Mengunjungi Pondok Karya Pembangunan, Pesantren Tertua di Kota Manado

Pesantren Kombos, Kota Manado, Sulawesi Utara

NAMA resminya, Lembaga Pendidikan Islam Pondok Karya Pembangunan. Disingkat LPI PKP.

Tapi lebih sering disebut Pesantren Kombos. Mungkin karena letaknya di daerah Kombos.

Tepatnya di Jalan Arie Lasut, Kelurahan Kombos Timur, Kecamatan Singkil, Kota Manado, Sulawesi Utara.

Berjarak sekitar 10 km dari Bandara Internasional Sam Ratulangi.

Inilah pesantren tertua di Manado yang juga dijuluki Kota Seribu Gereja.

Keterangan sebagai pesantren tertua itu salah satu yang mendorong saya ke tempat ini, Sabtu sore 3 April 2021.

Saya ditemani Rizali Posumah, teman seprofesi di Tribun Manado. Ia alumni pesantren ini.



Memasuki halaman depan pesantren, terpajang spanduk bertulis: Area Wajib Menutup Aurat. Wajib Mematuhi Prokol Kesehatan. Cegah Penyebaran Virus Corona.

Sepi. Hanya belasan santri terlihat saat kami datang. Lima sepeda motor dan satu mobil parkir di halaman pondok ini.

“Sekarang lagi sepi karena pandemi,” kata Muhammad Syarif Azhar Lc, pengasuh LPI PKP.

Orangnya ramah. Murah senyum. Masih mudah. Baru berusia 35 tahun. Lulusan Universitas Al Ashar di Mesir. Sekaligus alumni PKP.

Ia menerima kami di ruang kerjanya yang bersih. Luasnya kira-kira 20 meter persegi.

Salah satu dindingnya terpajang foto almarhum KH Rizali M Noor, perintis LPI PKP. Semasa hidupnya akrab disapa Ustaz Rizali. Sekaligus ayah Syarif Azhar.

Syarif Azhar Lc

Dua Tingkatan

Total santri PKP sebenarnya lebih 200 orang. Mereka terbagi dua tingkat: tsanawiyah (SMP) dan aliyah (SMA). Semuanya diasramakan.

Namun selama pandemi covid-19 ‘terpaksa’ belajar mengajar dilakukan secara daring.

Hanya sesekali dilakukan pertemuan tatap muka. Itu pun dilakukan secara sangat terbatas. Mempertimbangkan protokol covid-19.

Santri di PKP tak hanya warga Kota Manado dan sekitarnya. Tapi ada juga dari Provinsi Gorontalo hingga Ternate.

Selain mengasuh para santri tingkat tsanawiyah dan aliyah, PKP juga kini membuka satu unit baru.

Namanya Madrasah Al Quran. Nonformal. Belajar hanya dua kali sepekan: Sabtu sore dan Minggu sore.

Di madrasah ini, anak-anak belajar membaca Al Quran sesuai tajwid hingga metode tilawati.

Ada juga belajar menghafal hingga seni kaligrafi. Mereka yang belajar di Madrasah Alquran PKP, tak dibatasi tingkatan.

Boleh masih duduk di SD, SMP, maupun SMA. Bahkan masyarakat umum boleh masuk.

Mereka tak diasramakan karena hanya belajar beberapa jam sekali pertemuan.

“Yang belajar di Madrasah Al Quran umumnya warga sekitar Pesantren Kombos,” tambah Syarif Azhar.

Masjid utama dalam Pesantren PKP Manado

Moderat

Di pesantren ini, tak mengarahkan santri ke mashab tertentu.

“Kami memilih moderat. Alumni PKP juga tersebar di sejumlah organisasi. Ada di NU. Ada juga di Muhammadiyah,” tutur Syarif Azhar

Sejak didirikan hingga saat ini, PKP telah mencetak ribuan wisudawan-wisudawati.

Mereka kini mengabdi di berbagai provinsi di Indonesia. Bahkan di luar negeri.

Ada yang mengabdi sebagai ulama, pengusaha, birokrat pemerintah, guru, dosen, militer, polisi, jurnalis hingga beragam profesi lainnya.

Sejarah Berdirinya PKP

Pesantren Kombos atau Pondok Karya Pembangunan resmi didirikan pada 21 Juli 1977.

Berdirinya PKP tak lepas dari sejarah terpilihnya Manado sebagai tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran atau MTQ ke-10 Tingkat Nasional, Juli 1977.

Stadion Klabat Manado menjadi lokasi pelaksanaan lomba. Dibuka Presiden Soeharto.

Hajatan ini diikuti kontingen dari seluruh Indonesia. Waktu itu masih 27 provinsi.

Terdiri 186 qori dan qoriah, 136 official, 300 peninjau, 22 dewan hakim, dan kurang lebih 2.000 anggota rombongan kesenian.

Seusai MTQ, Menteri Agama Prof Dr Abdul Mukti Ali waktu itu meminta kepada Gubernur Sulut Hein Victor Worang untuk membuat monumen.

Tujuannya sebagai pengingat bahwa Manado pernah tuan rumah MTQ X Tingkat Nasional.

Kemudian disepakati untuk mendirikan pesantren dan Islamic Center di Manado.

Islamic Centre dibangun di area Masjid Raya Manado, Jalan WR Supratman, Lawangirung, Kecamatan Wenang, Kota Manado, Sulawesi Utara.

Sedangkan tempat menginap peserta MTQ selama Manado dipilih menjadi pesantren.

Kemudian diberi nama Lembaga Pendidikan Islam Pondok Karya Pembangunan.

“Jadi dulu di sinilah peserta MTQ Nasional X menginap,” terang Syarif Azhar yang ditemui di PKP.

KH Rizali M Noor, ayah Syarif Azhar, kemudian diamanahkan sebagai pengelolah PKP.

Alasannya karena Rizali mampu berprestasi sebagai peserta MTQ X Nasional cabang Tilawah tingkat remaja.

"Karena prestasi itulah dan Aba Rizali yang mewakili Sulawesi Utara sehingga Beliau diamanahkan mengelolah pesantren," tutur Syarif Azhar.


Tentang KH Rizali M Noor

KH Rizali M Noor adalah ulama Nadhliyin asal Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 27 Oktober 1950.

Ia pernah belajar di Jurusan Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ia juga pernah dipercaya sebagai pembina Kerohanian Islam serta penanggungjawab pelayanan Ibadah di lingkungan Kantor Gubernur Sulawesi Utara.

Lelaki yang akrab disapa Ustaz Rizali meninggal pada 15 November 2020.

Ia meninggal saat sedang menjalankan tugasnya sebagai Ketua Dewan Hakim/Majelis Tilawah Anak-anak dan Remaja di MTQ Nasional ke-28 di Padang, Sumatera Barat.

Ia meningga pada usia 70 tahun. Dimakamkan di kampung halamannya di Kalimantan Selatan.

Lebih Dulu Hadir

Sebelum Pesantren Kombos hadir, telah berdiri sekolah pendidikan Islam di Manado.

Di antaranya Sekolah Dasar Muhammadiyah di Kampung Arab (1934) dan di Titiwungan (1938).

Juga telah hadir Sekolah Dasar Subililhufah di Kampung Arab dan Sekolah Dasar Partai Nadhlatul Syafi'iyah di Titiwungan, Kecamatan Sario. (jum)

Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Menengok Pondok Karya Pembangunan, Pesantren Tertua di Kota Manado 

Komentar