Warkop Phoenam dan Sejarahnya


GERIMIS menyambut kami saat tiba di Warkop Phoenam, Jalan Wahid Hasym No 12, DKI Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Masih pagi. Halaman parkir warkop ini terlihat dipenuhi mobil. 

Saat kami masuk,  lantai satu warkop ini ternyata sudah ramai. Saya dan Edi Sumardi (editor Tribun Timur) nyaris tak kebagian kursi.

Untunglah ada satu meja dan dua kursi yang berada di bagian paling dalam warkop ini baru saja ditinggalkan. Di situlah kami mojok.

Saya dan Edi memesan kopi susu khas Phoenam. Juga beberapa potong kue tradisional khas Bugis Makassar.

Sembari menunggu pesanan, saya memerhatikan satu persatu pengunjung yang lebih dulu datang. 

Warkop Phoenam, Jl Wahid Hasym No 12, Jakarta, Rabu (18/4/2018)

Ternyata di antara pengunjung ada Kak Husain Abdullah, wartawan senior asal Makassar sekaligus dosen Unhas. Juga dipercaya sebagai juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di dekatnya terlihat pengacara asal Makassar Isdar Yusuf. Juga ada Anwar Lasapa. Dia teman ngopi di Makassar. Kini mengembangkan usaha di Jakarta. 

Saya sudah menduga akan bertemu dengan beberapa kenalan asal Makassar saat memutuskan ke Phoenam.

Hari itu saya dan Edi bermaksud ke Kantor Kementerian Agama RI. 

Pesawat dari Makassar ke Jakarta yang kami tumpangi tiba sebelum pukul 08.00 WIB. 

Sementara jadwal presentasi di Kantor Kementerian Agama RI hari itu pukul 14.30 WIB.

"Kita menunggu saja di Warkop Phoenam Kak sebelum ke Kemenag," usul Edi yang bermaksud mengikuti tes menjadi tim Media Centre Haji Indonesia di Tanah Suci pada musim Haji 2018 nanti.

Mendengar usulan Edi, saya langsung setuju. Sebab saya memang suka ngopi. Apalagi kopi khas Phoenam.

Sudah lama saya penasaran ingin mampir di Warkop Phoenam saban ke Jakarta. Tapi belum juga kesampaian.

Rasa penasaran saya karena katanya inilah warkop yang selalu menjadi tempat kumpulnya perantau asal Makassar di Jakarta.


Itu cerita yang sering saya dengar dari banyak kawan sejak menjadi jurnalis di Tribun Timur, 2003 lalu.

Saking dikenal, katanya, orang asal Makassar yang bermukim di Jakarta tahu Warkop Phoenam.

Apalagi bagi mereka yang selama ini kerap ngopi di Phoenam Makassar, Sulawesi Selatan. 

Saya senang karena akhirnya cerita itu bisa saya rasakan langsung. Inilah kali pertama saya berkesempatan mampir di Warkop Phoenam Wahid Hasym.

Beda halnya dengan Warkop Phoenam yang ada di Kota Makassar maupun di Gowa, sudah sering saya datangi.

Tapi tak sesering dibanding beberapa kawan saya yang mengaku hampir sekali sepekan ngopi di Phoenam.

Sedangkan Warkop Phoenam Jakarta, baru kali ini saya bisa mampir. Padahal saya sudah beberapa kali datang di Jakarta.

Yang lebih menyenangkan lagi, saya sempat ngopi semeja dengan pemilik warkop ini. Namanya Albert Liongady.

Dia generasi kedua pemilik Phoenam, jaringan kedai kopi legendaris asal Makassar.

Sebenarnya saya sudah lama dengan nama Albert Liongady. Tapi baru kali ini saya berkesempatan ngobrol banyak dengan dia.

Saya dan Albert (66) di Warkop Phoenam, Jl Wahid Hasym, Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Orangnya ternyata ramah. Orang Makassar menyebutnya sombere. Tubuhnya ramping. Dia lahir di Makassar, 1951. Ayah empat anak ini masih terlihat segar.

Rambutnya tersisir rapi. Tak terlihat ada uban. Apakah rambutnya disemir hitam, entahlah. Tak elok mengofirmasinya. Hehehe... 

Yang jelas, dia suka merokok. Mengenakan kacamata. Beberapa cincin melekat di jarinya.  

Saat itu, ia mengatakan baru saja dua pekan pulang dari Makassar. Selama empat bulan harus istirahat di 'Kota Daeng' pascaterjatuh di kamar mandi.

Karena baru ketemu, saya manfaatkan mengorek sedikit kisah tentang sejarah Warkop Phoenam langsung dari dia.

Kata Albert Liongady, Warkop Phoenam pertama kali dibuka di Kota Makassar pada 1946. Tepatnya di Jalan Nusantara. Berhadapan dengan Pelabuhan Makassar.

Pendirinya adalah Lion Thay Hiong, ayah Albert. Nama awal warkop ini menggunakan bahasa Mandarin: Kopithiam Phoe Nam.

Kopithiam artinya kedai atau warkop. Sedangkan Phoe Nam artinya Terminal Selatan. Juga biasa diartikan tempat transit di Selatan.


Nama ini mungkin terinspirasi dari letak Makassar yang ada di Selatan Pulau Sulawesi.

Nama Phoe Nam diusulkan Prof Dr Tae Pen Lion, paman Lion Thay Hiong. Keluarga mereka berasal dari Provinsi Hainan,  Tiongkok.

Belakangan Phoe Nam yang terdiri dua kata ini, disatukan menjadi Phoenam. 

Albert Liongady kemudian mematenkan nama kedainya menjadi Warkop Phoenam.

Namun warkop Phoenam yang pertama tersebut sudah tidak ada. Sejak 1994, pindah di Jalan Jampea, Makassar. Berjarak sekira 1 kilometer dari warkop pertama.

Hingga tulisan ini dibuat, Warkop Phoenam di Jalan Jampea masih ada. 

Warkop yang berdekatan dengan Gedung Kesenian Makassar (Sociteit de Harmonie) ini pun selalu ramai. Terutama saban pagi hingga siang.


Lebarkan Bisnis
Sukses berbisnis warkop di Jalan Jampea, Albert bersama anak-anaknya kemudian melebarkan sayap usahanya. Ia membuka beberapa Warkop Phoenam di beberapa tempat.

Di Makassar, Warkop Phoenam telah hadir di Jalan Boulevard, Jalan Ratulangi dan Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP).

Pernah juga dibuka di lantai dua Mal Panakkukang. Namun sudah tutup sejak beberapa tahun lalu.

"Naik biaya sewanya. Terlalu mahal," kata Albert tanpa menyebut nilai sewanya.

Selain di Makassar,  Warkop Phoenam juga bisa dijumpai di beberapa kota di Sulawesi Selatan. Di antaranya di Kota Palopo, Gowa dan Kabupaten Bone. 

Juga telah hadir di Mamuju (Sulawesi Barat),  Surabaya (Jawa Timur) dan Bandung (Jawa Barat).

Sedangkan di Jakarta,  telah hadir sejak 1997. Sempat beberapa kali pindah. Tahun 2003 pindah di Jalan Wahid Hasym.

Khusus di Jalan Wahid Hasym, Warkop Phoenam tiga kali pindah. 

Warkop yang kami datangi kali ini baru ditempatinya sejak dua tahun lalu. Berada di Jalan Wahid Hasym No 12.



Sebelumnya berada di Jalan Wahid Hasym No 88.

Di warkop barunya ini, menempati bangunan empat lantai.

Lantai satu dan dua digunakan untuk kedai. Sedangkan lantai tiga dan empat sebagai tempat tinggal.

Di warkop ini, ia mempekerjakan 13 karyawan. Semuanya warga sekitar. Buka mulai pukul 06.00 hingga dini hari.

Selain di Jalan Wahid Hasym, Warkop Phoenam juga hadir Blok M Jakarta.

Sebagian besar Warkop Phoenam itu dikelolanya langsung dengan kepemilikan saham 100 persen. Sebagian lainnya di-franchise-kan.

Untuk franchise Warkop Phoenam, peminat harus membayar minimal Rp 250 juta.

Dengan biaya ini, pemohon franchise akan diberikan beberapa peralatan masak kopi, resep dan penggunaan merek Phoenam.

Alat masak kopi khas Phoenam menggunakan peralatan yang terbuat dari besi kuningan. Kelebihan besi kuningan karena bisa menyimpan panas lebih lama.


Dulu, katanya,  peralatan masak dari besi kuningan yang digunakan di Warkop Phoenam semua dibuat langsung oleh ayah Albert. Sepeninggal ayahnya, mereka tak membuat lagi.

"Tapi kami beli dengan cara memesan khusus. Harganya jutaan, " tutur anak kedua dari tiga bersaudara ini

Di Warkop Phoenam manapun, kata Albert Liongady,  minuman kopi dan roti bakar yang disajikan dijamin sama rasanya. Itu karena bahan bakunya dan proses pembuatannya sama.

Jika tak ada aral, Albert berencana membuka Warkop Phoenam di kampung halaman orangtuanya di Provinsi Hainan, Tiongkok.

Di sana, dia akan menulis warkopnya dalam dua bahasa: Mandarin dan Indonesia.

"Di papan namanya nanti ada tulisan: Warkop Phoenam, Indonesia, Makassar," ungkapnya.

Ia berharap, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkenan meresmikan warkopnya jika sedang ke China. Soal niatnya ini, belum ia sampaikan ke Jusuf Kalla.

Hakim
Albert Liongady mengaku awalnya tak berniat mengelola warkop. Ia ingin menjadi hakim. 

Maka setamat SMA, dia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 

"Tapi ayah saya melarang keras saya jadi hakim," katanya lalu mengisap rokok lagi.

Alasan ayahnya, hakim adalah profesi yang 'berat' bebannya. Bisa membuat hidupnya tak bahagia lama karena dihantui rasa bersalah karena memberi vonis kepada terpidana. 

"Terlebih kalau kita membuat keputusan salah. Sebab tak ada jaminan keputusan hakim itu benar semua," tuturnya menirukan alasan ayahnya.

Walau tak menerima sepenuhnya alasan ayahnya, Albert Liongady mengalah. Cita-citanya menjadi hakim, ia 'kubur'. 

Ia akhirnya fokus membantu ayahnya mengelola Warkop Phoenam.

Perlahan ia merasa bisa menerima pesan ayahnya. Kini ia justru merasa hoki-nya memang di warung kopi. 

Adzan dari pengeras suara masjid pun terdengar hingga ke dalam warkop. Rupanya sudah lohor. Kami pun pamit. (Jumadi Mappanganro)



Jakarta-Makassar, April 2018

Komentar