Etika Menulis Berita Bunuh Diri


PEMBERITAAN berkait kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri di Indonesia tak jarang kita dapati. Tidak terkecuali di Sulawesi Selatan.

Namun umumnya berita bunuh diri itu kerap diperlakukan sebagaimana halnya peristiwa kriminal.

Identitas korban, alamat tinggal, juga keluarganya diungkap secara gamblang. Termasuk membeberkan motif dan modus yang digunakan pelaku bunuh diri secara detail.

Padahal model pemberitaan tersebut justru berdampak buruk bagi sebagian pembaca.

Beberapa riset menunjukkan, pemberitaan bunuh diri memengaruhi angka bunuh diri. Tentu hal ini kita tak inginkan.

Karena itu pedoman atau etika pemberitaan kasus tindak dan upaya bunuh diri penting diketahui. Terkhusus insan pers.

Karena itu, saya menganggap Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri yang dikeluarkan Dewan Pers, beberapa hari lalu, menjadi sangat penting diketahui jurnalis.

Kehadiran pedoman pemberitaan tersebut menjelaskan mengapa memberitakan kasus tindak dan upaya bunuh diri mesti hati-hati.

Sebab dikhawatirkan berita bunuh diri tersebut justru menginspirasi orang lain melakukan hal serupa.

Juga bertujuan agar para jurnalis tidak mengeksploitasi kasus bunuh diri sebagai berita yang sensasional.

Tujuan lainnya agar pers dapat memosisikan pemberitaan bunuh diri sebagai isu kesehatan jiwa. Bukan isu kriminalitas. Ini karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.

Juga mengingatkan agar wartawan tidak membuat pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.

Karena itu saya menyambut sangat positif adanya Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri yang dikeluarkan Dewan Pers.

Kendati ada beberapa poin yang saya anggap masih kontroversi. Tetapi secara umum saya setuju.

Pedoman dimaksud adalah hasil focus grup discussion (FGD) yang digelar di Gedung Dewan Pers, Jakarta, 8 Maret 2019 lalu.

FGD ini dihadiri perwakilan Dewan Pers, perusahaan pers, organisasi jurnalis, akademisi, NGO, dan LBH pers.

Hasilnya, peserta FGD mengingatkan kembali para jurnalis/pengelola media tentang fungsi pers nasional.

Antara lain menjalankan fungsi pendidikan dan kontrol sosial, serta perlunya mematuhi norma-norma dalam masyarakat untuk ikut mengurangi dan mencegah tindak bunuh diri.

Seruan agar pers ikut berperan mengurangi dan mencegah tindak bunuh diri ini setelah mendapati tingginya kasus bunuh di Indonesia

Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 mencatat 812 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia.

Ini pun baru angka yang dilaporkan saja. Ada banyak kejadian bunuh diri yang ditutup-tutupi, entah karena rasa malu keluarganya, atau demi menjaga kehormatan almarhum.


Nah berikut ini rincian Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri hasil FGD tersebut. Totalnya 20 poin.

Saya kutip dari draft yang disebarkan via whastApp di grup korda Tribun Network.

1. Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri.

Kalau pun berita dibuat, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi orang yang bunuh diri yang sekaligus adalah korban. Bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.

2. Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.

3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.

4. Wartawan tidak membuat pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.

5. Wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya.

Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri sesorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

6. Wartawan tidak menyebutkan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.

7. Dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, wartawan harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.

8. Dalam memublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar, foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) dimana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis, atau tokoh idola.

9. Wartawan tidak mengekspos gambar, foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.

10. Wartawan pers penyiaran tidak membuat siaran langsung terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.

11. Wartawan tidak menyiarkan secara detil modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku.

Termasuk tidak mengutip secara detil informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.

12. Wartawan tidak mengambil bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, suara maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.

13. Wartawan tidak membuat berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

14. Wartawan tidak menggambarkan perilaku bunuh diri sebagai respons 'alami' atau 'yang dapat dipahami' terhadap masalah.

Misalnya, kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan.

Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, kekayaan.

15. Pers tidak mengeksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.

16. Wartawan menggunakan secara hati-hati diksi serta istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik, harus diperlakukan hati-hati, dengan sumber yang jelas.

17. Tidak memuat atau menayangkan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal.

18. Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita lebih detil dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena
berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.

19. Dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti referensi kepada kelompok, alamat, dan nomer kontak lembaga di mana orang-orang yang mengalami keputusasaan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan.

Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.

20. Pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib, takhyul atau mistis.

Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri ini diselesaikan oleh Dewan Pers.

Sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Bisa diperdebatkan

Sekali lagi, secara umum saya setuju dengan pedoman di atas. Namun poin 12 dan 17 masih bisa diperdebatkan.

Menurut saya, sah-sah saja wartawan mengambil bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, maupun video dari akun medsos korban bunuh diri atau rekannya untuk dibuat berita bunuh diri.

Namun dengan catatan, tetap memerhatikan etika. Di antaranya dapat dipastikan bahwa sumber akun media sosial tersebut adalah milik korban.

Sedangkan jika sumbernya dari akun media sosial lain, wajib dikonfirmasi ke pemilik akun atau tetap ditulis sumbernya.

Lalu foto atau video korban yang diambil dari media sosial wajib di-blur-kan hingga wajah korban tak begitu kentara saat dipublikasikan.

Poin 17 juga sulit dipatuhi. Sebab adakalanya redaksi media menganggap berita kasus bunuh penting diketahui publik, maka beritanya kadang ditempatkan halaman 1.

Pertimbangannya bukan karena mencari sensasi, tapi sifatnya alert atau peringatan. Dimaksudkan untuk mengingatkan publik tentang beberapa problem yang bisa membuat orang lain memilih jalan pintas atau bunuh diri.

Namun sangat dianjurkan agar berita bunuh diri tersebut juga dilengkapi ulasan atau penjelasan dari ahli sehingga berita yang disajikan juga mengandung edukasi bagi masyarakat atau pembaca.

Lebih baik lagi jika pada bagian akhir berita kasus bunuh tersebut ditambahkan keterangan bahwa jika pembaca mengalami masalah, bisa mengonsultasikan masalahnya ke psikolog.

Bisa juga menyajikan atau nomor kontak atau alamat lembaga yang bisa memberi pelayanan konsultasi masalah kejiwaan.

Dengan demikian, jurnalis tak sekadar memberitakan kasus bunuh diri. Tapi juga memberi peringatan, edukasi, sekaligus menyediakan jalan keluar (solusi). Semoga bermanfaat. (jumadi mappanganro)

Warkop Anggun, Sungguminasa, 25 Maret 2019

Komentar