Ratna Sarumpaet


SEJAK awal hingga jelang pertengahan Oktober 2018, Ratna Sarumpaet (RS) kembali jadi buah bibir. Tapi kali ini berita negatif tentang RS yang ramai muncul. 

Awalnya media massa dan media sosial ramai mengabarkan tentang nasib RS yang wajahnya terlihat lebam-lebam.

RS mengaku telah dianiaya pada 21 September 2018. Seketika banyak sahabat RS ikut prihatin. Lalu ramai mengecam insiden penganiayaan yang dialami RS. 

Media kembali ramai menginfomakan kehadiran Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pendiri PAN Amien Rais dan sejumlah tokoh nasional yang datang membesuk RS di salah satu rumah sakit di Jakarta. 

Usai membesuk RS, Prabowo cs menggelar jumpa pers. Mereka ikut prihatin sekaligus mengecam penganiayaan yang dialami RS. Saat itu 2 Oktober 2018.

Prabowo wajar prihatin. RS adalah salah satu juru bicaranya pada kampanye Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. 

Tapi sehari setelahnya, giliran RS menggelar jumpa pers. Dengan mata berair dan sempat terisak, pemain teater ini mengaku telah berbohong kepada Prabowo dkk. 

Sebenarnya wajahnya yang sempat terlihat lebam-lebam, bukan disebabkan dirinya telah dianiaya. Melainkan karena efek operasi plastik yang dijalaninya.  

"Jadi tidak ada penganiayaan. Itu hanya khayalan entah diberikan setan-setan mana dan berkembang seperti itu," ujar RS di rumahnya di kawasan Kampung Melayu Kecil V, Jakarta Selatan, Rabu (3/9/2018).

Pengakuan RS ini kemudian menjadi pemberitaan utama media massa. Di media sosial, pengakuan RS ini menjadi tranding topic.

Walau sudah jujur atau mengakui kebohongannya, hujatan bertubi-tubi pun dialamatkan ke RS. 

Sumpah serapah dari berbagai lapisan masyarakat ditumpahkan ke 'wajah' aktivis pro demokrasi kelahiran Tapanuli,  Sumatera Utara ini. 

Tapi ada juga beberapa netizen mencoba memahami mengapa sosok seperti RS berbohong. 

Katanya karena yang dilakukannya yakni operasi plastik masih tabu bagi masyarakat Indonesia. Terlebih bagi seorang nenek yang telah berusia 69 tahun.

Makanya naluri tak ingin diketahui telah operasi plastik membuatnya berbohong. 

Sehari usai RS mengumumkan dirinya telah berbohong, giliran Prabowo dkk menyampaikan permohonan maaf karena telah salah bersikap atas informasi yang belum diyakini kebenarannya.

Kisah RS ternyata tak berakhir dengan pengakuan telah berbohong dan dihentikannya sebagai tim pemenangan Prabowo-Sandiaga.

Sejumlah orang yang menjadi lawan politik Prabowo kemudian mengadukan RS, Prabowo, Amien Rais dan beberapa tokoh lainnya ke polisi. Mereka dituduh ikut menyebarkan berita bohong. 
 
Dua hari setelah RS jumpa pers, polisi menangkapnya di Bandara Internasional Soekarno Hatta saat akan keluar negeri. 

Media massa maupun media sosial pun mendapat tambahan bahan berita tentang 'kisah' RS. Apalagi berbagai analisis tentang ada apa di balik kasus ini bermunculan. 

Rekam jejak masa lalu RS pun diangkat lagi. Termasuk kehidupan pribadi mantan suaminya. 

Rasanya selama hampir dua pekan terakhir ini, berita tentang RS yaris mengalahkan jumlah pemberitaan tentang dampak bencana gempa, tsunami dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Donggala dan Sigi.

Padahal bencana alam yang melanda Provinsi Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) lalu itu mengakibatkan lebih 2.000 orang ditemukan meninggal.

Juga berdampak puluhan ribu warga mengungsi dan dribuan warga tertimbun lumpur bersama rumahnya di Balaroa dan Petobo. Ditaksir kerugian material triliunan rupiah.

Sedangkan pada kasus Ratna Sarumpaet, tak ada orang meninggal yang diakibatkan. Juga tak merugikan keuangan negara. 

Tapi pemberitaan dan percakapan tentang 'nenek' satu ini menyedot perhatian nasional. 

Lalu seorang kawan menulis 'protes' di akun facebooknya. Intinya, ia memprotes mengapa banyak media massa selama ini kerap memberitakan tentang RS. 

Sebagai pekerja media, saya merasa banyaknya pemberitaan tentang RS bukan hal aneh. Saya justru menganggap hal wajar saja. 

Termasuk maraknya pemberitaan tentang RS jauh hari sebelum ia mengaku berbohong telah dianiaya. 

Kenapa? Karena RS adalah seorang public figur. Bagi jurnalis, seorang public figur, maka ucapan dan tindakannya selalu menarik diberitakan. 

Itulah sisi positif maupun negatif dari seorang public figur, selalu jadi sasaran pemberitaan. 

Apalagi bagi seorang RS yang rekam jejaknya selama puluhan tahun dikenal bukan seniman biasa. Silakan di-searching di Google. Jejak digitalnya banyak tersimpan.

Ia tak hanya seorang pemain teater, sutradara film atau novelis, tapi juga pejuang HAM dan aktivis pro demokrasi.

Saat Orde Baru berkuasa, perempuan kelahiran Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 16 Juli 1951, ini tak segan mengeritik Presiden Soeharto. 

Era itu, tak banyak orang yang berani muncul ke publik menentang secara terbuka kebijakan Soeharto. 

Pada 1994, RS penulis naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah

Melalui pementasan ini, RS menggugat kasus pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh pada tahun 1993. 

Gerakan RS kemudian kerap mendapat larangan oleh pemerintah. Pada Maret 1998, mantan aktivis Universitas Kristen Indonesia (UKI) pun ditangkap. 

Lalu ditahan selama 70 hari. Ia dituduh menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik yang bertujuan menggulingkan Soeharto. 

RS baru bebas setelah Orde Baru yang dilawannya tumbang. Lalu pada 2003, ia dipercaya memimpin Dewan Kesenian Jakarta. 

Dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama yang bertujuan meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara. 

Mengetahui rekam jejaknya itu, menurut saya sangat wajarlah RS selalu jadi bahan pemberitaan. Ia bukan aktivis 'kemarin sore'. 

Nasi sudah jadi bubur. Walau sudah mengumumkan telah berbohong, hujatan publik ke RS tak bisa dibendung. 

Rasanya, caci maki yang dialamatkan ke RS mengalahkan makian terhadap para koruptor yang menilap uang negara hingga puluhan miliar rupiah. 

Makian terhadap RS pun rasanya jauh lebih pedas berlipat-lipat dibanding hujatan terhadap oknum pemilik bank swasta di Indonesia yang menyalahgunakan BLBI. 

Padahal jika kita mau jujur, siapa sih di antara kita yang tak pernah berbohong?

Tapi begitulah risiko seorang public figur. Publik telah telanjur mengharapkan public figur bagai manusia setengah dewa. 

Kedudukannya tinggi. Ia diharapkan jadi teladan. Ucapan dan tingkah lakunya jadi panutan banyak orang. 

Maka sekali ketahuan berbohong, banyak orang bakal keccewa. Orang dengan mudah menghujatnya. Sekaligus melupakan rekam jejak positif perjuangannya. 

Sungguh saya termasuk sangat menyesalkan RS telah berbohong. Tapi saya harus sadar bahwa RS juga manusia biasa.

Psikiater
Apalagi, kata psikiater Hubertus Kasan Hidajat, RS terindikasi mengalami kelainan jiwa yang disebut hipomania.

"Orang hipomania itu orangnya semangat sekali, aktif, banyak ide, tak mengenal lelah, sampai suatu batas tertentu dia akan terjadi kelainan yang kita sebut bipolar," jelasnya pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (9/10/2018).

Kata Hubertus, gejala khas hipomania antara lain asal ngomong atau bohong. Gejala lainnya, paranoid atau curiga.

Dalam gejala paranoid ini, tambahnya, penderita akan mengatakan hal-hal yang sebetulnya tidak ada faktanya.

Hubertus menduga, RS panik dengan hasil operasi plastik yang kurang bagus, kepanikan inilah yang mendorongnya mengarang cerita.

Maka, menurut Hubertrus, tidak bisa dikatakan bahwa Prabowo dan Amien Rais tertipu pada kebohongan Ratna Sarumpaet.

Sebab, psikiater sendiri akan terjebak karena tidak bisa membedakan kata-kata bohong atau benar dari penderita hipomania tersebut.
 
"Pada waktu dia semangat, dia hantam terus, besoknya dia bisa down depresi, dia takut, dia ngaku semua. Jadi yang terjadi pada RS itu masalah kondisinya seperti itu, bukan niat dia, tapi reaksi kepanikan, jadi perlu bantuan psikiater," jelas Hubertus.

Pilpres

Tapi begitulah. Apa pun penjelasan tentang kondisi RS, sekali lagi sulit meredam netizen yang sudah 'marah'.

Saya mencoba memahami bahwa mungkin hal ini juga ada pengaruh suasana kampanye Pemilihan Presiden RI 2019 yang sedang hangat. 

Apalagi RS berada di tim inti salah satu kubu calon Presiden dan Wakil Presiden yang sedang bertarung. 

Maka ketika RS berbuat salah, maka saya tak heran jika publik ramai membahasnya.

Yang saya heran, jika ada kelompok tertentu justru melaporkan RS itu ke polisi dengan tuduhan melakukan kebohongan publik?

Pertanyaan saya, apakah kebohongan RS telah merugikan atau mencemarkan nama baik pelapor?

Apakah kebohongan RS merugikan kepentingan publik atau merugikan keuangan negara seperti yang dilakukan para koruptor?

Bukankah kebohongan yang dia dilakukan terkait dengan dirinya sendiri?

Tapi apapun itu, pelajaran dari kasus ini, jangan sekali-kali berbohong. 

Apalagi jika Anda menyandang status selebriti, public figur dan masuk ranah politik yang sedang bertarung.


Semoga kasus RS tak membuat kita lupa dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini. (JM) 

Arena Catur Q'te, Gowa, 13 Oktober 2018

Komentar