan lingkungan sekitar untuk saya.

Kapan pertama kali terbitkan buku? Biaya sendiri? 

Tahun 2012. Biaya sendiri. Untuk paket penerbitan, satu buku ada yang Rp 500 ribu. Ada yang Rp 800 ribu. Itu sudah termasuk layout, editing dan satu buah buku bukti terbit. 

Setelah itu, kalau mau bukunya lagi, beli ke penerbit sebagaimana pembeli lainnya. Kedua buku itu saya cetak di penerbit LeutikaPrio, Yogyakarta.

Tolong diceritakan suka dukanya menerbitkan buku?

Kalau terbit indie, menurut saya, repotnya itu selain di modal, juga di pemasaran. 

Karena kita harus merangkap semuanya. Mulai dari menulis, membiayai hingga menjualnya. Jadi harus kuat modal dan pintar marketing. 

Kalau tidak, buku kita mungkin hanya sekadar ada bukti terbitnya berupa satu buku dari penerbit. 

Tapi setelah itu tidak pernah dicetak lagi karena tidak ada yang pesan. 

Sesuai akad yaitu print on demand. Maksudnya penerbit hanya akan mencetak jika ada pesanan.

Bagaimana cara Anda memelihara gairah menulis hingga saat ini?

Pertama, membaca karena dari membaca biasa muncul inspirasi baru entah terkait topik, diksi, maupun gaya menulis dari penulis lain.

Kedua, membuka file tulisan lama. Ini penting karena terkadang saking lama (mungkin  juga saking banyaknya), kita sudah lupa telah menulis apa saja. 

Dengan membukanya kembali, barangkali kita menemukan tulisan lama yang kita anggap bagus. 

Lalu membuat kita berpikir bahwa kita pernah menulis 'sebagus ini loh'... Nah, ini bisa menjadi semangat lagi untuk menulis.

Ketiga, mengingat kembali tujuan awal kita menulis. Apakah kita menulis hanya untuk terkenal, dapat uang atau tulisan kita dimuat media. 

Jika tidak atau belum mendapatkan semua itu, bisa kita tebak endingnya. 

Oleh karena itu, menurut saya tujuan yang tertinggi itu adalah lillahita'ala. Ada atau tidak yang kita dapatkan secara inderawi-duniawi, insyaa Allah kita akan tetap menulis.

Apa saran Anda agar gairah menulis masyarakat Sulsel meningkat?


Tingkatkan minat membaca, lalu menulislah. Karena hanya dengan menulis, kita bisa terus bercerita kepada generasi setelah kita melalui tulisan, meski kita sudah tiada.

Dan kepada pemerintah, penting juga untuk memberikan apresiasi kepada para penulis. 

Misalnya dengan membantu mereka secara finansial untuk menerbitkan buku mereka jika memang dianggap layak sebagai media pengembangan masyarakat Sulsel secara umum atau secara khusus untuk kalangan tertentu seperti kalangan anak dan remaja. (*)

= = = 
Data Diri
- Nama: Undiana
- Panggilan: Undi atau Dian
- Nama pena: Dian Auliya
- Lahir: Ketangga, 13 

Pekerjaan: Ibu rumah tangga

Riwayat pendidikan:
- SD Inpres Sarudu 3
- MTs NW Ketangga
- MAN 2 Mataram
- S1 Jurusan Pend. Bahasa Asing (Jerman) FBS Universitas Negeri 

Orangtua:
- Ayah: Muhit
- Ibu: Aminah 

Nama anak:  
- Atikah Nurul 'Izzah 
- Ali Imam Muttaqin

Organisasi:
- KS Mamuaibas FBS UNM
- LKIMB UNM
- LDK Fosdik Al-Umdah UNM
- LPM Estetika FBS UNM
- Member of Revowriter
- Forum Muslimah Peduli Ibu dan Generasi

Karya buku:
- Trio Mujahid 
- Pelangi di Akhir Gerimis
- Nyala-nyali Dakwah di Penjuru Negeri (Antologi)
- The True Hijab (Antologi)
- Kenangan Masa Kecil yang Membekas di Hati (Antologi)

Pengalaman pelatihan. Di antaranya: 
- Latihan Penulisan Karya Tulis Ilmiah (LPKTI) BEM FBS UNM 2003
- Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar; LK Uswah Unhas 2004
- Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa I; Lembaga Pers Mahasiswa Estetika FBS UNM 2004
- Pelatihan Jurnalistik Ramadan 1426 H; Gema Pembebasan Sulsel 2005 

Komentar