Eufemisme


BERDASARKAN tinjauan bahasa, eufemisme berasal dari kata euphemizein. Dalam bahasa Yunani yang berarti kata-kata baik.

Jika ditinjau dari istilahnya, eufemisme dapat diartikan sebagai majas atau ungkapan halus yang digunakan sebagai pengganti kata yang terasa kasar.

Nah jika kita memperhatikan berita-berita, maka tidak jarang ditemukan kata-kata yang telah dihaluskan (eufemisme).

Misal kalimat:
- Jumlah tunawisma di Kota Makassar kian banyak
- Pengerjaan fasilitas publik perlu memerhatikan aspirasi difabel
- Siswa ini kerap buang air kecil saat jam belajar
- Kakeknya telah berpulang sejak setahun lalu karena serangan jantung
- Merugi, perusahaan ini merumahkan ratusan karyawannya.
- Dalam sejam, Iwan sudah lima kali masuk keluar kamar kecil.

Kata tunawisma, difabel, buang air kecil, berpulang, merumahkan hingga diksi kamar kecil pada kalimat di atas adalah beberapa contoh kata eufemisme.

Diksi tersebut bermaksud menghaluskan sebutan gelandangan (tunawisma), penyandang cacat (difabel), kencing (buang air kecil), meninggal (berpulang) , memecat (merumahkan) hingga toilet (kamar kecil).

Menurut saya, pengetahuan tentang eufemisme harus dimiliki setiap jurnalis. Termasuk bagi para penulis, editor, dan penyunting buku.


Sebab eufemisme adalah bagian dari seni berbahasa. Diperlukan dalam membuat berita atau artikel populer.

Berikut ini beberapa contoh diksi eufemisme yang kerap pula dijumpai dalam berita:
- tunanetra: buta
- tuna rungu: tuli
- tuna wicara: bisu

- tuna daksa: cacat fisik
- tunagrahita: keterbelakangan mental
- tuna aksara: buta huruf

- pramuria: pelacur
- pramusaji: pelayan restoran
- pramuniaga: pelayan toko

- pramukarya: pengangguran
- paranormal: dukun
- pramuwisma: pembantu rumah tangga

- dibebastugaskan: dipecat
- pekerja seks komersial: pelacur
- asisten rumah tangga: PRT

- ekonomi menengah ke bawah: miskin
- rompi orange: baju tahanan
- diamankan: ditangkap

- ditertibkan: digusur
- disesuaikan: dinaikkan

Memahami dan menggunakan eufemisme dalam karya jurnalistik tentu sangat baik. Manfaatnya banyak.

Di antaranya agar pembaca tak bosan dengan diksi yang digunakan para jurnalis. Juga agar enak dibaca.

Tapi dulu di era Orde Lama maupun Orde Baru, jurnalis 'dipaksa' pandai menggunakan eufemisme. Salah satu tujuannya kala itu agar terhindar dari 'panggilan' atau teguran penguasa.

Salah mengunakan diksi, bisa dianggap melawan penguasa. Media yang dianggap melawan penguasa, efeknya bisa fatal. Bisa berujung media itu dibredel alias dilarang beroperasi.

Nasib tragis itu pernah dialami Majalah Tempo dan Pedoman yang didirikan Mochtar Lubis.

Media massa pada era penguasa otoriter, sangat berhati-hati menggunakan diksi dalam berita. 

Terutama berita terkait kebijakan penguasa atau berita yang menyoroti layanan publik.  

Biasanya media massa memilih menggunakan kata-kata yang telah 'dihaluskan' terkait apa yang dilakukan penguasa.

Penguasa, humas-humas pemerintah dan aparat penegak hukum kala itu adalah pihak yang paling sering memproduksi atau mengucapkan diksi-diksi yang telah dihaluskan (eufemisme).

Sebagian jurnalis pun tak mau ambil risiko. Apa saja istilah yang digunakan penguasa kala itu, maka itu pula sebutan yang sering ditulis di medianya.

Misalnya:
- Pemerintah menaikkan harga BBM disebut pemerintah menyesuaikan harga BBM.
- Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima disebut penertiban.

- Polisi memenjarakan aktivis disebut diamankan.
- Pengusaha menimbun pantai disebut melakukan reklamasi/revitalisasi pantai.


Kata 'menyesuaikan', 'penertiban',  'diamankan', reklamasi atau revitalisasi adalah diksi yang telah dihaluskan.

Kala itu, penghalusan ungkapan/sebutan atas tindakan pemerintah itu sengaja dilakukan penguasa dengan tujuan menenteramkan suasana. Meredam gejolak masyarakat.

Tapi walau Orde Baru telah tumbang sejak 1998, sebagian jurnalis saat ini masih kadang bahkan sering menggunakan sebutan yang dihaluskan.

Salahkah? Tidak. Hanya saja, beberapa penghalusan kata tersebut kesannya kurang 'jujur' ke publik.

Terkesan ada hal yang disembunyikan seperti pada kata: menyesuaikan, mengamankan dan menertibkan.

Padahal etika jurnalistik menuntut kejujuran, fairness,  keterusterangan dalam pemberitaan.

Dengan alasan itulah, saya menolak sebagian penggunaan eufemisme dalam jurnalistik.

Sebagian lainnya saya terapkan dengan dasar,  penghalusan kata itu memang diperlukan. Minimal tidak kasar.

Misalnya:
- kakus dihaluskan menjadi kamar kecil
- berak dihaluskan menjadi buang air besar
- kencing dihaluskan menjadi buang air kecil

Akhirnya, silakan dipilih dan dipilah. Pada kata mana eufemisme itu diperlukan dan mana diabaikan. (JM)

Warkop Anggun, Gowa, Oktober 2018

Komentar