Jurnalis dan Bencana Alam

Jurnalis dan warga memanfaatkan charger handphone di Rujab Wawali Kota Palu tiga hari pascagempa dan tsunami, Senin (1/10/2018). (sumber foto: Sanovra - jurnalis Tribun Timur)

MENJADI jurnalis, maka risikonya harus selalu siap ditugaskan meliput setiap peristiwa. Termasuk meliput bencana alam.

Terlebih jika peristiwa itu mengakibatkan banyak korban jiwa. Tak kenal jauh atau dekat lokasi bencana itu dengan dirinya.

Jika pimpinan medianya memerintahkan, maka tak ada alasan menolak. Kecuali karena sakit atau ada alasan kuat sehingga berhalangan meliput.

Jika wartawan A berhalangan, maka pimpinan media itu pasti tetap mencari jurnalis lain untuk ditugaskan ke lokasi bencana.

Itu artinya setiap jurnalis tetap saja selalu siaga dan bersedia ditugaskan meliput bencana alam.

Apalagi bagi jurnalis di Indonesia. Kenapa? Karena Indonesia termasuk negara yang selalu dilanda bencana alam.

Tak hanya banjir dan angin puting beliung, Indonesia juga rawan dilanda bencana gempa, tsunami, lumpur, longsor, hingga gunung meletus.

Indonesia berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang terus bergerak.

Juga terdapat 129 gunung berapi yang masih aktif.

Akibatnya negeri ini berada dalam bayang-bayang bencana gunung meletus dan gempa bumi.

Kadang diikuti tsunami dan likuifaksi seperti menimpa Sulawesi Tengah, Jumat 28 September 2018 lalu.

Pada beberapa bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia, tak jarang mengakibatkan banyak korban meninggal, terluka hingga mengungsi.

likuifaksi akibat gempa di Kota Palu, 28 Sept 2018. (Foto Sanovra - Tribun Timur)

Berikut ini delapan bencana alam dengan jumlah korban sangat banyak yang pernah terjadi di negeri kita sejak 2004. Termasuk di Sulawesi Selatan.

1. Longsor Gowa
Terjadi 26 Maret 2004. Terjadi di Dusun Bawakareng, Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.

Tercatat 32 orang tewas dan beberapa warga lainnya tak ditemukan karena tertimbun longsor. Lebih 3.000 warga setempat mengungsi.

2. Tsunami Aceh
Terjadi 26 Desember 2004. Tsunami dipicu gempa berkekuatan 9,3 skala richter. Menewaskan lebih 220 ribu jiwa warga Aceh.

Korban juga berjatuhan di semenanjung Malaysia, Thailand, India, Srilangka, dan beberapa tempat di pantai Timur Afrika. Secara total diperkirakan lebih 280 ribu korban jiwa.

Gempa yang diikuti tsunami Aceh merupakan bencana alam dengan jumlah korban jiwa terbesar sepanjang sejarah Indonesia dan mungkin dunia.

3. Banjir-Longsor Sinjai
Terjadi 20 Juni 2006. Korban tewas tercatat 285 orang. Korban terbanyak di Sinjai. Pengungsi lebih 7.000 orang.

4. Gempa Sumatera Barat
Terjadi 30 September 2009. Berkekuatan 7,3 skala richter.  Tercatat 1.117 orang tewas.

5. Banjir Bandang Wasior
Terjadi 4 Oktober 2010 di Wasior, Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Menyebabkan 158 orang tewas dan 145 orang dinyatakan hilang

6. Gunung Merapi
Meletus 26 Oktober 2010. Sedikitnya 353 orang tewas, termasuk juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan. Ribuan orang di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta mengungsi.

7. Gempa Lombok
Terjadi 29 Juli 2018. Berkekuatan 6,4 skala richter. Sejak itu, terjadi rentetan gempa susulan dengan skala kecil hingga besar. Tidak kurang 515 orang meninggal. Puluhan ribu orang mengungsi.

8. Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di Sulteng
Terjadi 28 September 2018. Gempa bermagnitudo 7.4 yang diikuti tsunami dan likuifaksi.

Lokasi: Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi. Mengakibatkan korban jiwa mencapai lebih 2.000 orang. Ribuan rumah, kantor, hotel dan mal hancur. Sebagian tertelan lumpur.

Puluhan ribu warga mengungsi. PLN, air bersih,  dan jaringan telkom terputus. Kelaparan melanda. Sempat terjadi penjarahan.

Hotel Mercure rusak akibat gempa di Kota Palu, 28 Sept 2018. Foto Sanovra - Tribun Timur 

Etika
Rentetan bencana alam tersebut sekali lagi membuktikan Indonesia adalah negeri rawan bencana.

Nah saat terjadi bencana, jurnalis diharapkan dapat melayani hak publik untuk tahu lebih dalam terkait peristiwa tersebut.

Sebab dengan tahu atau mendapat banyak informasi tentang bencana, setidaknya dapat menjadi pertimbangan publik dalam mengambil langkah,  keputusan/kebijakan.

Agar bisa mendapatkan gambaran utuh atau mendalam tentang suatu bencana alam, maka cara terbaik, jurnalis itu harus ada di lokasi bencana.

Namun sebelum meliput ke lokasi bencana, sebaiknya jurnalis yang akan dikirim pernah mengikuti pendidikan meliput bencana.

Sehingga ia memiliki pengetahuan dasar tentang kebencanaan: mitigasi bencana, pengurangan risiko bencana dan etika meliput bencana.

Sebaiknya juga pernah membaca buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) yang ditulis Ahmad Arif, wartawan Kompas.

Di buku ini, banyak pelajaran yang bisa dipetik terkait liputan bencana.

Antara lain, pengetahuan tentang potensi bencana dan daerah-daerah di Indonesia yang rawan bencana alam.

Di buku ini, Ahmad juga banyak mengeritik dan memberi saran / tips meliput di lokasi bencana

Sarannya antara lain agar para jurnalis sebaiknya menghindari beberapa pertanyaan yang terkesan hendak mengaduk perasaan narasumber atau para korban bencana.

Misalnya:

- Bagaimana perasaan Anda setelah beberapa keluarga meninggal dan rumah hancur?

- Apakah ada firasat Anda sebelum bencana ini terjadi?

- Bagaimana jika anak Anda tidak ditemukan?

- Bagaimana jika keluarga Anda ditemukan meninggal?

- Apakah Anda trauma dengan bencana ini?

Pertanyaan-pertanyaan di atas justru membuat keadaan psikologis korban semakin terganggu.

Korban gempa di Kota Palu, 5 Oktober 2018. Foto Sanovra Jr - Tribun Timur

Di buku ini, Ahmad Arif juga mengingatkan jangan sampai wartawan terus mencecar korban dengan berondongan pertanyaan, tanpa rasa empati terhadap korban yang sedang kesusahan.

Ia mengeritik perilaku sebagian wartawan yang lebih cenderung mengejar sisi dramatis dari bencana, tapi minim mendorong kesiapsiagaan atau pun menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban.

Padahal liputan yang mendorong kesiapsiagaan bencana atau pun menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban bisa jadi pelajaran untuk perbaikan pada masa mendatang.

Tak hanya itu, Ahmad juga mengingatkan para pekerja media untuk menjauhi mewawancarai paranormal apalagi ada niat sensasi.

Hal ini pernah dilakukan salah satu program acara televisi Silet episode (7/11/2010).

Host acara ini mewawancarai paranormal saat terjadi bencana letusan Gunung Merapi.

Si narasumber itu menyebut bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka.

Si paranormal ini kemudian meramal bahwa pada 8 November 2010 akan terjadi bencana besar.

Mendengar ramalan paranormal itu, korban bencana letusan Merapi pun bertambah resah.

Ratusan pengungsi meminta dipindahkan dari pos-pos pengungsian yang jauh dari lereng Merapi.

Para relawan disibukkan kegiatan tambahan untuk menenangkan pengungsi yang panik.

Nah kejadian ini jangan sampai terulang. Jurnalis harus memiliki kepekaan dan tanggungjawab sosial yang tinggi terhadap kepentingan dan keselamatan publik.

Jembatang rubuh akibat gempa di Kota Palu. Foto Sanovra - Tribun Timur

Agar Survive

Tak kalah penting juga, jurnalis yang akan dikirim ke lokasi bencana idealnya menguasai teknik survive.

Jurnalis tahu barang apa saja yang perlu/prioritas dibawa. Terlebih jika harus menginap di lokasi bencana beberapa hari selama masa tanggap bencana (14 hari pertama pascabencana alam).

Tujuan utamanya, tentu saja agar jurnalis bisa survive di lokasi bencana. Pun proses peliputan dan pengiriman berita berjalan mulus.

Jangan sampai kehadiran jurnalis itu justru meresahkan korban atau merepotkan para relawan maupun kawan seprofesi karena alat mereka dipinjam.

Jangan sampai juga terjadi, sudah tiba di lokasi kejadian, tapi kita tak bisa mengirim berita ke kantor karena sakit, ikut menjadi korban baru atau tak membawa peralatan pendukung liputan.

Jadi sebelum ke lokasi bencana, setiap reporter hendaknya tak lupa membawa:

1. Tas punggung/ransel kapasitas 15 liter. Sebaiknya berwarna terang.

2. Uang tunai secukupnya.

3. Dokumen penting: KTP, identitas pers dan kartu ATM.

4. Peralatan liputan seperti smartphone yang dilengkapi kamera minimal 5 megapixel,  kamera DLSR, charger, baterai cadangan dan kartu memori (sim card).

Tentu saja juga harus ada: pulsa untuk menelpon, paket data/kuota untuk internet, buku, pena, colokan dan kabel dan powerbank kapasitas besar dan kabelnya.

5. Obat dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K): masker, gunting, alcohol 77, kapas, betadine, obat diare, obat maag, antibiotik, antiseptik dan handyplast.

Perlu juga dibawa lotion antinyamuk untuk hindari risiko malaria/demam berdarah. minyak gosok/minyak telon dan vitamin.

Paling utama tentu saja jangan lupa memastikan obat pribadi dibawa. Ini untuk antisipasi jika penyakit kambuh.

6. Pakaian pengganti: celana panjang, celana pendek, celana dalam dan baju yang ringan, mudaj menyerap keringat dan mudah kering.

Penting juga dibawa jaket parasut yang ringan dan tahan air, sarung multifungsi, sarung tangan, kaos kaki dan penutup kepala.

7. Peralatan membersihkan tubuh: sabun cair, hand sterilize, sikat dan pasta gigi dan kanebo sebagai pengganti handuk. Sebab badan basah berisiko hipotermia.

8. Filter air jika punya. Sebab saat terjadi banjir,  tsunami, gempa sulit mencari air bersih.

9. Peralatan pendukung: pisau serbaguna (utility knife), korek api, senter kecil dan peluit yang bisa berfungsi memanggil atau meminta pertolongan, terpal ringan dan talinya yang bisa dijadikan tenda maupun alas duduk.

10. Peralatan masak dan minum praktis plus logistik cukup tiga hari.

Korban gempa di lokasi pengungsian di Kota Palu, Oktober 2018. Foto Sanovra - Tribun Timur

Untuk poin 10, sahabat saya, Munzyl, menyarankan menggunakan kompor/alat masak berbahan alumunium alloy.

"Alasannya, bahannya kuat dan ringan," jelas pendiri SAR Universitas Bosowa ini.

Untuk bahan bakarnya sebaiknya spritus atau lilin padat/parafin.

Logistik yang cukup tiga hari yakni beras 2 liter, sambal goreng ikan teri, mi instan secukupnya, teh atau kopi dan gula sebaiknya dalam bentuk sachet.

Untuk minuman penghangat bisa coklat atau jahe dalam bentuk sachet.

Kenapa harus sediakan logistik 3 hari? Karena pengalaman selama ini, biasanya hari H sampai hari ketiga, jeadaan dan situasi di daerah bencana masih carut marut. 

"Kehidupan belum tertata. Makanan sulit didapatkan," jelas ayah dua anak ini.

Menurutnya, idealnya kantor media berkewajiban menyediakan barang-barang tersebut kepada wartawannya yang akan dikirim ke lokasi bencana. 

Barang-barang tersebut sebaiknya tersedia sebelum terjadi bencana.

Dengan demikian jurnalis bisa fokus menyiapkan fisik, mental, pengetahuan, dan kebutuhan pribadi yang harus dibawanya seperti pakaian dan obat pribadi.

Tapi bagaimana jika sebagian barang-barang itu kita tak punya? Bukan alasan tak meliput.

Jurnalis dituntut kreatif. Seperti pepatah, tak ada rotan, akar pun jadi.

Tapi ingat. Prinsip yang harus dipegang setiap jurnalis saat meliput bencana adalah "tidak ada berita yang lebih berharga ketimbang nyawa."

Efek gempa dan tsunami di Kota Palu. Foto Sanovra - Tribun Timur

Angle Liputan 

Pada masa tanggap bencana, banyak angle menarik dan penting bisa dijadikan berita.

Tanggap bencana biasanya berlangsung 14 hari pascabencana. Bisa saja bertambah. Tergantung kondisi keparahan daerah terdampak bencana.

Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini bisa membantu para awak media menemukan ide tentang apa yang perlu segera diberitakan:

- Bagaimana akses jalan menuju lokasi bencana? Apakah jalanannya mulus dan bisa dilalui mobil atau tidak?

- Fasilitas publik / infrastruktur apa saja yang rusak akibat bencana?

- Layanan publik apa saja yang terganggu akibat bencana?

- Berapa banyak korban meninggal dan terluka yang diakibatkan bencana alam tersebut?

- Apakah terjadi pengungsian? Jika iya,  berapa banyak dan di mana saja lokasi penampungan mereka?

- Bagaimana kesaksian beberapa korban yang selamat terhadap bencana alam yang menimpanya?

- Bagaimana korban bisa selamat dari bencana?

- Apakah sudah banyak relawan di lokasi kejadian?
- Relawan dari mana saja yang datang membantu?

- Apa saja yang dilakukan para relawan untuk membantu korban meninggal maupun korban selamat?

- Berapa banyak anak-anak korban bencana yang selamat?
- Bagaimana kisah anak-anak itu bisa selamat?

- Adakah di antara anak-anak itu yang kisahnya mengharukan? Misal menyelamatkan kedua orangtuanya atau saudaranya saat bencana.

- Bagaimana kondisi anak-anak korban tersebut: apakah sehat atau banyak jatuh sakit?

- Jika banyak jatuh sakit, sakit apa saja?
- Bagaimana penanganan pengungsi yang sakit?

- Apakah sudah datang tim medis?
- Berapa banyak jumlah tim medis dan dari mana saja mereka?

- Apa saja bangunan yang runtuh atau rusak?
- Apakah sudah ada bantuan makan minum untuk para korban?

- Apakah sudah ada dapur umum di lokasi bencana?

- Apa saja kebutuhan mendesak pada korban: korban dewasa, perempuan, ibu hamil, balita/anak-anak hingga usia lanjut?

- Bantuan apa saja yang sudah tiba di lokasi bencana?
- Apakah tenda, selimut dan pakaian ganti untuk para korban yang mengungsi mencukupi?

- Bagaimana kondisi mandi cuci kakus (MCK) di lokasi pengungsi?
- Bagaimana kebutuhan air minum para pengungsi?

- Berapa luas wilayah terkena dampak bencana?

- Wilayah mana saja kena dampak bencana?
- Bagaimana evakuasi korban?

- Apakah tenda yang tiba di lokasi bencana sudah cukup untuk pengungsi atau masih kurang?

- Bagaimana geliat ekonomi pascabencana: apakah bank, pasar, pertokoan, warung makan sudah beroperasi?

- Bagaimana situasi SPBU setempat: masih terjadi antrean panjang warga yang ingin beli BBM?

- Bagaimana kondisi sekolah-sekolah setempat: sudah mulai belajar mengajar? Atau masih libur?

- Bagaimana perkantoran pemerintah di lokasi bencana: sudah banyak ASN masuk kantor atau masih sepi?

- Gali cerita tentang pengungsi setempat yang rumahnya tertelan bumi akibat likuefaksi: apakah kelak akan kembali ke pemukiman tersebut kelas jika dianggap sudah aman?  Atau rencana relokasi rumah?

- Adakah pengungsi yang tertunda atau batal menikah gegara gempa dan tsunami melanda daerah tersebut?

- Jika ada, siapa dia dan bagaimana kondisi calon pengantin tersebut saat ini?

- Bagaimana kisah beberapa relawan yang rela meninggalkan keluarganya demi bisa memberi pertolongan ke warga Palu dan sekitarnya?

- Apakah para pejabat pemerintah setempat telah datang menengok para korban di lokasi pengungsi?

- Siapa yang telah datang dan siapa belum menengok korban?

Nah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menginspirasi Anda menemukan ide laporan.

Lama tugas
Lalu berapa lama sebaiknya wartawan berada di lokasi bencana? 

"Idealnya tak lebih sepekan," saran Munzil yang kerap menjadi relawan di berbagai lokasi bencana di Indonesia ini.

Saran Munzil ini juga dikuatkan dengan pendapat beberapa jurnalis yang pernah meliput ke lokasi bencana. 

Alasannya, kelamaan di lokasi bencana dikhawatirkan kesehatan fisik dan psikis jurnalis tersebut terganggu. 

Apalagi bagi jurnalis yang baru ditugaskan meliput ke lokasi bencana dan melihat banyak korban meninggal. 

Maka sangat dianjurkan jurnalis sepulang dari lokasi bencana, apalagi bencana yang mengakibatkan ribuan korban jiwa, didampingi agar psikologisnya tidak terganggu. 

"Sebab kadang sepulang dari lokasi bencana, jurnalis maupun relawan itu murung. Sedih. Bahkan kadang bertingkah aneh," jelas Munzil. 

Jadi, bagi mereka yang memilih profesi jurnalis, sebaiknya sejak sekarang bersiaplah selalu meliput bencana. (Jumadi Mappanganro)

Gowa, Oktober 2018

Komentar